Kenangan Pahit Korban Selamat Tragedi Itaewon yang Mematikan
1 November 2022Hingga Senin (31/10), jumlah korban tewas dalam tragedi kerumunan massa di Itaewon, Seoul, Korea Selatan, naik menjadi 154 orang. Keluarga dan kerabat korban berupaya mengikhlaskan kejadian itu, tetapi para penyintas masih terguncang akan seberapa dekat mereka dengan kematian.
Pejabat di Pusat Penanggulangan Bencana dan Keselamatan telah memperingatkan bahwa jumlah korban tewas masih bisa bertambah, mengingat 33 orang masih dirawat di rumah sakit dengan luka serius dan 116 korban lainnya menderita luka ringan.
Perdana Menteri Korea Selatan Han Duck-soo pada hari Senin (31/10) berjanji bahwa pemerintah akan melakukan "penyelidikan menyeluruh."
Tidak ada mitigasi kerumunan massa
Pada Sabtu (29/10) malam, massa berbondong-bondong ke distrik Itaewon, salah satu tempat hiburan malam paling populer di Seoul, untuk merayakan Halloween pertama sejak pembatasan virus corona dicabut.
Otoritas setempat meyakini sebanyak 100.000 orang memadati daerah itu. Gang-gang sempit di Itaewon menjadi jauh lebih padat. Anthony Spaeth, editor senior surat kabar JoongAng Daily, berada di Seoul untuk perayaan tersebut dan mengatakan kepada DW bahwa "tidak ada pengendalian massa" meskipun jumlah manusia di area itu sangat banyak.
"Untuk sementara saya berada di dalamnya. Sekitar 20 menit setelah saya keluar dari kerumunan itu, orang-orang sekarat," katanya.
Dalam sebuah artikel yang dia tulis untuk JoongAng, Spaeth yang berusia 66 tahun mengatakan dia "hampir mengalami serangan panik" saat mencoba keluar dari kerumunan. Spaeth mengatakan dia merasa kakinya tidak lagi ada tenaga saat kerumunan melonjak. Beberapa perempuan di sekitarnya juga sudah menangis.
Setelah bersusah payah, Spaeth dan temannya berhasil melepaskan diri dari kerumunan dan menemukan jalan kembali ke jalan utama. Tidak menyadari skala tragedi yang terjadi di tempat mereka baru saja berada, mereka minum-minum di luar minimarket.
Tidak lama berselang, ketika kembali ke jantung Itaewon, dia melihat barisan ambulans yang membawa tim darurat berusaha menjangkau para korban.
"Saya bisa saja mati"
Daniel, seorang guru ekspatriat dari Amerika Serikat yang tidak mau menyebutkan nama keluarganya, mengatakan kepada DW bahwa berjalan-jalan di Itaewon saat Halloween adalah "tradisi" baginya, tetapi tahun ini berbeda.
"Saya mencoba menghindarinya sejak awal dengan cara sebaliknya," katanya, seraya menambahkan bahwa dia akhirnya berhasil menemukan jalan keluar dari kerumunan. "Beberapa menit setelah saya meninggalkan gang itu adalah saat kerumunan mulai semakin padat. Namun, musik dan semuanya begitu keras sehingga saya tidak tahu tragedi itu terjadi," katanya.
Setelah bergerak agak jauh, dia tetap tidak menyadari bencana itu sampai kembali ke jalan utama Itaewon sekitar dua jam kemudian dan melihat barisan kendaraan darurat.
"Ini nyata," katanya. "Saya bisa saja mati. Orang-orang di belakang saya di kerumunan mungkin mati. Saya tidak tahu apa yang saya rasakan, tetapi saya sudah menangis lima kali hari ini."
Skala tragedi Itaewon
Menurut laporan media di Korea Selatan, posko darurat telah didirikan di gimnasium di mana korban tewas disemayamkan sementara untuk diidentifikasi dan nantinya diklaim oleh keluarga atau kerabat mereka.
Sebuah editorial di JoongAng Daily edisi Senin (31/10) mengatakan bencana itu "dapat dihindari jika polisi dan otoritas pemadam kebakaran telah mempersiapkan secara menyeluruh untuk kemungkinan skenario sebelumnya."
Ia juga menyerukan pemerintah nasional dan lokal untuk "menemukan solusi efektif untuk mencegah bencana seperti itu."
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengunjungi lokasi tragedi dan mengumumkan satu minggu berkabung di seluruh negeri.
"Ini benar-benar mengerikan," kata Yoon dalam pidato dari kantornya pada hari Minggu (30/10). "Sebagai presiden, yang bertanggung jawab atas kehidupan dan keselamatan rakyat, hati saya berat dan saya berjuang untuk mengatasi kesedihan saya."
Dia menambahkan bahwa pemerintahannya akan "menempatkan prioritas" dalam menentukan bagaimana tragedi itu terjadi dan membuat langkah-langkah untuk memastikan hal serupa tidak akan pernah terjadi lagi.
Wartawan Spaeth mengatakan dia skeptis jika tragedi itu mampu menghasilkan perubahan institusional.
"Tragedi semacam ini terjadi berulang kali di Korea Selatan," katanya, menunjuk pada tragedi feri Sewol pada April 2014, di mana 299 orang tewas ketika kapal tenggelam di Pulau Jeju. Sebagian besar korban adalah anak-anak dalam perjalanan sekolah.
"Segera setelah kecelakaan itu, Presiden Park Geun-hye saat itu mengatakan dia ingin mengubah budaya Korea menjadi budaya keselamatan terlebih dahulu, tapi saya pikir itu jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan," katanya.
(ha/pkp)