Dampak Jika Badan Bantuan PBB bagi Palestina UNRWA Bangkrut
21 Februari 2024"Tuhan melarang UNRWA bangkrut." Hal itu disampaikan oleh seseorang perempuan bernama Sanaa Sarhal, dia mengacu kepada United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA), sebuah badan kemanusiaan terbesar di Gaza. Bagi pihak yang ketergantungan, dampaknya bakal terasa.
"Bakal ada kerusuhan dan kekerasan," prediksi Sanaa Sarhal. "Bangkrutnya UNRWA... akan menyebabkan kerugian yang besar."
Namun, sayangnya Sarhal tidak berada di Gaza, lokasi yang sedang berkecamuk. Perempuan 43 tahun ini tinggal di Kamp Beddawi di sebelah utara Lebanon, yang dibangun pada tahun 1955 untuk menampung penduduk Palestina yang menyelamatkan diri akibat perang dan kekerasan. Jika UNRWA terpaksa harus mengurangi bantuan akibat sejumlah tuduhan kepada anggotanya di Gaza, dampak itu juga bakal dirasakan di Kamp Beddawi.
Pada bulan Januari lalu, pemerintah Israel telah memberitahu UNRWA bahwa sebanyak 12 dari 13.000 stafnya di Gaza kemungkinan ikut terlibat dalam serangan 7 Oktober yang dilakukan oleh kelompok Hamas. Hasilnya, UNRWA memecat mereka dan mengadakan penyelidikan. Sejumlah kantor berita seperti the Guardian, CNN, dan Washington Post yang sempat melihat dokumen soal hal itu mencatat bahwa tuduhan Israel itu tidak dapat diverifikasi secara independen.
Namun, konsekuensi dari tuduhan itu, 16 negara, termasuk pemberi dana UNRWA seperti Jerman, Uni Eropa dan Amerika, telah menghentikan donasinya kepada badan PBB tersebut. Kini, UNRWA bertahan dari dana sumbangan sukarela yang berasal dari negara anggota PBB.
Sejak saat itu, sebagian besar fokusnya adalah bagaimana krisis pendanaan UNRWA bakal mempengaruhi situasi kemanusiaan yang sudah genting di Gaza. Sekitar 40% anggaran UNRWA dikeluarkan untuk hampir 2 juta penduduk di wilayah tersebut. Sisanya digelontorkan ke beberapa negara yang menampung penduduk Palestina seperti Lebanon, Yordania, Suriah, termasuk juga Tepi Barat.
'Pengganti tak resmi untuk negara'
Ahli PBB di lembaga Think Tank bernama International Crisis Group yang berbasis di Brussel, Daniel Forti, menyebut UNRWA "setidaknya dapat dipahami sebagai pengganti tidak resmi untuk negara (kesejahteraan sosial) bagi warga Palestina yang tidak memilikinya." Hal itu disampaikan Daniel Forti dalam pengarahan bulan Februari ini.
"Selain itu, UNRWA juga punya nilai simbolis yang penting bagi warga Palestina, yang menilai badan tersebut sebagai salah satu jaminan terakhir dari komunitas internasional untuk solusi yang adil dan tahan lama," kata salah satu juru bicara UNRWA lewat surat elektronik kepada DW.
Ini juga yang menyebabkan UNRWA sering dilihat sebagai lembaga yang kontroversial secara politis, bahkan sebelum tuduhan Israel soal serangan tanggal 7 Oktober. "Sebagian besar kelas politik Israel menolak UNRWA justru karena nilai simbolisnya bagi Palestina," lanjut Forti. "Mereka berpendapat bahwa setiap entitas yang berdiri untuk mempertahankan hak kembali warga Palestina secara langsung mengancam eksistensi negara Israel."
"Hal ini juga yang membuat UNRWA sering digambarkan sebagai lembaga yang kontroversial secara politik, bahkan jauh sebelum tuduhan Israel tentang serangan 7 Oktober." "Sebagian besar kelas politik Israel menolak UNRWA karena nilai simbolisnya bagi Palestina," sambung Forti. "Mereka berpandangan kalau setiap entitas yang berdiri untuk mempertahankan hak kembali warga Palestina secara langsung diartikan mengancam eksistensi negara Israel."
Masalah mulai muncul bulan depan
UNRWA, yang tidak memiliki cadangan strategis dalam keadaan darurat, diperkirakan bakal merasakan dampak kekurangan dana pada akhir Maret.
"Akan ada semacam hierarki mengenai seberapa drastis keruntuhan [UNRWA] dalam hal konsekuensi," kata Jorgen Jensehaugen, seorang peneliti senior di Institut Penelitian Perdamaian Norwegia di Oslo. "Pertama-tama adalah Gaza, kemudian Lebanon dan Suriah, lalu Tepi Barat, dan kemudian Yordania."
"Bakal ada semacam hierarki soal sedrastis apa keruntuhannya (UNRWA) dalam hal konsekuensi," kata Peneliti Senior di Peace Research Institute di Oslo, Norwegia. "Pertama adalah Gaza, kemudian Lebanon dan Suriah, lalu Tepi Barat, dan kemudian Yordania."
"Lebanon akan merasakan dampaknya karena sudah berada di ambang jurang ekonomi," tegas Kepala Program Timur Tengah dan Afrika Utara untuk International Crisis Group, Joost Hiltermann. "Negara Lebanon tidak punya kapasitas menangani beban tambahan untuk merawat pengungsi Palestina. Hal itu juga berlaku untuk Suriah. Sebagai perbandingan, Yordania punya kemampuan penampungan."
Sebagai gambaran, di Lebanon sendiri infrastruktur kamp pengungsi Palestina sudah lama berdiri, tapi cenderung tak banyak yang bisa dikendalikan oleh pemerintah Lebanon. Sehingga, menurut Jensehaugen, tempat tersebut bakal runtuh begitu saja. "Jadi, tidak ada sekolah, tidak ada layanan kesehatan, tidak ada tunjangan sosial bagi mereka yang membutuhkan. Ditambah dengan konteks negara yang runtuh, hal ini akan berdampak di luar kamp, karena orang-orang harus pergi ke tempat lain untuk mendapatkan apa pun," jelasnya kepada DW. "Hal itu bakal memberikan tekanan berat bagi masyarakat setempat. Selain demonstrasi atau kerusuhan di sejumlah kamp, Anda mungkin juga akan melihat lebih banyak orang yang bergabung dengan geng kriminal atau organisasi militer hanya demi gaji."
Lembaga untuk stabilitas
Hiltermann percaya bahwa dampak ekonomi bakal berbeda di setiap negara. "Namun, mengingat lingkungan yang sangat tidak stabil bagi para pengungsi di sana, dampak politik kemungkinan bakal menjadi yang terburuk di Tepi Barat. Ada alasan kenapa militer Israel ingin agar UNRWA tetap didanai penuh," kata dia sambil memperingatkan.
Saat Jensehaugen dan rekan penelitinya mewawancarai para negara donor untuk penelitian tahun 2022 bertopik perjuangan pendanaan UNRWA, mereka menemukan bahwa lembaga ini telah lama mengalami defisit. Mereka mengungkap bahwa "apa yang disebut sebagai argumen stabilitas" telah menjadi pendorong utama bagi kontribusi para donor.
"Dengan kata lain, mendanai UNRWA adalah cara yang murah untuk menjaga stabilitas di wilayah ini, karena itu berarti ratusan ribu anak mendapatkan pendidikan," ujar Jensehaugen, sambil menambahkan kalau kemiskinan dan kurangnya pendidikan telah terbukti menjadi pendorong ekstremisme dan kejahatan.
"Jadi ada paradoks sangat besar saat ini dengan adanya keterbatasan dana untuk UNRWA," sambung Jensehaugen. "Potensi ketidakstabilan sangat jelas dan para donor sudah mengetahui bahwa hal ini dapat menjadi lebih buruk."
Contohnya, para pengamat mengatakan bahwa pemerintah-pemerintah Eropa sangat menyadari jika UNRWA gagal, mereka dapat melihat gelombang migrasi tidak teratur dari Lebanon dan Yordania.
"Kebangkrutan UNRWA bakal berbahaya bagi stabilitas lokal di setiap lokasi," tegas Hiltermann. "Namun, jika hal ini terkait dengan perang yang sedang berlangsung di Gaza, atau bahkan pengusiran massal warga Palestina dari Gaza ke Mesir, yang akan memicu eskalasi serangan oleh musuh-musuh Israel di wilayah tersebut, maka dapat dikatakan kalau semua taruhannya akan gagal."
(mh/rs)