Masih Ada Ladang Kangkung Segar di Belantara Beton Jakarta
5 Agustus 2022Sekitar jam 07.00 pagi WIB, Adam Yanuar selalu menyempatkan diri mampir untuk memberi makan ikan-ikan air tawar yang dibudidayakan oleh Kelompok Tani Hutan Kumbang (KTH Kumbang).
"Rasanya ada yang kurang kalau belum ngasi makan ikan sebelum berangkat kerja," kata Adam yang sehari-hari bekerja di perusahaan jasa pemasangan kamera keamanan sekitar lebih dari satu tahun terakhir. Sore pulang kerja pun dia pasti mampir untuk berkebun.
KTH Kumbang terletak tidak jauh dari cagar budaya Situ Babakan di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Adam mengatakan kepada DW Indonesia bahwa lahan seluas 1,4 hektare tersebut adalah milik Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta.
Namun, sejak pandemi COVID-19 di awal tahun 2020, pemerintah setempat mempersilakan warga sekitar Srengseng Sawah untuk mengelola lahan itu. Kesempatan ini langsung ia sambar karena pada sekitaran waktu yang sama ia juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Dukung ketahanan pangan keluarga
Menurut data Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lahan pertanian di Jakarta hanya 0,6% dari total luas provinsi.
"Pertanian konvensional di Jakarta bisa dikatakan jarang. Tapi dengan pertanian (sistem) KTH masih bisa menjaga pakan satu keluarga, bapak, ibu, dan anak," terang Adam.
DW Indonesia menjumpai beberapa komoditas pangan di lahan pertanian tersebut misalnya, singkong, jagung, terong, cabai, ikan lele, ikan bawal, ikan mujair, dan ikan gurame. Salah satu petani di sana yang dikenal dengan nama Mang Tisna sempat menawarkan DW Indonesia untuk mencicipi rujak buah dari tanah mereka. Rasa buah bengkoang dan pepaya sangat renyah digigit dan segar.
KTH Kumbang mengelola lahan pertanian dengan semangat kerja sama tim. Awalnya ada sekitar 27 anggota, tetapi karena ada sebagian dari mereka yang sibuk dengan pekerjaan utama, kini tersisa 15 anggota yang masih aktif.
"Per tim ada 4 orang yang menggarap sekitar 1.000 meter lahan di sini," kata Adam. Dari total luas lahan yang mereka kelola, sekitar satu hektare digunakan untuk menanam sayur-mayur dan buah-buahan, sedangkan sisanya untuk empang ikan air tawar.
Sayur segar langsung dari kebunnya
Pada awalnya, organisasi kelompok tani ini menanam pohon-pohon hutan yang dapat menyerap air, misalnya sawo kecik atau jati. Belakangan, mereka sepakat menanam sayuran, buah, dan mendirikan empang ikan air tawar.
Adam mengakui bahwa masih ada kandungan mikroplastik di lahan tidur yang dulunya bekas tempat pembuangan sampah itu. Tapi dia memastikan bahwa sayur dan buah-buahan yang mereka hasilkan sangat layak untuk dikonsumsi.
"Di sini kami tidak menggunakan pestisida karena mengandung bahan kimia. Hasil panen kami bisa langsung dikonsumsi," kata Adam sambil menambahkan pupuk kompos yang diproduksi mandiri.
Warga sekitar Srengseng Sawah juga sudah merasakan manfaat kelompok tani ini. DW Indonesia sempat menyaksikan beberapa warga yang datang langsung untuk memilih dan membeli sayur dan buah yang dibutuhkan.
Selain bebas membeli buah, warga juga diberi "harga petani" sehingga produk hasil pertanian dapat lebih terjangkau. Organisasi pertanian ini menghindari menjual hasil panen lewat tengkulak, karena itulah pengelola bisa mengambil keuntungan sekitar 20% dari total biaya produksi.
"Contohnya, kangkung dari kami harganya Rp5.000 untuk satu kilo. Kalo di pasar mungkin harga segitu baru dapat satu atau dua ikat," kata Adam. Tidak hanya itu, para pengelola juga menawarkan hasil panen mereka secara langsung ke beberapa rumah makan, warung, dan bahkan pengusaha kolam pemancingan air tawar di sekitar Srengseng Sawah.
"Majelis Sayur"
Adam menilai potensi agribisnis di wilayah Jakarta dinilai cukup menjanjikan. Menyadari hal ini, KTH Kumbang bersama dua KTH lainnya dan tiga petani di Jakarta sepakat membentuk Majelis Sayur. Wadah ini sudah memiliki perjanjian bisnis memasok sayur-mayur dan buah-buahan dengan salah satu supermarket Jepang di Jakarta yaitu Tsukiji Mart.
"Sudah berjalan empat bulan dengan mereka. Kami harus bekerja sama dengan KTH lain untuk memenuhi permintaan," tutur Adam kepada DW Indonesia. Melalui Majelis Sayur, mereka menyuplai sayur kangkung ke Tsukiji Mart, sedangkan kelompok tani lainnya memasok cabai, terong, bayam, bahkan ikan bawal.
Bagi Adam dan komunitas mereka, kualitas hasil panen lebih penting ketimbang kuantitas. Adam dan para rakannya pernah menolak permintaan konsumen yang menginginkan pasokan 80 sampai 120 kilogram cabai tiap dua minggu karena mereka hanya sanggup memanen 30 kilogram.
Tanah pertanian untuk masa depan
Bagi Adam yang sudah menekuni hobi berkebun sejak tahun 2017, penghasilan dari hasil panen memang tidak dapat dinikmati per bulan. Tapi butuh waktu berbulan-bulan. "Gaji per bulan dari perusahaan lebih besar dari hasil panen. Tapi kalau sudah panen enam bulan atau satu tahun kemudian, hasilnya jauh lebih besar dari gaji bulanan," kata Adam.
Adam melihat jauh ke depan mengenai isu pertanian di Indonesia. Ia bersama kelompok taninya pun berusaha memperkenalkan pemahaman dasar tentang pertanian ke anak-anak muda. Bahkan mereka bekerja sama dengan sejumlah komunitas untuk mengadakan pelatihan pertanian untuk anak-anak di bangku sekolah dasar dan menengah pertama.
Dia berharap ilmu bertani tidak berhenti di generasi sebelumnya yang mengenal pertanian lebih dulu, tetapi masih diteruskan ke generasi selanjutnya.
(ae)