Anggota Parlemen Korsel Lawan Zona Larangan Bawa Anak
24 Juli 2023Pengalaman ditolak masuk ke tempat-tempat umum saat membawa bayi, mendorong Yong membuat gebrakan baru, yakni memberantas "zona larangan membawa anak", yang sedang berkembang di Korea Selatan. Yong yang berusia usia 33 tahun, adalah salah satu anggota Majelis Nasional termuda di negara itu
Di negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, munculnya semakin banyak fasilitas yang melarang anak-anak-- seperti kafe, perpustakaan, dan galeri seni -- membuat marah orang tua seperti Yong. Menurutnya hal tersebut secara tidak sengaja menggagalkan kebijakan pemerintah selama beberapa dekade.
Pemerintahan di Seoul telah menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk mendorong warga Korea Selatan agar memiliki lebih banyak bayi, menawarkan subsidi tunai, layanan pengasuhan anak, dan dukungan untuk perawatan infertilitas. Namun tetap saja langkah-langkah itu tidak berhasil, dengan angka kelahiran yang terus anjlok ke level terendah.
Dengan angka 0,78 kelahiran per perempuan, maka hal itu jauh di bawah tingkat yang diperlukan untuk menjaga ukuran populasi agar tetap stabil. Banyak ahli sekarang mengatakan, faktor sosial – bukan faktor ekonomi – yang mungkin mendorong penurunan angka kelahiran tersebut.
Diskriminasi pada ibu muda?
Ada berbagai alasan untuk pemberlakuan zona larangan anak, misalnya kebisingan yang mengganggu atau orang dewasa yang "tidak pengertian". Namun Yong mengatakan larangan itu adalah bentuk diskriminasi pada ibu muda. "Saya merasa seperti telah diusir dari masyarakat," kata Yong kepada kantor berita AFP, ketika mengingat pengalamannya ditolak dari kafe, setelah mengumpulkan energi untuk dirinya dan bayinya yang baru lahir, bepergian ke luar rumah.
Yong mengatakan dia telah berjuang dengan depresi pascapersalinan dan "menangis setiap hari saat menyusui", dan berharap dengan main ke kafe akan menjadi langkah untuk kembali normal.
Namun justru sebaliknya: "Saya sekarang telah menjadi orang yang dapat dengan mudah ditolak -- di tempat-tempat seperti restoran, kafe, bar, dan bioskop. Saya ingat kerap menangis dalam perjalanan pulang."
Majelis Nasional Korea Selatan sendiri merupakan zona larangan membawa anak-anak, karena hanya anggota parlemen dan staf berwenang yang diizinkan masuk. Ketika Yong kembali bekerja, dia mengusulkan undang-undang yang mengizinkan bayi di bawah 24 bulan untuk menemani ibunya bekerja. Kebijakan itu juga masih tertunda, yang menurutnya tidak mengherankan.
"Karena Majelis Nasional didominasi oleh laki-laki berusia 50-an dan lebih tua, hanya ada sedikit minat pada sistem yang dapat menggabungkan kegiatan mengasuh anak dan parlementer," kata Yong kepada AFP, sambil duduk di kantornya bersama putranya yang berusia dua tahun. "Ini bukan masalah mendesak bagi mereka karena tidak mempengaruhi kehidupan mereka."
Mendorong lebih banyak perhatian ke isu sosial
Namun bagi Yong, yang mendirikan dan memimpin Partai Penghasilan Dasar, kecuali pemerintah mengalihkan perhatiannya ke isu-isu sosial seperti ketidaksetaraan dan kesenjangan upah gender, tidak akan mampu memperbaiki krisis demografis yang dihadapi Korea Selatan.
Bagi banyak anak muda, "bahkan sulit untuk memprediksi apa yang akan Anda lakukan untuk mencari nafkah tahun depan", katanya, menunjuk pada ketidaksetaraan yang meningkat tajam, yang terutama memengaruhi kaum muda.
Yong yang pernah bekerja di sebuah hotel mewah sebagai pelayan untuk menghidupi dirinya sendiri selama masa kuliahnya, menghasilkan 3.500 won (41 ribu rupiah) per jam dan bekerja 14 jam sehari untuk memenuhi kebutuhan. Padahal setiap steak yang dia sajikan harganya 70.000 won (820 ribu rupiah) per porsi.
"Bahkan jika Anda bekerja selama 14 jam, gaji harian Anda tidak akan memungkinkan Anda membeli steak yang Anda sajikan," katanya. "Ketika kamu bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidupmu sendiri dalam setahun, itu adalah pertaruhan untuk bisa memiliki anak."
Pupusnya harapan anak muda
Yong pertama kali menjadi sorotan nasional ketika dia didakwa "melanggar hukum" mengorganisir aksi protes diam atas bencana kapal feri Sewol tahun 2014, di mana ratusan orang, kebanyakan anak sekolah, meninggal dunia.
Setelah pertarungan hukum selama enam tahun, dia akhirnya dinyatakan tidak bersalah pada tahun 2020 – tahun yang sama dia pertama kali terpilih menjadi anggota Majelis Nasional Korsel dengan dukungan kuat dari para pemilih muda.
Setelah tragedi Sewol, dan insiden kerumunan di Itaewon yang menewaskan lebih dari 150 orang tahun lalu, banyak anak muda Korea Selatan kehilangan kepercayaan pada pemerintah mereka, katanya.
Orang-orang merasa "bahkan jika Anda melahirkan dan membesarkan anak-anak Anda, negara tidak akan melindungi mereka", kata Yong kepada AFP, seraya menambahkan bahwa bagi banyak anak muda Korea, ingin menjadi orang tua "dianggap tidak rasional".
Zona tanpa anak menggambarkan bagaimana masyarakat Korea memandang kesulitan menjadi orang tua dini -- seperti kurang tidur dan menyusui -- sebagai hal yang harus ditanggung sendiri oleh perempuan, katanya.
Pemerintah yang didominasi laki-laki mungkin ingin meningkatkan angka kelahiran, tambahnya, tetapi juga "lebih suka jika proses membesarkan anak yang biasanya diikuti suara bising, sulit dan menyakitkan dilakukan secara terpisah, di suatu tempat yang tidak terlihat, yakni di pulau terpencil," sindirnya.
ap/hp (AFP)