75 Tahun WHO: Bukan 'Polisi Kesehatan Global'
7 April 2023Pada bulan April 1945, para politisi dari seluruh dunia berkumpul di San Francisco untuk mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada pertemuan itu pula, para pemimpin dari Brasil dan Cina menyarankan pembentukan organisasi global lainnya, yang secara khusus ditujukan untuk kesehatan global dan bukan politik global.
Tiga tahun kemudian, 7 April 1948, lahirlah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Konstitusi WHO menyatakan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap manusia, "tanpa membedakan ras, agama, keyakinan politik, kondisi ekonomi atau sosial" dan bahwa "kesehatan semua orang merupakan hal yang mendasar bagi tercapainya perdamaian dan keamanan."
Kantor Pusat WHO ada di Jenewa, Swiss, dengan total enam kantor regional dan 150 kantor perwakilan negara di seluruh dunia.
"Tidak diragukan lagi, kita akan mengalami peningkatan ancaman kesehatan yang lebih banyak dan lebih parah di masa depan," ujar Wafaa El-Sadr, profesor epidemiologi dan kedokteran di Universitas Columbia di New York, kepada DW. "Kita harus bersama-sama berupaya untuk menghadapi ancaman-ancaman kesehatan ini. Artinya, kita harus berfikir lebih dari sekadar prioritas nasional, harus bersatu untuk mencapai prioritas bersama, dan yang terpenting adalah mendukung organisasi seperti WHO, yang berjuang untuk kesejahteraan bersama."
Selama 75 tahun berdiri, WHO, yang sejak 2017 dipimpin oleh Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus , telah mencapai beberapa keberhasilan besar, namun juga ada beberapa kegagalan.
Pemberantasan cacar
Salah satu keberhasilan terbesar WHO adalah upaya mereka dalam memastikan kesejahteraan populasi global pada tahun 1980, ketika organisasi tersebut secara resmi mengumumkan bahwa mereka telah memusnahkan penyakit menular mematikan, yang telah ada sejak berabad-abad lalu.
"Mungkin [keberhasilan] yang utama adalah pemberantasan cacar, satu-satunya penyakit manusia yang berhasil diberantas," kata El-Sadr, yang juga memimpin Inisiatif Kesehatan Global di Mailman School, Universitas Columbia. "Meskipun ada banyak pihak yang terlibat dalam upaya ini, WHO memainkan peran kunci dalam menggalang dunia untuk mencapai tujuan itu."
Christoph Gradmann, profesor sejarah kedokteran di Universitas Oslo, Norwegia, mengatakan bahwa pemberantasan cacar tersebut adalah contoh sempurna bagaimana WHO melakukan pekerjaannya dengan baik, juga dalam situasi kesepakatan politik bersama.
"Ketika negara-negara anggota tidak memiliki pandangan yang sama tentang bagaimana cara melanjutkannya, organisasi ini akan lumpuh," kata Gradmann. "Selama Perang Dingin, ada kesepakatan di antara kedua blok bahwa pemberantasan cacar adalah tujuan yang harus ditangani. Saat itu, WHO melihat keberhasilan terbesarnya, yakni saat para anggota sepakat mengenai proyek mana yang layak untuk dilakukan dan bagaimana caranya."
Wabah Ebola tahun 2014 di Afrika Barat: Kegagalan WHO?
Banyak ahli sepakat bahwa wabah Ebola 2014 di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone merupakan contoh pekerjaan WHO yang kurang berhasil. Organisasi Kesehatan Dunia itu dikritik, antara lain karena tidak cepat bereaksiuntuk mengatasi epidemi tersebut.
Namun El-Sadr mengatakan, kebanyakan kritik justru muncul setelah wabah tersebut berakhir pada tahun 2016, yang disebabkan oleh kesalahpahaman tentang cara kerja WHO.
"Ada ekspektasi yang tidak realistis terhadap WHO, dengan banyak orang mengharapkan [organisasi] untuk turun tangan ke negara-negara yang terkena dampak dalam mengatasi wabah tersebut," ujar El-Sadr. "Ini tidak termasuk dalam mandat WHO. Peran WHO adalah memandu respons, mengembangkan panduan, tetapi tidak turun langsung ke satu negara untuk membantu mengatasi ancaman kesehatan tertentu."
Gradmann juga berpandangan sama. Gradmann berpendapat bahwa "WHO adalah organisasi yang demokratis." Gradmann juga menambahkan kalau "WHO bukan polisi kesehatan dunia yang dibuat untuk melakukan aksi intervensi dengan cepat."
Faktanya, WHO tidak memiliki wewenang untuk mengambil tindakan di negara anggota kecuali negara anggota tersebut meminta bantuan.
Namun, Rüdiger Krech, direktur kampanye kesehatan di WHO, mengatakan bahwa setelah epidemi Ebola dari tahun 2014 hingga 2016 itu, WHO akhirnya membuat perubahan signifikan pada strukturnya. Salah satu contohnya, WHO kini tidak bergantung pada pemerintah nasional untuk menginformasikan darurat kesehatan yang dirasa penting, sehingga mengurangi kemungkinan untuk melewatkan awal wabah penyakit serius lainnya.
"Kami juga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan teknologi," kata Krech kepada tim DW. "Orang-orang dapat memberi tahu kami tentang sebuah wabah sebelum informasi resmi dari pemerintah datang, dengan mengatakan 'kami melihat banyak orang yang mencari gejala penyakit ini di Google'. Dan kami menggunakan citra satelit dari badan antariksa seperti ESA dan NASA, yang dapat menunjukkan kepada kami wilayah di mana banyak orang mengalami demam tinggi."
Menanggapi kritikan terhadap epidemi Ebola tahun 2014 hingga 2016, WHO melakukan "transformasi" besar-besaran pada organisasi tersebut, kata Krech.
Upaya yang gagal dalam membasmi malaria
Kesepakatan WHO untuk menyerah dalam memerangi penyakit malaria pada tahun 1960-an juga merupakan contoh lain dari upaya WHO yang gagal.
Pada tahun 1955, WHO meluncurkan Program Pemberantasan Malaria Global (GMEP), yang terlihat begitu menjanjikan. Program itu berhasil memberantas penyakit malaria di 15 negara dan satu wilayah.
Sayangnya, hanya sedikit atau bahkan tidak ada kemajuan sama sekali di wilayah bagian Sahara Afrika dalam program tersebut. Di banyak tempat, kegagalan untuk mempertahankan GMEP justru menyebabkan kebangkitan penyakit malaria. Akhirnya pada tahun 1969, program ini pun resmi dihentikan.
Menurut Gradmann, GMEP justru "membawa WHO ke ambang kebangkrutan. Gradmann berpendapat, "negara-negara anggota sudah kehilangan kepercayaan terhadap program ini, bahkan saat program ini masih berjalan dan mengumpulkan dana."
Salah satu alasan mengapa pemberantasan wabah malaria tidak berhasil adalah karena malaria bukan semata-mata penyakit manusia, tetapi juga memiliki reservoir di alam, kata Gradmann. Hal itu pula yang membedakan malaria dengan cacar.
Lalu bagaimana dengan COVID-19?
Pada awal merebaknya pandemi COVID-19, beberapa kritikus, termasuk mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, mengeluhkan bahwa WHO tidak melakukan cukup banyak upaya untuk mendukung negara-negara anggota dalam memerangi wabah virus tersebut.
Namun, para ahli seperti El-Sadr dan Gradmann mengatakan bahwa bukan tugas WHO untuk mengambil tindakan dan membuat inisiatif saat puncak pandemi virus corona terjadi.
"Selama COVID, WHO menyediakan data dan melakukan pekerjaan administratifnya," kata Gradmann. "Namun inisiatif untuk melawan penyakit ini harus datang dari masing-masing negara anggota. Saya rasa, WHO tidak memainkan peran besar dalam pandemi COVID."
El-Sadr menekankan bahwa pemerintahan nasional dari para anggota yang perlu bertanggung jawab dalam membuat keputusan tentang cara terbaik mengatasi pandemi di negara mereka sendiri. Mereka dapat meminta saran WHO, tetapi rekomendasi tersebut seharusnya tidak mengikat.
WHO "terhalang oleh dunia yang terpecah belah dengan negara-negara yang memajukan kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan orang lain, melupakan prinsip-prinsip yang mendasari pembentukan WHO sendiri," kata El-Sadr. "WHO tidak memiliki wewenang untuk memaksakan pendapatnya, negara-negara anggota dapat mengambil atau bahkan meninggalkan saran itu." (kp/hp)