Didera Krisis Ekonomi, Myanmar Giat Berdagang Narkoba
11 Juni 2024Myanmar semakin giat memproduksi dan mengekspor obat-obatan terlarang, ketika perang saudara antara junta militer dan pemberontak etnis kian membebani ekonomi yang berbasis pada pertanian.
Myanmar mengalami krisis sejak Februari 2021, ketika Jendral Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan sipil demokratis lewat aksi kudeta yang memicu protes massal dan akhirnya memancing pemberontakan bersenjata. Menurut laporan dari Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkoba dan Kejahatan, UNODC, ladang opium Myanmar tumbuh sebesar 18 persen, menjadi total 47.100 hektar, pada tahun 2023.
Lonjakan produksi narkoba di Myanmar juga bertepatan dengan terhentinya suplai opium dari Afghanistan sejak Taliban berkuasa pada tahun 2021 yang melarang tanaman narkotika. Menurut UNODC, Myanmar telah menggeser Afghanistan sebagai produsen opium terbesar di dunia.
Zachary Abuza, seorang profesor di National War College di Washington yang fokus pada politik dan keamanan Asia Tenggara, mengatakan kepada DW bahwa lonjakan produksi opium di Myanmar "bukanlah suatu kebetulan."
"Perekonomian Myanmar telah turun 12 persen sejak kudeta. Sistem kredit pedesaan telah ambruk, yang berarti para petani merasa putus asa dan harus mencari cara lain untuk menghidupi diri mereka sendiri," katanya.
Sejarah produksi opium di Myanmar
Budidaya opium telah lama menjadi sumber pendapatan penting bagi masyarakat Myanmar. “Segitiga Emas”, sebuah wilayah perbatasan hutan Myanmar, Thailand, dan Laos, terkenal sebagai tempat produksi dan penyelundupan narkoba.
Menurut laporan UNODC, Negara Bagian Shan, yang berbatasan dengan Thailand, Laos, dan Cina, masih menjadi pusat produksi opium negara tersebut. Negara bagian ini juga mencatat peningkatan budidaya opium tertinggi sebesar 20 persen. Kini 88 persen dari total wilayah budidaya opium di Myanmar terletak di wilayah ini.
Peningkatan produksi opium juga meningkatkan ekspor heroin yang berasal dari morfin, suatu alkaloid yang merupakan salah satu komponen opium. Lebih dari 150 ton heroin diekspor dari Myanmar pada tahun 2023, dengan nilai lebih dari $2 miliar di pasar gelap.
Tingginya popularitas metamfetamin
Heroin bukanlah satu-satunya obat yang diproduksi di Myanmar. Patrick Winn, seorang jurnalis Amerika yang khusus memantau perdagangan narkoba di Asia Tenggara, mengatakan kepada DW bahwa metamfetamin adalah "narkotika yang paling disukai di Asia."
"Meskipun produksi heroin di Myanmar meningkat, metamfetamin masih menjadi yang terbaik di Asia Tenggara," katanya, seraya menunjukkan bahwa memproduksi heroin cendrung "bermasalah" jika dibandingkan dengan obat-obatan sintetis seperti metamfetamin.
"Bahan bakunya, opium, membutuhkan banyak tanah, cuaca yang baik, dan kerja keras di ladang," katanya. "Meth disintesis di dalam ruangan, di laboratorium yang tahan cuaca, oleh tim kimiawan kecil. Anda mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dengan tenaga kerja yang jauh lebih sedikit."
"Narkotika masa kini dan masa depan adalah sintetis ... jadi, kecuali selera konsumen berubah, mungkin ada batasan volume heroin yang dapat dijual oleh sindikat narkoba regional," kata Winn.
Pencegahan narkoba lewat ASEAN?
Menurut Abuza, organisasi negara-negara Asia Tenggara, ASEAN, dan masyarakat internasional perlu berbuat lebih banyak untuk meredam industri narkoba ilegal di Myanmar. Pencegahan bisa mencakup pemberlakuan sanksi terhadap perdagangan bahan kimia prekursor yang dibutuhkan untuk memproduksi narkoba seperti heroin, sabu dan ketamin.
"ASEAN sama sekali tidak melakukan tindakan konstruktif apa pun terkait Myanmar saat ini," katanya.
"Selama negara-negara ASEAN, serta Cina dan India, tidak melarang penjualan bahan kimia prekursor, saya tidak melihat akan berakhirnya produksi di Myanmar. Masyarakat internasional seharusnya prihatin dengan pertumbuhan pesat pasar gelap di Myanmar, karena ekonomi secara keseluruhan terus merosot," tambahnya.
Myanmar adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang belum memulihkan ekonominya ke tingkat sebelum pandemi, dengan pertumbuhan PDB hanya 1 persen pada tahun 2024, menurut laporan Bank Dunia.
Aung Thu Nyein, seorang analis politik dari Myanmar, mengatakan kepada DW bahwa kemerosotan ekonomi telah memengaruhi kehidupan sehari-hari di seluruh negeri.
"Konsumen di seluruh Myanmar selama tiga tahun terakhir telah menghadapi inflasi harga yang kuat untuk barang-barang penting seperti bahan bakar, minyak sawit, beras, dan obat-obatan," katanya kepada DW. "Banyak rumah tangga di Myanmar sekarang menghadapi kesulitan yang semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan hidup," tambahnya.
rzn/yf