Apa Kabar Pekerja Perempuan Indonesia?
19 Januari 2019Pada hari ini semua orang harus bekerja demi bertahan hidup. Lelaki, perempuan, transgender pada hari semua orang butuh kerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanpa disadari kerja lebih dari mendapatkan uang, pekerjaan memberikan identitas diri.
Kita bangga tampil di media sosial dengan memamerkan kerja kita: sebagai guru, tentara, dokter, insinyur atau ahli botani. Kita semua bekerja untuk hidup. Sejak dulu saya dijejali pernyataan "suami adalah imam bagi keluarga karena ia mencari nafkah”. Saya tidak setuju dengan kalimat tersebut karena pada kenyataannya, baik suami dan istri sama-sama bekerja dan membantu rumah tangga, entah itu kerja produksi atau reproduksi. Perempuan, lelaki dan gender lainnya sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologis.
Feminisme sebagai paradigma juga membahas hal-hal tentang kerja dan perempuan. Feminis Liberal fokus untuk menghapus kesenjangan gaji dan glass ceiling, Feminis Sosialis tidak mau ada pembagian gender dalam pekerjaan sedangkan Feminis Marxis ingin kerja dan reproduksi dievaluasi secara radikal dengan memaknai ulang kerja dan gender. Analisis apa yang tepat untuk menganalisis pekerja perempuan di Indonesia?
Analisis Gender dalam Kerja
Mengapa terjadi kesenjangan gaji bagi pekerja perempuan dan laki-laki di dunia kerja? Mengapa banyak perempuan sulit mencapai posisi pengambil keputusan? Jawabannya adalah karena kerja dibedakan secara gender. Perempuan secara rata-rata memiliki gaji lebih rendah daripada laki-laki karena perempuan dilihat bukan sebagai pencari nafkah, untuk itu perempuan diberikan pekerjaan-pekerjaan domestik yang bergaji rendah seperti perawat, pekerja rumah tangga atau penjahit. Perempuan dilihat dalam masyarakat sebagai penyokong, bukan pekerja utama.
Perempuan pekerja apabila sudah menikah memiliki dua status dan peran, sebagai pekerja dan sebagai Istri. Apabila perempuan hendak mendapat training atau promosi naik jabatan, perempuan tidak bisa menanggalkan begitu saja status yang satunya, dia selalu memikirkan bagaimana nasib suami dan anak-anaknya apabila ditinggal untuk training demi naik jabatan. Akhirnya, perempuan terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah akibat status dan perannya sebagai ‘perempuan'.
Apakah kalian menyadari betapa banyak perawat balita atau jompo dan pekerja rumah tangga pada umumnya adalah perempuan dan kerja domestik semacam merawat dan membersihkan itu dibayar sangat rendah. Bahkan, Indonesia tidak punya standar dan Undang-undang yang mengatur pekerja rumah tangga. Padahal sudah banyak kasus tentang Asisten Rumah Tangga yang dipecat secara sepihak bahkan diperkosa oleh majikannya.
Bekerja sebagai syarat utama bertahan hidup sangat tidak mudah bagi perempuan. Perempuan kelas atas yang terbelit patriarki sulit menembus posisi top management karena ada kultur patriarki yang menghambat perempuan. Pada perempuan kelas menengah terbelit beban triple sebagai pekerja, istri dan ibu dan sering sekali merasa tidak pernah bisa sempurna menjalankannya, dampaknya adalah beban psikologis kepada ibu kelas menengah. Sedangkan perempuan kelas bawah yang jadi pekerja rumahan lebih menderita lagi, kerja yang dilakukan tidak bisa untuk bertahan hidup dan dia terjerat struktur yang terus membuat dirinya selalu berada dalam kemiskinan. Feminisme sebagai paradigma melihat di mana posisi kelas dan identitas perempuan dalam kerja dan pekerjaannya. Perempuan kelas atas yang terhambat patriarki akan mendorong ketersediaan akses dan kesamaan hak. Perempuan kelas menengah dan bawah membutuhkan analisis feminis marxis dan sosialis untuk memaknai kerja dan dirinya. Supaya perempuan bisa bersama-sama hidup dan melanjutkan hidup yang layak, melalui kerja.
Empowerment yang Memiskinkan
Mari kita lihat nasib Kuswati seorang perempuan pekerja rumahan dari Purbalingga. Kabupaten Purbalingga dikenal dengan industri bulu mata yang produknya tersohor ke mancanegara dan digunakan oleh penyanyi terkenal seperti Katy Perry. Kuswati adalah perempuan pekerja rumahtangga yang bekerja mengurai rambut dan memasang rambut dalam bulu mata. Kuswati di bayar kira-kira Rp 13000 per bulan. Dia bekerja dari rumah karena statusnya sebagai disabilitas.
Pemilik perusahaan menganggap mempekerjakan perempuan difabel adalah sebuah empowerment tanpa melihat kenyataan bahwa uang Rp 13000 sebulan tidak cukup untuk bertahan hidup. Begitu juga dengan Ibu Dedeh yang bekerja di rumahnya di daerah Cibinong melepaskan benang-benang. Dia dibayar sebanyak celana bersih yang disetorkan kepada pengepul, tentunya sangat rendah dan di bawah UMR. Ibu Dedeh tidak perlu ke pabrik tapi jelas dia menghabiskan banyak waktu bekerja lebih banyak daripada pegawai pada umumnya yang bekerja di pabrik. Tidak ada jaminan dan standarisasi bagi pekerja rumahan, karena yang dianggap kerja adalah yang berseragam rapi, berangkat ke kantor dengan harapan gaji yang didapat cukup untuk membiayai seluruh keluarga.
Belum lagi nasib Minah sebagai Asisten Rumah Tangga cuci-gosok ke beberapa rumah di daerah Depok. Ia berangkat pukul 7 ke rumah majikannya dan pulang pukul 5 sore, beruntung apabila majikan mengijinkan dia makan siang bersama dengan keluarga. Pada banyak kesempatan Minah hanya makan sisa makanan dari keluarga majikannya. Tidak ada jaminan kesehatan buat Minah, dia bisa dipecat kapan saja dan tanpa pesangon. Kira-kira demikian potret pekerja perempuan: domestik dan bergaji rendah. Sangat sulit bagi perempuan untuk mendapat pekerjaan. Tidak heran banyak perempuan yang pergi menjadi TKW supaya dibayar lebih layak dan menghidupi keluarga.
Dalam kajian Feminis Sosialis dibahas bagimana kerja dibagi-bagi sesuai gendernya. Perempuan pekerja memiliki dua hambatan yakni kapitalisme dan patriarki. Pertama kapitalisme menginginkan tenaga kerja yang murah supaya ongkos produksi menjadi lebih murah, dengan ongkos produksi yang murah maka barang yang diproduksi bisa bersaing di pasar dan dipilih konsumen. Keuntungan mengalir kencang dan deras bagi pemilik modal, bukan kepada kerja keras pekerja. Sedangkan patriarki juga menindas perempuan dengan banyaknya pabrik atau perusahaan mempekerjakan perempuan daripada laki-laki. Ini bukan women empowerment, label yang diberikan oleh kaum libertarian terhadap banyaknya pekerja perempuan di pabrik.
Mempekerjakan perempuan dengan upah rendah tidak membebaskan perempuan justru menambah beban kehidupan mereka. Ada banyak dalih untuk mempekerjakan perempuan dengan murah di pabrik dan umumnya adalah pembenaran secara kodrati seperti perempuan lebih terampil dan telaten, perempuan hanya pendukung dan bukan pencari nafkah utama, masa kerja perempuan pendek karena harus hamil dan melahirkan.
Kesimpulan
Apa yang harus dilakukan perempuan untuk memperbaiki nasibnya adalah memahami dulu lingkungan sekitarnya. Paradigma feminis memberikan sensitifitas gender, semacam kepekaan atas kondisi yang tidak layak didapatkan dan dialami perempuan setiap harinya dan mengapa hal itu terjadi. Karena perbedaan posisi dan pengalaman perempuan tentu membutuhkan alat analisis dan penyelesaian yang berbeda pula.
Kasus-kasus perempuan pekerja dari kelas menengah bawah di atas tentu berbeda penyelesaiannya dengan kasus perempuan yang tidak bisa meraih top management. Tapi mereka punya permasalahan yang sama, status gendernya sebagai perempuan, tanpa adanya kesadaran perempuan sebagai perempuan, ia tidak menyadari bahwa dia diperlakukan secara tidak adil di setiap kelas: atas, menengah dan bawah.
Banyaknya aliran feminisme bukan berarti feminisme terpecah melainkan alat analisis apa yang paling cocok untuk menganalisis suatu kondisi tertentu. Untuk itu serikat pekerja perempuan atau solidaritas perempuan dalam pekerjaannya sangat penting, bukan saling menjatuhkan atau menyindiri sesama feminis. Hal yang dibutuhkan adalah kerjasama di bagian-bagian yang cocok sehingga bisa tercapai keadilan bagi perempuan.
Penulis @Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.