Dapatkan Tanaman Rekayasa Genetika Jamin Ketahanan Pangan?
21 Juni 2024Sejak lama, para petani telah mengawinkan buah-buahan, biji-bijian, atau sayuran untuk menghasilkan hibrida yang lezat dan berdaya panen tinggi. Namun baru tahun 1970-an para ilmuwan kali pertama menggunakan bioteknologi untuk mentransfer gen dari satu organisme ke organisme lain untuk menghasilkan tanaman "transgenik”.
Ketika pertama kali dipasarkan pada tahun 1990-an, organisme hasil rekayasa genetika yang disebut Genetically Modified Organisms (GMO) ini dijuluki makanan Frankenstein. Sebagian masyarakat khawatir bahwa tanaman tersebut berbahaya bagi kesehatan manusia, meskipun penelitian jangka panjang mengatakan bahwa makanan ini sama amannya dengan varietas konvensional.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Saat ini, DNA sebuah organisme dapat "diedit” secara genetis tanpa menyatukan gen dari organisme yang berbeda. Ini memperkuat klaim industri tanaman biotek bahwa hal ini dapat menjamin ketahanan pangan bagi populasi global yang diperkirakan akan mencapai 10 miliar pada 2050.
Forum Ekonomi Dunia (WEF), yang secara konsisten mendukung teknologi transgenik. Mereka mengatakan bahwa penelitian terhadap galur padi, jagung, gandum, kentang, dan singkong baru, misalnya, akan semakin membantu bahan pangan penting ini bertahan dalam cuaca ekstrem dan "kondisi baru yang disebabkan oleh perubahan iklim.”
Laporan ini menunjukkan teknologi anyar bioteknologi dapat membantu tanaman dan tanah menangkap dan menyimpan karbon yang menyebabkan pemanasan global.
Salah satu proyek penelitian yang berbasis di AS membantu mengoptimalkan fotosintesis sehingga bahan pokok tanaman seperti jagung dan beras dapat dengan lebih baik mengubah sinar matahari, air, dan karbon dioksida menjadi energi guna meningkatkan hasil panen, sekaligus mengurangi karbon di atmosfer.
"Kami memiliki pengetahuan dan alat untuk membawa Revolusi Hijau berikutnya, yang memungkinkan para petani menghasilkan panen lebih banyak di abad ini dibandingkan dalam sejarah umat manusia,” kata situs web Realizing Improvement Photosynthetic Efficiency, yang telah menerima sekitar $115 juta pendanaan dari Bill & Melinda Gates Foundation sejak 2012.
Industri rekayasa genetika dinilai menyumbang perubahan iklim
Banyak ilmuwan dan aktivis lingkungan hidup tidak setuju bahwa tanaman hasil rekayasa genetik dapat menjanjikan ketahanan pangan atau membantu melawan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Sistem GMO baru akan terus melanggengkan "sistem agroindustri” yang "bertanggung jawab besar atas krisis iklim,” kata Anneleen Kenis, dosen ekologi politik dan keadilan lingkungan di Brunel University, London, kepada DW.
Saat ini, sistem pangan menghasilkan sekitar sepertiga emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim. Dan di AS, lebih dari separuh lahan pertanian yang dipanen diproduksi dengan benih hasil rekayasa genetika.
Sejauh ini, sistem ini juga gagal "memberi makan sebagian besar penduduk di berbagai belahan dunia,” ujar Kenis. Setidaknya 250 juta orang di hampir 60 negara mengalami krisis kerawanan pangan, menurut Program Pangan Dunia (WFP).
Gerakan aktivis melarang tanaman hasil rekayasa
Kritik serupa terhadap transgenik juga terjadi di balik keberhasilan kampanye di Filipina yang menerapkan moratorium produksi pada beras emas dan terong transgenik pada bulan April. Beras emas sebagian dimodifikasi secara genetik dengan protein dari jagung untuk menghasilkan beta-karoten untuk tambahan vitamin A. Beras jenis ini disetujui untuk ditanam pada tahun 2021.
Pengadilan menerapkan larangan tersebut berdasarkan "kebutuhan untuk menjunjung hak konstitusional atas kesehatan dan ekologi yang menyehatkan,” jelas Lea Guerrero, direktur Greenpeace Filipina, yang memimpin kampanye tersebut.
Pengadilan menemukan bahwa "tidak ada konsensus ilmiah mengenai keamanan atau bahaya beras emas dan terong,” kata Guerrero kepada DW.
Guerrero dari Greenpeace menyatakan bahwa larangan tersebut adalah kemenangan keanekaragaman tanaman dan ketahanan ekologi terhadap monokultur transgenik yang cenderung menguntungkan Perusahaan seperti Bayer, Corteva, ChemChina-Syngenta dan BASF, yang menguasai lebih dari 60% pasar benih di seluruh dunia.
Apa kata para pendukung revolusi genetika?
Jennifer Thomson, profesor emeritus biologi molekuler dan sel di Universitas Cape Town, telah mengembangkan jagung transgenik yang tahan kekeringan dengan menambahkan gen dari tanaman Xerophyta viscosa yang dapat mentoleransi dehidrasi hingga 95%.
Menjadi penasihat Forum Ekonomi Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai tanaman rekayasa genetika selama beberapa dekade, ia mengatakan, "Ada begitu banyak kontroversi, dan hal ini masih terus berlanjut."
Namun dalam konteks perkebunan rakyat di Afrika bagian selatan, ia melihat tanaman tahan serangga yang dihasilkan melalui rekayasa hayati sebagai "anugerah bagi para petani.”
Para ilmuwan Australia mempelopori proyek produksi kacang tunggak melalui rekayasa biologis perlindungan hama serangga karena kacang-kacangan telah menjadi makanan pokok di seluruh Afrika selama ribuan tahun.
"Tanpa resistensi terhadap serangga, dalam banyak kasus mereka tidak akan bisa panen,” kata Jennifer Thomson, seraya menambahkan bahwa penanaman jagung transgenik telah melipatgandakan hasil panen bagi beberapa petani di Afrika.
Tanaman non-GMO bisa jadi solusi ketahanan pangan?
Meskipun potensi tanaman transgenik baru meningkat, resistensi terhadap manipulasi gen terus berlanjut. Berkembang skeptisisme, dengan sekitar separuh masyarakat yang disurvei secara global pada tahun 2020 meyakini bahwa tanaman transgenik tidak aman dikonsumsi.
Thomson mengklaim bahwa konsumen jagung rekayasa genetika di Afrika tidak pernah menyampaikan keluhan kesehatan. Namun Anneleen Kenis yakin perusahaan bioteknologi terlalu sering "memainkan kartu iklim,” meskipun hanya sedikit tanaman rekayasa genetika ini sebenarnya diproduksi untuk ketahanan terhadap iklim.
Inisiatif yang dilakukan adalah dengan mengembangkan buah-buahan dan sayur-sayuran yang tetap segar dalam jarak jauh. Salah satu tujuannya adalah membatasi limbah makanan yang dapat memperburuk iklim. Namun bagi Kenis, manfaat ini tidak sebanding dengan tingginya jarak tempuh pangan dan jejak karbon. Ia menekankan bahwa penting untuk memelihara "lokasi yang kaya akan keanekaragaman hayati” yang dapat melawan dan memitigasi perubahan iklim.
(ae/hp)
Sources:
"GMOS and Your Health," US Food and Drug Administration, July 2022," https://www.fda.gov/media/135280/download
"Green Revolution to Gene Revolution: Technological Advances in Agriculture to Feed the World," May 2022, https://www.mdpi.com/2223-7747/11/10/1297
"Explained: How engineered crops can fight climate change" https://www.weforum.org/agenda/2022/07/engineered-crops-can-fight-climate-change/