Virus Corona: Musuh Tak Kasat Mata di Suriah
28 Maret 2020Menteri Kesehatan Suriah mengkonfirmasi kasus pertama virus corona di negara itu pada tanggal 23 Maret,. Sejak itu tidak ada lagi pembaruan rutin terkait data terbaru. Sampai kini, data global yang dikelola oleh Johns Hopkins University hanya menghitung total lima kasus di Suriah.
Dalam beberapa minggu terakhir, hampir setiap hari Deutsche Welle melakukan kontak dengan tiga orang di provinsi Idlib di Suriah barat laut. Ketiganya melaporkan ketakutan bahwa daerah mereka dapat menjadi pusat pandemi Covid-19 dan dilupakan oleh dunia.
Mona
"Yang ditakuti orang di Idlib adalah perang, bukan virus," kata Mona kepada DW pada tanggal16 Maret. Mona berusia 24 tahun dan tinggal bersama suaminya di Idlib City. DW telah melakukan kontak dengannya sejak awal Februari 2020. Dia mengirim pesan setiap hari tentang kehidupan sehari-harinya. Sekarang topik virus corona muncul, tetapi orang-orang di sekitarnya berpikir “virus tidak mungkin lebih buruk dari apa yang tengah kita alami," katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia, WHO melaporkan, total telah terjadi 494 serangan terhadap fasilitas kesehatan di Suriah antara tahun 2016 hingga 2019. Hampir 70 persen atau sebanyak 337 serangan terjadi di barat laut negara itu. Saat ini saja, sebagian besar rumah sakit yang masih beroperasi tidak dapat memenuhi permintaan pelayanan kesehatan dari masyarakat sekitar, apalagi jika wabah COVID-19 tiba di sana.
Tempat Mona bekerja jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari Idlib City. Ia bekerja untuk organisasi bantuan asal Swedia yaitu Start Point, sebuah organisasi nonpemerintah yang utamanya bekerja seputar hak-hak perempuan di Suriah.
Pada 17 Maret, Mona menulis kepada DW bahwa ia telah menyemprotkan disinfektan di kantornya. "Saya berbicara dengan rekan saya tentang virus corona. Saya memberi tahu mereka bahwa mereka harus menghindari kontak fisik dan ciuman. Mereka harus menggunakan saputangan dan mencoba memakai sarung tangan. Dan bahwa mereka harus memperhatikan gejala penyakit itu."
Dokter Sameeh Qaddour
Dokter Sameeh Qaddour dan rekan-rekannya di Rumah Sakit Aqrabat berusaha membuat hal mustahil menjadi mungkin: menyelamatkan nyawa dalam perang tanpa bantuan obat-obatan berteknologi tinggi dan dengan staf yang sangat terbatas.
"Kami sudah kekurangan sarana perawatan medis. Anda dapat bayangkan apa yang akan terjadi jika wabah virus corona tiba di sini," Qaddour menulis pada hari Jumat, 20 Maret.
Masker memang masih tersedia, tapi sarung tangan tidak. Juga tidak ada alat tes di klinik yang terletak sekitar 40 kilometer utara Idlib, di sekitar perbatasan Turki. Rumah sakit tempat dokter Qaddour bekerja memiliki lebih dari 80 tempat tidur, termasuk dua tempat tidur di perawatan intensif dan ventilator. "Jika ragu, kita harus memilih pasien dengan peluang bertahan hidup yang lebih baik. Mungkin terdengar tidak etis, tapi ..." ujar Qaddour dalam pesan teksnya.
Direktorat Kesehatan Idlib atau IHD, memposting pesan video untuk memperingatkan keadaan darurat pada 22 Maret. Direktur IHD, dokter Munzer al-Khalil menyebutkan, rasionya hanya ada satu tempat tidur di rumah sakit bagi hampir 1.600 orang. "Ada 201 tempat tidur perawatan intensif, tetapi hanya 95 ventilator untuk dewasa." Dan, fasilitas ini hampir selalu habis terpakai meski tanpa adanya pasien COVID-19.
Mohamed
"Kami bernafas, tetapi kami sebenarnya mati," tulis Mohamed kepada DW pada 6 Maret. "Kamp itu membunuh semua mimpi." Mohamed berusia 25 tahun dan berasal dari sebuah kota kecil di barat laut Suriah. Dia telah tinggal di kamp pengungsi dekat perbatasan Turki sejak akhir April 2019 dengan orang tua dan empat saudara laki-lakinya. Rumah keluarga mereka hancur karena serangan udara.
Ia memperkirakan ada setidaknya 2.000 orang yang tinggal di kamp. Tidak seperti kebanyakan pengungsi lain, Mohamed dan keluarganya tidak berbagi tenda. Mereka membangun sendiri sebuah rumah kecil semipermanen.
Mohamed mengatakan bahwa ia adalah bagian dari kelompok enam sukarelawan yang membangun sekolah di kamp untuk lebih dari 80 anak-anak. Dia mengirim sebuah potongan video di mana ruang kelas terlihat penuh dengan anak laki-laki dan perempuan. Mohamed memberi tahu DW bahwa dia bangga melakukan sesuatu yang bermanfaat. Dan ya, dia juga telah mendengar bahwa ada virus berbahaya yang menyebar di banyak negara, tetapi berita itu belum mempengaruhi kehidupan sehari-hari di sana.
Kekurangan dokter
Dokter Qaddour adalah ahli anestesi yang juga menjabat sebagai direktur pelaksana Rumah Sakit Aqrabat, yang berfokus pada ortopedi dan bedah rekonstruksi plastik. Selain Qaddour, saat ini ada belasan dokter lain bertugas di rumah sakit itu.
Namun, banyak dokter di daerah itu mesti menempuh perjalanan bolak-balik antara Turki dan Suriah. "Mereka berada di Suriah selama tiga atau empat hari setiap minggu, selebihnya tinggal bersama kerabat mereka di Turki. Jika perbatasan ditutup, kami kekurangan dokter."
"Rumah sakit Aqrabat dan klinik lain di wilayah ini telah memutuskan untuk hanya mengobati kasus darurat yang tidak dapat ditunda," demikian Qaddour menuliskan pada 21 Maret. Tindakan itu dimaksudkan untuk mengurangi datangnya orang ke rumah sakit yang bisa membuat ruang tunggu menjadi ramai.
Sama seperti Mona, Qaddour berpikir bahwa sangat sedikit orang yang paham akan ancaman virus corona. "Orang-orang tidak melihat betapa besar masalah yang akan kita hadapi," katanya kepada DW.
Dokter ahli anestesi ini berjuang untuk menyadarkan orang-orang di negaranya akan bahaya penyakit COVID-19. "Saya melakukannya agar masyarakat paham bahwa jika ada epidemi virus corona sampai di wilayah kami, memampuan medis kami akan mendekati nol." Dia juga mengatakan kepada DW bahwa WHO telah berjanji mengirim sarung tangan pelindung, masker wajah dan alat tes ke Idlib.
Pada pagi hari tanggal 25 Maret, Qaddour melaporkan kabar baik: alat tes pertama telah tiba dari Turki. Dengan penyebaran virus yang sangat cepat di kawasan Timur Tengah, tampaknya hanya masalah waktu sebelum Idlib juga melaporkan adanya peningkatan angka infeksi.
Esther Felden/Abbas Al-Kashali/Kyra Levine (ae/as)