Ada Apa dengan Gelombang Protes di Yordania?
23 Desember 2022Tiga polisi tertembak mati di selatan Yordania pada awal pekan ini. Pelaku penembakan ikut tewas. Kekerasan bereskalasi di Kota Maan yang dilanda gelombang protes sejak beberapa hari silam. Beberapa pekan sebelumnya, seorang perwira menengah kepolisian dikabarkan tewas terkait aksi demonstrasi. Buntutnya, aparat menangkap lebih dari 40 orang dalam sebuah razia nasional.
Banyak warga Yordania yang dikejutkan oleh serangkaian pembunuhan terhadap aparat keamanan tersebut, kata Edmund Ratka, Direktur Yayasan Konrad Adenauer Jerman di ibu kota Amman. Repotnya, ketiga aparat tewas tertembak saat merazia sebuah rumah yang diduga menampung tersangka pelaku pembunuhan polisi.
Koran pemerintah, Jordan Times, melaporkan tersangka pelaku merupakan anggota kelompok berideologi Takfiri. Aliran radikal Islam ini banyak mendasari gerakan teror Al-Qaida atau Islamic State. Sulit dibayangkan, pembunuhan aparat berkaitan dengan gerakan protes di Yordania terhadap kerajaan.
"Kaum jihadis telah kehilangan dukungan di masyarakat," kata Ratka. "Kebanyakan warga Yordania punya masalah yang lebih mendesak dan tidak mewakilkan aspirasi politiknya kepada kelompok ekstremis Islam." Dia tidak menutup kemungkinan, kelompok teror merupakan "penumpang gelap" dalam aksi protes.
Aksi mogok meluas
Protes di Yordania dipicu aksi mogok pengemudi truk dan bus pada awal Desember lalu. Mereka menuntut keringanan pajak demi menurunkan harga bahan bakar. Buntutnya, demonstrasi meluas di penjuru negeri. Akhir pekan lalu, asosiasi pedagang eceran mendeklarasikan mogok massal. Sementara blokade dan aksi mogok jalan juga dilaporkan terjadi berbagai kota.
Pemerintah merespons dengan membatasi arus komunikasi seluler dan digital. Berbagai kanal media sosial tidak lagi bisa diakses. Kepada stasiun televisi Qatar, al-Jazeera, kepolisian berdalih, pembatasan akses diperlukan guna mencegah "penyalahgunaan" media sosial.
"Kita tidak bisa menjamin bahwa aksi protes akan bisa dikendalikan dalam beberapa hari ke depan," kata anggota parlemen, Ahmed al-Qatawneh. "Pemerintah harus bertanggung jawab dan meletakkan jabatan, karena gagal menemukan solusi bagi masalah harga bahan bakar," imbuhnya kepada media-media nasional.
Peringatan keras dilayangkan Raja Abdullah II terhadap pelaku pembunuhan. Mereka yang mengangkat senjata akan ditindak tegas, katanya pada Jumat (16/12) lalu.
Sebagai kompensasi ongkos bahan bakar yang tinggi, pemerintah setuju memberikan bantuan tunai kepada pengemudi truk dan bus. Selain itu, bank juga mengumumkan akan membekukan cicilan kredit kecil dan menengah selama musim dingin secara gratis.
Tekanan ekonomi
Uluran tangan pemerintah tidak lantas meredakan protes. Warga tetap menuntut turunnya harga bahan bakar. Sejak 2019, pajak negara bagi bensin tanpa timbal dipatok 121 persen. Adapun pajak untuk bensin bernilai oktan 95 adalah sebesar 182 persen. Sementara untuk diesel dipungut bea sebesar 52 persen.
Situasi kian memburuk, ketika pemerintah di awal tahun menaikkan harga diesel sebesar delapan kali lipat dan harga bensin menjadi lima kali lipat.
Lonjakan harga bahan bakar menimpa warga yang sudah kelimpungan oleh pandemi corona dan krisis gandum akibat invasi Rusia di Ukraina. Saat ini tingkat pengangguran di Yordania berkisar 20 persen. Kondisi diperparah oleh krisis air yang perlahan meluas. Di tengah situasi yang sengit, "mudah tercetus tuduhan korupsi kepada pemerintah," kata Ratka.
Bahwa aksi protes berawal di selatan bukanlah hal yang mengejutkan, kata Andre Bank, analis politik di German Institute for Global and Area Studies (GIGA). Kawasan tersebut adalah jantung industri transportasi Yordania yang paling terpukul oleh lonjakan harga bahan bakar.
"Banyak penduduk di sana yang sejak lama berpandangan bahwa mereka diabaikan oleh pemerintah dan dijauhkan dari pertumbuhan ekonomi. Pandangan itu menyulut amarah terhadap kerajaan," kata Bank.
Meski begitu, pakar sepakat gelombang protes di Yordania belum akan membahayakan kerajaan. Apa yang ditentang adalah konsep "loyalitas kepada monarki berbalas kemudahan berbisnis," kata Edmund Ratka. Namun, apakah pemerintah siap menjalankan reformasi dan menanggalkan kekuasaan kaum elit, "sangat diragukan bahwa mereka bersedia," tukas Andre Bank.
(rzn/ha)