Yunani Peras Uni Eropa Terkait Sanksi Rusia
29 Januari 2015PM baru Yunani Alexis Tsipras bergerak cepat. Beberapa jam setelah membentuk pemerintahan, secara tiba-tiba ia mulai memicu sengketa dengan 27 anggota Uni Eropa lainnya. Tsipras menolak menyepakati pernyataan kepala negara dan pemerintahan Uni Eropa bagi kemungkinan perluasan sanksi terhadap Rusia gara-gara konflik Ukraina.
Dipertanyakan, apakah ini kesalahan komunikasi dari politisi puncak pemula? Atau di belakang itu, tersembunyi sebuah strategi politik yang serius dari tokoh radikal kiri tersebut. Kedua hal itu sangat mengkhawatirkan.
Memang tidak tertutup kemungkinan, kepala pemerintahan baru di Athena itu belum terbiasa dengan proses penarikan kesepakatan darurat di seluruh 28 anggota Uni Eropa. Tapi, realitanya Alexis Tspiras menelpon petugas urusan luar negeri Uni Eropa, untuk menyampaikan keberatan pribadi terkait dugaan mengabaikan Yunani. Langkah Tsipras itu harus dipandang sebagai sebuah kalkulasi politik.
PM baru Yunani menggunakan pembatalan konsensus politik luar negeri yang selama ini berlaku sebagai tekanan, untuk kepentingan sendiri. Jika Uni Eropa tunduk pada tekanan Athena, untuk memenuhi tuntutan persyaratan lebih lunak bagi dana bantuan penyelamatan anggaran bernilai milyaran, barulah pemerintahan baru Yunani akan mendukung semua keputusan politik Uni Eropa.
Diketahui, bukan hanya menyangkut sanksi, tapi juga dalam masalah perdagangan dan anggaran Uni Eropa diperlukan kesepakatan secara aklamasi. Dalam hal ini, terbuka potensi untuk melakukan pemerasan. Dengan keputusannya untuk membuat konflik ini publik, Tsipras memaksa negara anggota Uni Eropa lainnya untuk bertindak.
Dengan itu, PM baru Yunani mengirim sinyal kepada Rusia: betapa mudahnya memasang pasak pemecah belah tonggak persatuan Uni Eropa. Tsipras sejak masa kampanye sudah menekankan secara terbuka, bahwa ini menentang sanksi lebih ketat terhadap Rusia. Sebagian mitra aliansi partai kiri Syriza memang memiliki kedekatan dengan Moskow.
Salah satu kartu truf Uni Eropa selama ini dalam konflik dengan Rusia terkait krisis di Ukraina timur dan aneksasi semenanjung Krimea adalah penolakan secara aklamasi terhadap agresi Rusia. Pemerintah baru Yunani membatalkan konsensus itu, dan dapat menjerumuskan Uni Eropa pada krisis politik berat.
Harus diakui, di dalam Uni Eropa berulangkali terjadi pemerasan politik dalam penerapan kepentingan ekonomi. Tapi masalah yang dipicu Alexis Tsipras berbeda. Yunani berada dalam kondisi ekonomi amat buruk dan tidak memiliki "konco" di Uni Eropa. Tsipras juga bersikap tidak elegan dan tidak profesional.
Semua tahu, Yunani perlu Uni Eropa. Di sini hanya diperlukan upaya untuk mencapai konsensus dan harmoni. Paling lambat dalam pertemuan puncak dua minggu mendatang, kepala negara dan pemerintahan anggota Uni Eropa lainnya harus menunjukkan kepada tokoh revolusi berlagak tengik dari Athena itu, siapa yang memegang palu penentu keputusan.