Emansipasi Perempuan di Marokko dan India
29 Mei 2006Pohon Argan tumbuh di Marokko Selatan. Pohon itu memiliki akar yang panjangnya mencapai 30 meter, dan membantu menghentikan meluasnya gurun Sahara. Namun perang, penebangan pohon, serta mengeringnya lahan yang aus karena digunakan sebagai pakan ternak perang, membuat pohon ini langka. Tahun 1998 UNESCO memasukkan pohon Argan dalam daftar tanaman yang dilindungi. Walaupun begitu hutan–hutan Argan bertambah kecil.
Zoubida Charrouf dari Rabat adalah salah seorang yang paling giat memperjuangkan budaya Argan, yaitu penggunaan minyak Argan sebagai obat. Profesor kimia di Universitas Rabat ini membentuk kerja sama koperasi Argan dan memobilisasi ribuan perempuan Berber di Marokko Selatan untuk melindungi pohon ini.
Para perempuan yang duduk bersama dengan tekun menguliti biji-biji Argan, kemudian menggoseng dan melumatnya sampai minyak Argan itu keluar. Setiap orang membutuhkan tiga hari untuk mendapatkan satu liter minyak Argan.
Walaupun produksinya sangat rumit, kaum Berber dari Marokko Selatan menggunakan minyak Argan untuk mengobati luka, peradangan dan bahkan untuk menyembuhkan kanker. Agar hutan-hutan Argan tidak punah, Zoubida Charrouf dengan bantuan organisasi-organisasi internasional tahun lalu mendirikan 100 koperasi Argan. Mereka mengekspor minyak Argan ini ke seluruh dunia.
Zoubida Charrouf: "Dalam minyak Argan terdapat Saponin, yang misalnya bagus untuk menghilangkan pegal-pegal di kaki. Yang sangat istimewa pada minyak ini adalah karena memiliki kandungan 80% lemak tak jenuh, yang sangat bagus untuk kulit dan menghindari rheumatik. Selain itu, minyak Argan mengandung Spinasterol dan Schottenol yang menurunkan kolesterol, sehingga sangat baik bagi yang berpenyakit jantung. Belakangan ini saya menemukan bahwa minyak Argan ini bisa menghindarkan orang dari kanker prostata.“
Bersama suaminya yang insinyur, Zoubida Charrouf hidup berkecukupan di Rabat, ketiga anaknya sekolah di Prancis. Namun keberhasilannya dicapai dengan susah payah. Ketika ia masih kecil, ayahnya bahkan tidak ingin ia bersekolah.
Zoubida Charrouf: "Ayah saya itu seorang petani yang cukup kaya, dan mempunyai banyak istri. Saya menjadi besar dengan 10 orang saudara lain ibu, dan 7 orang saudara kandung. Ayah saya bekerja keras agar anak lelakinya bisa sekolah, bahkan sampai membelikan rumah di desa tetangga agar mereka dekat dengan sekolah. Walaupun ia menganggap pendidikan itu penting, ia tidak membolehkan anak perempuannya ke sekolah.“
Kakak-kakak perempuan Zoubida semua menurut, tapi si bungsu Zoubida tidak bersedia untuk hanya melihat kakaknya berangkat ke sekolah setiap pagi. Diam-diam ia ikut ke sekolah bersama saudara lelakinya, karena rumah keluarga Charrouf berbentuk Harem dan selalu banyak orang, ayahnya tidak tahu. Sampai Zoubida berusia 8 tahun, ketika saudara-saudaranya itu pindah ke sekolah lain.
Zoubida Charrouf: "Ayah dan kakak-kakak sudah berada dalam mobil. Saya berdiri di situ menjinjing tas dan mengatakan akan ikut ke sekolah. Ayah saya tadinya menolak, tapi saya mengancam, lebih baik dilindas mobil daripada tidak sekolah. Oleh karena saya bisa berbahasa Perancis dan dapat menerjemahkan untuk ayah kalau harus berbicara dengan guru saya, maka akhirnya saya diperbolehkan sekolah.“
Zoubida Charrouf menerima bea siswa melanjutkan studi di bidang kimia di Paris. Setelah kembali ke Marokko, ia melihat bahwa 80 sampai 90 persen perempuan Maroko khususnya di pedesaan masih buta huruf dan tidak memiliki penghasilan. Melalui koperasi-koperasi Argan yang dibentuknya, mereka bisa menghasilkan uang. Khadija berusia 20 tahun, yang putus sekolah di kelas 2 SD. Anak petani ini sekarang turut bekerja di salah satu koperasi Argan. Ia bercerita:
Khadija: "Sebelumnya saya bekerja hanya pada waktu panen sebagai pekerja harian. Orang tua saya tidak suka bila saya bekerja di kota lain. Tapi penghasilan saya sekarang lumayan dan saya bisa menabung. Dari tabungan itu, saya akan membeli beberapa domba untuk jaga-jaga. Kan siapa tahu, saya jatuh sakit dan tidak bisa kerja lagi”.
Ribuan perempuan desa Marokko mendapat keuntungan dari koperasi Argan yang mereka kelola sendiri itu. Selain upahnya, para perempuan dan anak gadis ini mendapat kursus belajar membaca dan pengetahuan tentang hak perempuan dalam keluarga.
Dari Marokko pindah ke India, sebuah negara yang penuh kontradiksi. Kita mengenal Indira Gandhi, yang pernah menjadi perdana menteri dan sejumlah perempuan terpandang lainnya dalam masyarakat India. Namun di negara yang penduduknya lebih dari satu milyar ini, banyak perempuan yang malah tersisihkan dari perkembangan. Urvashi Butalia berusaha mengubah itu dengan mendirikan penerbitan feminis pertama di India.
Pada awalnya banyak orang yang ragu, mungkinkah ada cukup banyak tema untuk dipublikasi oleh sebuah penerbitan perempuan. Kali for women, demikian nama Penerbit yang didirikan oleh Urvashi Butalia. Kali adalah nama dewi yang di agama Hindu dikenal karena kemandirian dan kekuatannya. Dewi yang juga dianggap ganas ini, terhitung sebagai sosok yang membawa pembaharuan.
Urvashi Butalia: "Gerakan perempuan di India sebenarnya sangat berhasil, gerakan ini telah mampu mengubah sejumlah undang-undang yang memungkinkan kesetaraan perempuan dalam masyarakat. Tapi setelah beberapa tahum kami melihat bahwa perubahan undang-undang saja tidak cukup. Kami masih harus membangun kondisi dimana orang-orang yang bekerja dengan undang-undang ini, mau menggunakannya. Kadang-kadang ada undang-undang yang baik tapi dalam pelaksanaannya berbebda. Sekarang kelompok perempuan bekerja dengan polisi, pengacara, hakim dan pekerja sosial dan berusaha meningkatkan kepekaan mereka terhadap masalah perempuan."
Setiap tahunnya, Urvashi Butalia menerbitkan 15 buku yang ditulis oleh perempuan, maupun yang mengangkat tema perempuan. Temanya mengenai pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup politik dan sejarah. Juga buku-buku sastra. Namun bagi dia yang paling penting adalah yang disebut buku-buku aktivis, karena mendukung interaksi para aktifis dengan masyarakat.
Di pedesaan India, banyak perempuan yang buta huruf, karenanya buku-buku ini diterbitkan dalam jumlah kecil dan disebarkan melalui jaringan aktivis. Temanya mulai dari seksualitas, penyakit sampai kebersihan. Biasanya, buku-buku ini difotokopi dan disebarkan kepada kelompok perempuan di desa-desa itu.
Urvashi Butalia: "Perempuan India mendapat banyak tekanan untuk menikah. Baru setelah mereka melewati usia 30 tahun, desakan itu berkurang dan perempuan baru mulai dihargai karena kemampuannya.“
Menurut Urvashi Butalia, partai Hindu tradisional BJP berusaha menghentikan emansipasi perempuan. BJP mempropagandakan mitos Hindu, dimana perempuan harus menjadi istri yang tidak berkarir dan tidak mengkritik suami. Kelompok perempuan di India menolaknya, mereka tidak ingin menjadi perempuan yang hanya menunggu suami sambil menonton televisi.