Wiranto, Thaghut yang Harus Dimusnahkan Kelompok Radikal
11 Oktober 2019Peristiwa penusukan yang dialami Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Wiranto, di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10) kemarin, memberikan sinyal bahwa kini pejabat negara menjadi target penyerangan teroris. Polisi pun telah menetapkan dua pelaku penyerangan Syahril Alamsyah alias Abu Ara dan Fitri Andriana sebagai tersangka. Mereka diidentifikasi berasal dari kelompok jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi yang diduga terpapar paham radikal ISIS. Lantas mengapa kini pejabat negara menjadi incara utama pelaku penyerangan? Apakah negara kecolongan pengamanan terkait peristiwa ini? Kepada DW Indonesia, pengamat teroris Stanislaus Riyanta dari Jurnal Intelijen berikan pandangannya.
Deutsche Welle: Melihat peristiwa penusukan Wiranto, mengapa kini pejabat negara menjadi incaran utama serangan teror?
Stanislaus Riyanta: Ada dua kelompok besar teroris di Indonesia, satu yang berafiliasi dengan Al-Qaeda yaitu Jemaah Islamiyah JI ada juga yang berafiliasi dengan ISIS, ada JAT (Jamaah Ansharut Tauhid) dan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) . Yang paling besar memang JAD. Pelaku kemarin itu teridentifikasi sebagai anggota JAD Bekasi yang berafiliasi dengan ISIS. Yang berafiliasi dengan ISIS itu memang menargetkan serangan-serangan kepada yang dikatakan mereka thaghut. Thagut itu yang dianggap mereka sebagai musuh, antara lain pertama polisi, kedua pemerintah. Karena pemerintah membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengganggu eksistensi mereka. Yang mereka anggap mengganggu mereka ya salah satunya Wiranto. Kebetulan Wiranto ini yang paling sering menyatakan atau memberi statement tentang kelompok radikal. Kedua ada momentum kemarin, mereka manfaatkan untuk melakukan aksi mereka ke Wiranto. Kalau dibilang akumulasi kebencian nanti kesannya personal.
Menurut Anda, apakah penyerangan ini sudah dipersiapkan?
Itu terencana, dilihat dari senjata yang dipakai. Itu bukan senjata yang dipakai hari-hari. Berbeda kalau petani ada cangkul terus menyerang seseorang pakai cangkul, saat sedang nyangkul ada momentum. Tapi ini kan tidak, pelaku sudah membekali diri dengan senjata. Kemudia ada dua serangan, satu serangan laki-laki ke Wiranto, yang kedua serangan perempuan ke Kapolsek (Menes). Ini simbol yang jelas, Wiranto yang mewakili negara adalah thaghut yang harus dimusnahkan atau dimusuhi. Kemudian Kapolsek dengan seragam polisi yang mencolok sehingga diserang. Terang-terangan menyerang simbol negara yang mereka anggap thaghut.
Kepala BIN Budi Gunawan mengatakan Abu Ara sudah dipantau sejak tiga bulan lalu, tapi penyerangan tetap terlanjur terjadi. Kecolongan keamanan kah?
Intelijen tidak kecolongan. Intelijen sesuai Undang-Undang bertugas untuk melakukan proteksi dini, melakukan pemantauan. Beberapa waktu lalu ada penangkapan di Bekasi terhadap amir Abu Zee. Di dalam penangkapan itu diketahui bahwa amir ini habis menikahkan Abu Ara, cuma Abu Ara tidak ikut tertangkap. Abu Ara sudah terpantau. Bukan kecolongan, tapi intelijen tidak bisa melakukan tindakan tapi hanya memberikan peringatan atau informasi kepada aparat penegak hukum. Ketika ada informasi, aparat penegak hukum juga tidak bisa melakukan penangkapan jika tidak ada indikasi aksi teror. Kecuali kalau dia sudah membuat bom, seperti kasus dosen IPB, meskipun belum menjalankan aksi teror tapi sudah ada bukti bahwa dia membuat bom.
Baca juga: Rencanakan Serangan Bom di Kuala Lumpur, WNI Simpatisan ISIS Ditangkap di Malaysia
Sebenarnya bagaimana mekanisme penyerangan yang dilakukan kelompok-kelompok teroris saat ini?
Pasca Undang-Undang nomor 5 Tahun 2018 tentang terorisme, karena ada akomodir pencegahan sehingga polisi bisa melakukan pemantauan terhadap kelompok-kelompok ini, mereka (teroris) semakin terdesak dengan pemantauan yang dilakukan. Maka dari itu mereka melakukan adaptasi pola aksi dengan memecah menjadi sel-sel kecil, di tingkat keluarga atau perorangan. Dengan memecah sel-sel kecil mereka jadi tidak terdeteksi karena mereka tidak menggunakan alat komunikasi. Mereka tetap ada yang mengkoordinasi. Ini sudah terjadi ketika aksi bom Surabaya. Namun jangan diremehkan, dalam bentuk sel-sel kecil justru malah mematikan, mereka sasarannya selektif. Mereka mobilitasnya sangat tinggi. Ada dari Medan, kemudian pindah ke Kediri, ke Bogor, ke Bekasi, yang kemarin ke Pandeglang. Kemudian mereka menggunakan perempuan dan anak-anak. Ini hanya terjadi di ISIS, karena Al-Qaeda Jemaah Islamiyah ada klausul dalam buku Pedoman Umum Perjuangan Jemaah Islamiyah ditulis untuk melakukan aksi jihad adalah laki-laki akil baligh. Kalau ada perempuan bisa dipastikan itu bukan JI. Karena di Indonesia hanya ada dua arus besar, JI dan JAD, ya (penyerangan) ini (dilakukan) JAD. Karena dengan perempuan dan anak-anak mereka relatif tidak dicurigai.
Bagaimana Anda melihat ancaman kelompok-kelompok radikal tersebut ke depan? Apakah ini bisa menjadi indikasi sel-sel tidur yang mulai bangkit?
Saya sepakat. Momentum seperti ini jika tidak diolah dengan baik, terjadi disinformasi yang menguntungkan kelompok radikal dan akan menjadi momentum kelompok-kelompok lain untuk bangkit dan meniru mereka. Harusnya dilakukan tindakan yang cepat untuk membongkar kelompok-kelompok tersebut dan dilokalisir. Pelantikan presiden saya yakin menjadi momentum yang mereka manfaatkan. Dari pemilu hingga pelantikan presiden, konsentrasi akar cukup tinggi. Ada titik-titik rawan yang menjadi celah untuk masuk. Kesibukan yang tinggi ini sebenarnya ada celah-celah. Pemberitaan akan memperbesar publikasi mereka sebenarnya, ada motif eksistensi yang sangat kuat yang mereka butuhkan.
Baca juga: Wiranto Alami Dua Luka Tusuk Akibat Penyerangan di Banten
Lantas tindakan cepat apa yang harus dilakukan pemerintah, berkaca dari kejadian penyerangan ini?
Terutama keamanan pejabat-pejabat VVIP perlu dilakukan evaluasi. Informasi intelijen sebenarnya sudah diberikan, Budi Gunawan sudah mengatakan telah melakukan pengawasan. Yang paling penting bagaiaman aparat keamanan menanggapi informasi intelijen. Mau diapain? Apa hanya dibaca saja? Kalau tidak ditanggapi, bisa terjadi seperti ini. Kalau tanggap informasi, kejadian seperti ini bisa dicegah. Yang paling penting agaimana antara pihak intelijen dan aparat keamanan bekerjasama sehingga tidak ada celah keamanan yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal.
Wawancara dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks.