1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Ahli PBB: Upaya Hentikan Konflik di Myanmar ’Tidak Berhasil’

10 Oktober 2024

Ahli PBB mendesak kekuatan regional dan global untuk lebih menerapkan sanksi hukum, keuangan dan perdagangan terhadap junta militer. Krisis Myanmar mendominasi pembahasan hari pertama KTT ASEAN di Vientiane, Laos.

https://p.dw.com/p/4lbXs
Para pemimpin dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Vientiane, Laos, Rabu (09/10)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Vientiane, LaosFoto: Nhac Nguyen/AFP

Pelapor Khusus untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tom Andrews mengatakan bahwa upaya pihak global untuk menghentikan perang sipil di Myanmar ”jelas tidak berhasil”. Dia juga mendesak para pemimpin dunia untuk menghentikan aliran ”uang, senjata, dan legitimasi” kepada junta militer yang berkuasa.

Hal itu disampaikannya pada Kamis (10/10), seraya menggambarkan bahwa situasi yang telah ”berubah jadi buruk, menjadi lebih buruk, sampai mengerikan” dalam pertempuran di Myanmar tersebut telah menyebabkan tiga juta orang lebih mengungsi.

Konflik tersebut dibahas dalam pertemuan para pemimpin Asia Tenggara di Laos pekan ini, yang mendesak Junta Militer Myanmar dan lawannya untuk mengambil ”tindakan nyata” demi menghentikan pertumpahan darah.

Menurut Andrews, sejak militer Myanmar merebut kekuasaan pada Februari 2021 silam, mereka telah menangkap lebih dari 20.000 orang yang berbeda pendapat dan membombardir kawasan yang dikuasai opisisi.

Namun terlepas dari kekuatan persenjataannya, pihak militer juga kewalahan dalam menghentikan sejumlah serangan bersenjata dari kelompok etnis dan milisi sipil di beberapa negara bagian.

Junta militer telah kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah negara dan menuai kecaman internasional.

Dalam kunjungannya ke Australia, Andrews menyebut kalau rezim itu telah kehilangan ”puluhan ribu” tentara dalam pertempuran dan telah beralih ke sistem wajib militer agar dapat menyusun kembali pasukannya.

”Junta telah menanggapi kekalahan mereka dengan meningkatkan serangan terhadap target-target sipil,” ujar Andrews, dan memperkirakan bahwa pasukan junta telah membunuh lebih dari 5.600 warga sipil.

Andrews mendesak kekuatan regional dan global untuk lebih menerapkan sanksi hukum, keuangan dan perdagangan.

”Ada keharusan yang besar untuk tindakan internasional,” tegas dia, sambil mendesak kekuatan-kekuatan regional supaya rezim junta militer menjadi kekurangan ”uang, senjata, dan legitimasi.”

”Tanggapan internasional terhadap krisis ini jelas tidak berhasil,” katanya, sambil menyerukan pertemuan darurat.

”Saya khawatir kalau krisis yang semakin dalam di Myanmar telah menjadi tidak terlihat oleh sebagian besar dunia,” tambahnya.

Andrews juga mendesak Australia dan negara-negara yang punya pemikiran sama untuk membantu menuntut para pemimpin Myanmar atas tindakan genosida dan mendukung langkah untuk mengajukan tuntutan kejahatan perang di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) di Den Haag.

Adapun tuntutan itu sebagian besar isinya berkaitan dengan penganiayaan selama puluhan tahun terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya, yang telah dibunuh, diculik, dipaksa menyeberangi perbatasan ke negara tetangga, Bangladesh.

Bangladesh adalah rumah bagi sekitar satu juta pengungsi Rohingya, yang sebagian besar melarikan diri pada tahun 2017.

ASEAN sulit cari solusi konflik Myanmar?

Pada Rabu (09/10), para pemimpin Asia Tenggara mendesak junta Myanmar dan para penentangnya untuk mengambil ”tindakan nyata” untuk menghentikan pertumpahan darah di negara itu. Perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) telah mencoba mencari solusi yang dinegosiasikan untuk krisis Myanmar.

Krisis ini telah mendominasi pembahasan saat hari pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Vientiane, Laos. Selain itu, topik terkait sengketa Laut Cina Selatan (LCS) juga termasuk dalam agenda utama.

Saat hari pertama KTT ASEAN, para pemimpin ASEAN mengadakan pembicaraan tatap muka pertama kalinya dalam tiga tahun dengan perwakilan senior junta Myanmar.

Semula, junta militer menyetujui rencana ”lima poin konsensus” dengan ASEAN untuk memulihkan perdamaian beberapa minggu setelah menggulingkan Aung San Suu Kyi. Namun, mereka malah melanjutkan penumpasan berdarah terhadap pihak oposisi yang menentang rezim.

Setelah mengutuk Myanmar karena mengabaikan lima poin itu dalam KTT 2022 dan 2023, para pemimpin ASEAN bersikeras dalam hari pertama KTT 2024 bahwa rencana tersebut masih menjadi ”referensi utama” mereka untuk mengatasi krisis. Hal itu tertuang dalam rancangan pernyataan Ketua ASEAN.

Krisis Rohingya Bisa Meluas Jadi Konflik Keamanan Regional

"Implementasi yang belum jelas"

”Kami sedang mencoba mencari cara untuk melangkah maju, karena kami harus mengakui meskipun lima poin tersebut sudah ada... kami belum terlalu berhasil mengubah situasi,” kata Presiden Filipina Marcos kepada jurnalis.

”Kami sedang mencoba merumuskan strategi baru,” ucapnya, sambil menambahkan kalau strategi-strategi baru itu masih belum diputuskan.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Thailand Nikorndej Balankura mengonfirmasi bahwa tidak ada diskusi dalam pertemuan itu mengenai cara implementasi rencana perdamaian.

Kegagalan ASEAN untuk membuat kemajuan nyata dalam menyelesaikan perang saudara terhadap salah satu anggotanya sendiri telah memicu pertanyaan-pertanyaan yang telah lama muncul soal efektivitas perserikatan tersebut.

”Semakin lama krisis Myanmar tidak terselesaikan, semakin besar risiko ASEAN untuk tidak lagi berguna dalam menyelesaikan konflik di kawasan Asia Tenggara,” kata Analis Hubungan Internasional di Solaris Strategies Singapura, Mustafa Izzuddin, kepada kantor berita AFP.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Akibat diplomasi formal belum menghasilkan kemajuan, Thailand akan menjadi tuan rumah pembicaraan informal mengenai krisis di Myanmar ini pada Desember 2024 mendatang dengan melibatkan anggota ASEAN dan kemungkinan negara tetangga seperti Cina dan India.

Ma'ruf Amin: krisis Myanmar adalah tantangan terbesar ASEAN

Hadir dalam KTT ASEAN di Vientiane, Wakil Presiden RI (Wapres RI) Ma'ruf Amin menyoroti sikap ASEAN terhadap masalah ini. Dia menekankan kalau persoalan ini menjadi masalah internal ASEAN yang harus segera diselesaikan.

Dilansir dari Detik, Ma'ruf semula mengingatkan soal pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional untuk menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan dan dunia.

"ASEAN harus terus menyuarakan pentingnya penegakan hukum internasional tanpa tebang pilih, tanpa standar ganda. Upaya ini menjadi keharusan sebagai bentuk konsistensi ASEAN dalam menjaga perdamaian," ujar Ma'ruf dalam pertemuan pada Sesi Retreat KTT ASEAN ke-45 di National Convention Centre (NCC), Vientiane, Laos, Rabu (09/10).

Dia mengatakan kalau tantangan terbesar ASEAN saat ini adalah krisis Myanmar. "Krisis di Myanmar menjadi tantangan internal terbesar ASEAN saat ini,” ucap Ma'ruf Amin. Menurutnya, krisis ini tidak hanya membawa penderitaan untuk masyarakat Myanmar, tapi juga menjadi ancaman stabilitas kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, Ma'ruf juga menyerukan ditingkatkannya bantuan kepada rakyat Myanmar. Dia meminta ASEAN memastikan isu Rohingya juga menjadi bagian dari penyelesaian masalah Myanmar.

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

mh/gtp (AFP, Detik)