Wajah Penerbangan Komersial Selepas Wabah Corona
1 Mei 2020Michael O'Leary, CEO maskapai penerbangan biaya rendah Ryanair asal Irlandia, dengan tegas menentang pengaturan jarak sosial di kabin pesawat. "Jika mereka berlakukan (aturan) itu, kami sama sekali tidak akan terbang lagi,” ujarnya baru-baru ini.
Telah ada diskusi intens tentang bagaimana masa depan pesawat penumpang setelah diberlakukan pelonggaranlarangan terbang karena wabah corona. Salah satu pertanyaan utama adalah: apakah kursi tengah di pesawat harus dibiarkan kosong?
"Kursi tengah tidak memberikan jarak sosial, ini semacam ide bodoh yang tidak menghasilkan apa-apa,” kata O'Leary kepada Financial Times. Jika peraturan semacam itu diberlakukan oleh Irlandia, O'Leary mengatakan bahwa "(pilihannya adalah) antara pemerintah membayar kursi tengah atau kami tidak akan terbang.”
Satu hal yang tampaknya jelas: Bagi dunia penerbangan, tidak akan mudah untuk bisa kembali ke kondisi sebelum wabah corona, kemungkinannya bahkan nyaris tidak ada.
Model bisnis penerbangan murah terancam
Kondisi ini mengancam model bisnis maskapai penerbangan seperti Ryanair, yang dikenal cenderung membawa sebanyak mungkin penumpang ke dalam kabin, dan pesawatnya berada di darat hanya untuk perputaran singkat sebelum kembali terbang lagi. Model ini memungkinkan maskapai untuk terbang dengan frekuensi yang lebih sering daripada maskapai lain, dan dengan membawa penumpang lebih banyak.
Model ini mungkin secara mendasar akan dipertanyakan seiring dengan adanya keraguan terkait upaya menjaga higienis pesawat dan mengatur jarak antara penumpang.
Sejauh ini, memang belum ada bukti terjadinya infeksi di pesawat. Industri penerbangan menekankan bahwa udara kabin bersih seperti udara di ruang operasi berkat filter partikel udara berkinerja tinggi. Belum juga ada bukti bahwa pengosongan kursi tengah dapat menurunkan risiko infeksi.
Namun, banyak perusahaan penerbangan sipil komersial seperti Lufthansa Groupyang saat ini mengosongkan kursi tengah. Demikian juga easyJet yang menjanjikan perjalanan tanpa penumpang yang duduk tepat bersebelahan. Ini berlaku setidaknya pada masa awal setelah easyJet memulai kembali operasi.
"Ini murni langkah kosmetik dan tidak ada pembenaran ilmiah bahwa langkah ini akan membantu,” kata Shashank Nigam, CEO lembaga konsultasi penerbangan Simpliflying.
Namun faktor psikologi memainkan peran penting pada saat seperti ini. "Kami akan terus mengaktifkan pengalaman perjalanan yang aman, yang harus dapat terlihat oleh penumpang guna membangun kepercayaan,” janji Ingo Wuggetzer, Wakil Direktur Cabin Marketing di Airbus.
Akan ada banyak perubahan
Shashank Nigam menggambarkan akan adanya perubahan serius terkait perjalanan udara komersial pada masa setelah corona. "Perubahan akan terjadi sejauh mungkin, bisa jadi lebih jauh daripada yang terjadi setelah 9/11, dan akan tetap demikian seterusnya,” ujar Nigam. "Selain pemeriksaan keamanan, akan ada juga tambahan elemen terkait sanitasi.”
Dalam sebuah laporan baru-baru ini, Simpliflying menggambarkan bahwa sebuah perjalanan udara secara umum dapat terlihat seperti ini: Sebagai bagian dari proses check-in online, penumpang akan diminta untuk mengunggah kartu imunitas yang mengonfirmasi keberadaan antibodi COVID-19. Sedangkan di bandara, para wisatawan akan diminta untuk tiba setidaknya empat jam sebelum keberangkatan.
Bahkan sebelum penumpang memasuki area check-in di bandara, mereka mungkin harus melewati terowongan disinfekstan dan pemindai termal. Otoritas Kesehatan Transportasi dapat menetapkan standar dengan bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), asosiaso bandar udara dan maskapai penerbangan.
"Kita harus menyatukan tindakan untuk menerapkan langkah-langkah serupa yang dapat dipahami oleh masyarakat yang melakukan perjalanan di seluruh dunia,” ujar Christoph Müller, veteran maskapai penerbangan dan mantan CEO Aer Lingus dan Malaysia Airlines.
"Kita butuh semacam jaring pengaman. Tidak ada yang lebih buruk daripada orang-orang yang tidak mau naik pesawat karena takut terinfeksi,” kata Müller. Namun jika peraturan yang dijabarkan oleh Simplyflying benar-benar jadi kenyataan, ini juga dapat membuat orang ragu untuk naik pesawat komersial di masa depan.
Terbang jadi tidak lagi menyenangkan?
Selain itu, mengenakan masker saat terbang juga akan diwajibkan. Ini juga disarankan oleh lobi maskapai Jerman BDL dalam konsepnya tentang perjalanan udara setelah era lockdown wabah corona.
BDL berjanji untuk memastikan bahwa para penumpang akan mengenakan masker selama boarding dan dalam penerbangan. Lembaga ini mengatakan, tiap penumpang wajib membawa masker sendiri. Di Kanada, peraturan ini sudah diberlakukan. Sementara di Amerika Serikat, JetBlue menjadi maskapai penerbangan pertama yang mewajibkan pemakaian masker bagi para penumpangnya.
Penumpang Lufthansa juga akan diwajibkan untuk memakai masker yang menutupi hidung dan mulut dan diminta untuk memakainya sepanjang penerbangan. Aturan baru ini akan mulai berlaku pada 4 Mei. Lufthansa mengatakan berencana mewajibkan pemakaian masker di semua maskapai dalam grup mereka setidaknya hingga 31 Agustus.
Nantinya, semua tas yang masuk ke bagasi dan tas kabin juga akan melalui proses disinfeksi menggunakan sinar UV untuk ‘disanitasi' dan akan ada juga protokol kebersihan, yang mencakup pemeriksaan kesehatan lainnya. Berlalu sudah hari-hari di mana penumpang bisa melewati pemeriksaan sekuriti dan kemudian bergegas ke gerbang. Di masa depan, mungkin penumpang juga harus melewati pos pemeriksaan dua jam sebelum keberangkatan.
Boarding juga mungkin akan dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil dengan mempertimbangkan norma-norma jarak sosial. Jembatan jet akan lagi-lagi berfungsi sebagai terowongan disinfeksi.
Di dalam pesawat, banyak hal yang juga cenderung akan berubah, kursi penumpang contohnya. Untuk pertama kalinya, produsen kursi pesawat mengungkapkan desain tata letak kursi penumpang yang sesuai untuk era setelah corona.
Aviointeriors dari Italia mempromosikan desain Glassafe, yang menampilkan tudung kaca yang terbuat dari plexiglass di bagian bahu dan kepala di setiap kursi penumpang. Desainnya mengingatkan pada bilik telepon umum pada masa sebelum maraknya kepemilikan telepon selular.
Ada pula yang disebut kursi Janus, meminjam nama dari dewa Romawi yang bermuka dua. Desain ini lebih rumit dan memiliki kursi tengah yang menghadap ke bagian belakang pesawat, dan dipisahkan oleh dinding kaca berbahan plexiglass dari tetangga duduk di kanan dan kiri.
"Pembatas sanitasi bisa menjadi kombinasi cerdas antara persyaratan kenyamanan, privasi serta kebersihan dan jarak,” kata Ingo Wuggetzer dari Airbus.
Pengalaman terbang yang sangat berbeda
Namun hingga saat ini belum ada maskapai yang memesan interior kabin dengan desain semacam ini. Perusahaan Asia Haeco mencoba pendekatan pragmatis dan mengusulkan untuk mengganti sejumlah baris kursi penumpang dengan barisan kargo yang tersimpan di kabin. Ini tidak hanya akan menciptakan jarak yang lebih jauh, tetapi juga menyediakan muatan pesawat yang lebih banyak di saat-saat seperti sekarang, ketika permintaan untuk kapasitas kargo justru lebih besar daripada tempat duduk.
Bagaimanapun juga, pengalaman penumpang bepergian dengan pesawat akan jadi sangat berbeda: Kru kabin akan mengenakan pakaian pelindung, penumpang mengenakan sarung tangan dan masker, kabin disemprot disinfektan sebelum keberangkatan dan kru menawarkan pembersih tangan setiap setengah jam. Sementara di kelas bisnis dan kelas satu, hanya makanan kemasan yang tersegel yang akan didistribusikan.
Akan ada petugas khusus kebersihan dalam pesawat yang memastikan kebersihan toilet dan dapur pada seluruh penerbangan. Setelah mendarat, kartu imunitas akan diverifikasi lagi dan orang harus melewati pemindai termal, tas akan disanitasi lagi sebelum ditempatkan pada ban berjalan. Jika begini kondisinya, terbang mungkin tidak akan menyenangkan lagi bagi banyak orang.
"Tergantung pada waktu dan ketersediaan vaksin, beberapa hal akan tetap ada dan yang lain akan berganti,” prediksi Ingo Wuggetzer.
(ae/hp)