Afrika Timur Siaga, Uganda Terapkan Lockdown akibat Ebola
19 Oktober 2022Untuk menghentikan penyebaran wabah Ebola, Presiden Uganda Yoweri Museveni telah memerintahkan untuk menerapkan lockdown atau karantina di dua distrik di wilayah tengah, tempat pusat wabah Ebola mematikan itu menyebar.
Museveni mengatakan bahwa karantina ini merupakan "tindakan ekstra" yang diperlukan untuk membendung penyebaran virus mematikan itu.
Pembatasan jalur lalu lintas dan pergerakan keluar masuk warga dari distrik Mubende dan Kasanda mulai diberlakukan pada 16 Oktober dan rencananya akan diterapkan selama 21 hari mendatang. Dilaporkan sejauh ini, ada sekitar 19 kasus kematian dan 54 orang terinfeksi dalam waktu kurang dari sebulan.
Di Mubende pada hari Senin (17/10), lockdown sudah mulai diberlakukan, di mana hanya terlihat pengendara sepeda motor di jalan yang tengah membawa muatan kargo.
Negara tetangga mulai mengambil langkah pencegahan
Baru-baru ini, negara-negara tetangga Uganda seperti Kenya, Tanzania, dan Rwanda, secara bertahap tengah mengintensifkan pengawasan di sepanjang jalur perbatasan mereka dengan Uganda untuk mencegah penyebaran virus Ebola masuk ke negaranya.
Kenya bahkan membentuk tim manajemen insiden dan meninjau penilaian risiko tanggap mereka di 20 kabupaten yang dianggap berisiko tinggi, jelas Direktur Jenderal Kesehatan Dr. Patrick Amoth, kepada wartawan pada 6 Oktober lalu.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Kenya mengatakan pihaknya juga telah meningkatkan pengawasan dan tengah berencana untuk mendirikan laboratorium penyaringan virus Ebola di sepanjang jalur perbatasannya dengan Uganda.
Di Tanzania, otoritas kesehatan juga telah meningkatkan pengawasan di sepanjang jalur perbatasan negaranya, setelah kasus virus Ebola pertama kali dilaporkan telah mewabah di Uganda. Pada Senin (17/10), petugas kesehatan telah menjalani pelatihan khusus di Wilayah Morogoro bagian timur.
Rwanda juga telah melakukan latihan simulasi untuk mempertajam kesiapan negaranya dalam menghadapi wabah Ebola ini. Salah satu latihan simulasi dilakukan di Rumah Sakit King Faisal di Distrik Musanze, di sepanjang jalur perbatasan Rwanda dengan Uganda.
Otoritas kesehatan di distrik perbatasan terdekat Burera juga sedang mempersiapkan para petugas dan fasilitas kesehatan mereka. Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Rwanda, Dr. Brian Chilombo, terlihat turut serta dalam persiapan fasilitas isolasi dan karantina wabah Ebola di Burera pada 14 Oktober silam.
Di Sudan Selatan, WHO juga telah mendukung kementerian kesehatan dalam mendirikan unit penyakit menular di Juba. Fasilitas ini diharapkan dapat memenuhi kapasitas untuk merawat para penyintas, serta dapat membantu negara itu dalam mengisolasi dan merawat para pasien yang terjangkit penyakit menular lainnya, termasuk virus Ebola.
Risiko wabah Ebola di luar Uganda cukup tinggi
Wabah ini adalah yang kelima bagi Uganda sejak tahun 2000 silam, ketika virus Ebola telah menewaskan sekitar 200 korban jiwa. Para ilmuwan berpendapat bahwa jenis virus Ebola Sudan yang kini mewabah di Uganda, penyebarannya relatif lambat.
Namun, penilaian WHO menunjukkan adanya risiko tinggi penyebaran virus Ebola di luar Uganda, karena masih adanya pergerakan lalu lintas di perbatasan yang cukup teratur.
"Fokus utama kami saat ini adalah mendukung pemerintah Uganda untuk mengendalikan dan membendung wabah ini dengan cepat, untuk menghentikan penyebarannya ke distrik-distrik lainnya, dan negara-negara tetangga," kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada wartawan pekan lalu.
WHO, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika (CDC Afrika), dan menteri kesehatan dari seluruh negara Afrika, telah sepakat untuk bekerja sama membendung penyebaran virus Ebola keluar dari Uganda.
"Kita sebagai benua harus bekerja sama untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menanggapi wabah Ebola dan ancaman kesehatan masyarakat lainnya," kata Ahmed Ogwell Ouma, Penjabat Kepala CDC Afrika.
Itu berarti Afrika perlu berbagi sumber daya, upaya regional dalam membangun kapasitas ketahanan, memperkuat pengawasan serta sistem pengobatan, dan juga fasilitas laboratorium, tambah Ouma.
Pertama kalinya berdampingan dengan Ebola
Tidak sedikit para petugas kesehatan di Mubende menuntut lebih banyak dana untuk jasa pelayanan mereka karena risiko yang cukup tinggi. Empat petugas kesehatan telah gugur dan termasuk di antara 19 korban jiwa akibat wabah Ebola tersebut.
"Ini adalah tim orang-orang yang bekerja untuk pertama kalinya menangani beberapa orang yang meninggal secara misterius, dan kami begitu prihatin," kata Kepala Rumah Sakit Mubende Dr. Emmanuel Paul Batibwe, kepada tim DW.
"Para pasien tidak menunjukkan adanya tanda-tanda khas dari virus Ebola dan seluruh tim ikut terinfeksi dalam prosedur penyelamatan nyawa seseorang. Ini sangat, sangat menyedihkan."
Ebola terus menyebar usai kasus pertamanya di Madudu, meskipun pemerintah mengklaim bahwa wabah itu sudah terkendali. Di Wilayah Tengah sendiri, pihak berwenang tengah berusaha melawan kepercayaan takhayul tentang virus tersebut.
Museveni telah memerintahkan para "dukun” untuk berhenti merawat warganya yang diduga terjangkit virus mematikan tersebut dan memberikan wewenang kepada polisi untuk menangkap tersangka penyintas Ebola yang tidak mengisolasi diri.
Museveni mengatakan "dukun" tersebut telah berkontribusi atas penyebaran virus Ebola. "Beberapa orang pindah dari distrik ini untuk mencari pengobatan dari dukun tersebut dan dukun itu telah menyebabkan penyebaran Ebola ke distrik lain."
Bagaimana dengan vaksin?
Pekan lalu, Kepala WHO Tedros mengatakan kepada wartawan bahwa beberapa vaksin Ebola masih dalam tahap pengembangan. Dia mengatakan bahwa uji klinis yang melibatkan dua kali pengujian itu dapat mulai dilakukan di Uganda dalam beberapa minggu mendatang, karena masih menunggu persetujuan pemerintah setempat.
"Sayangnya, vaksin Ebola yang sangat efektif dalam mengendalikan wabah baru-baru ini di DRC [Republik Demokratik Kongo] tidak begitu efektif terhadap jenis virus Ebola yang mewabah saat ini di Uganda," kata Tedros.
Karantina yang diberlakukan oleh Museveni untuk mengekang penyebaran Ebola di Uganda itu telah memicu beberapa kekhawatiran di sektor bisnis informal.
"Apa yang nantinya akan kita makan karena tidak ada mobil yang boleh berhenti di sini?" kata salah seorang pedagang di jalan raya Distrik Mubende, dalam sebuah wawancara dengan tim DW.
"Dia [Museveni] mengkarantina kami tanpa memikirkan bagaimana kami akan bertahan hidup. Biarkan dia mengirim makanan dan memberlakukan lockdown setelahnya. Bayangkan 21 hari! Bahkan hanya butuh 7 hari bagi seseorang untuk mati kelaparan."
(kp/ha)