Varian Baru Virus Corona dari Asia Mengancam Dunia
2 Juni 2021Menurut website yang memuat database genom seperti nextstrain.org, ada lebih dari 1.000 varian virus SARS CoV-2 yang diketahui saat ini.
Sebelumnya, varian virus yang masuk kategori "variants of concern” dinamai sesuai dengan negara di mana varian itu ditemukan pertama kali. Namun untuk menghindari adanya stigmatisasi terhadap negara-negara tertentu, WHO kini memperkenalkan sebuah sistem penamaan baru, yaitu berdasarkan huruf-huruf alfabet Yunani.
Varian virus dari Inggris/Kent, Afrika Selatan, Brasil dan india itu kini akan dilabeli dengan huruf Alfa, Beta, Gamma dan Delta. Meski begitu, label ini tidak akan menggantikan nama ilmiah mereka yang lebih kompleks.
Varian baru dari Vietnam
Varian baru virus corona yang ditemukan di Vietnam tampaknya merupakan persilangan antara Alfa (B.1.1.7) dan Delta (B.1.617). Menurut Menteri Kesehatan Vietnam Nguyen Thanh Long, varian baru itu "menyebar dengan cepat melalui udara.” Menurutnya, hal inilah yang bisa menjelaskan mengapa jumlah infeksi di Vietnam pada bulan Mei meningkat pesat.
Sejak pandemi merebak hingga awal Mei, Vietnam mencatat hanya sekitar 3.500 kasus terkonfirmasi dan 47 kematian. Pemerintahnya berhasil menanggulangi wabah COVID-19 dengan memberlakukan lockdown singkat namun ketat dan pembatasan karantina yang komprehensif.
Namun sejak itu, Vietnam kembali mencatat lebih dari 3.000 kasus baru, terutama di provinsi Bac Ninh dan Bac Giang, yang menjadi lokasi ratusan ribu orang bekerja di fasilitas produksi besar untuk perusahaan teknologi internasional.
Mungkin banyak yang merasa angka kasus di Vetnam itu masih relatif rendah, tetapi varian baru di Asia dan tempat lain harus menjadi perhatian semua orang di mana pun mereka tinggal.
Pentingnya pengurutan genetik virus secepat mungkin
Di era globalisasi seperti sekarang, varian virus semacam ini dapat menyebar dengan cepat. Dan jika varian-varian baru ini semakin beradaptasi dengan inang manusianya, maka antibodi yang dibentuk oleh vaksinasi atau infeksi, tidak akan dapat melindungi kita lagi pada titik tertentu.
Tes antigen atau PCR juga tidak akan bisa lagi mendeteksi varian baru dan malah menghasilkan negatif palsu. Sementara vaksinasi yang tersedia juga secara bertahap akan berhenti bekerja.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengidentifikasi varian virus baru itu secepat mungkin dengan menggunakan pengurutan genetik. Untuk bisa melawan virus, kita harus bisa membuka kode genetiknya, dan itu hanya mungkin dilakukan dengan pengurutan genom.
Dengan metode Next Generation Sequencing (NGS), para ilmuwan kini mampu memecahkan kode genetik seluruh genom virus. Mereka dapat mendeteksi perubahan amat kecil dalam susunan genetik virus dengan melihat fragmen DNA, dan dengan demikian dapat menentukan asal dan pola penyebaran varian virus.
Dan ini jadi satu-satunya cara bagi para ilmuwan mengembangkan vaksin yang tepat untuk melawan varian virus.
Varian virus yang berbeda dan vaksin yang salah
Ada banyak indikasi bahwa varian virus baru adalah penyebab utama atas wabah yang terjadi di berbagai bagian Asia saat ini.
Di Sri Lanka dan Kamboja, varian Alfa (B.1.1.7) adalah yang paling dominan. Untuk sekarang, vaksin mRNA yang diproduksi oleh BioNtech/Pfizer dan Moderna masih menjadi senjata yang efektif untuk melawan varian virus tersebut. Vaksin AstraZeneca juga menawarkan perlindungan yang baik.
Namun, di India dan Nepal, varian Delta (B.1.617) telah menyebar luas. Pengurutan genom yang dilakukan oleh Institut Virologi Nasional India telah mengindentifikasi 8 jenis mutasi dari varian ini. Dua diantaranya telah dikaitkan dengan tingkat penularan yang lebih tinggi dan salah satunya, sama seperti varian Gamma, bahkan telah dikaitkan dengan pelarian kekebalan, yang memungkinkan patogen untuk menghindari sistem kekebalan manusia.
Menurut Imperial College London, varian Delta ini lebih menular 20-80% daripada varian Alfa. Varian virus ini juga dilaporkan mungkin dapat menghindari kekebalan yang diberikan oleh infeksi sebelumnya atau vaksinasi. Sementara, penelitian di Inggris menunjukkan bahwa vaksin BioNtech/Pfizer dan AstraZeneca yang ada saat ini dinilai tidak terlalu efektif dalam melindungi kita dari varian ini.
Di Vietnam, varian baru yang ditemukan dilaporkan merupakan persilangan antara Alfa (B.1.1.7) dan Delta (B.1.617). Sejauh ini, sebanyak 1 juta dari 96 juta populasi di Vietnam telah divaksinasi dengan AstraZeneca. Vaksin ini memberikan perlindungan yang baik terhadap varian Alfa, tetapi tidak seefektif untuk varian Delta. Meski begitu, sejauh ini belum ada penyelidikan yang diluncurkan untuk melihat bagaimana vaksin yang ada saat ini bekerja melawan varian virus yang ditemukan di Vietnam.
Di Bangladesh, varian Beta (B.1.351) menjadi dalang peningkatan pesat kasus positif. AstraZeneca dilaporkan menawarkan perlindungan "minimal” terhadap varian ini. Hal ini dinilai menjad masalah besar, karena vaksin utama yang tersedia di Bangladesh adalah Covishield, nama untuk AstraZeneca yang diproduksi di India.
Distribusi vaksin global yang tidak adil
Saat banyak negara kaya berambisi memvaksinasi mayoritas penduduknya pada akhir musim panas, banyak negara Asia, Afrika, atau Amerika Latin yang lebih miskin justru belum mampu meluncurkan kampanye vaksinasi mereka.
Menurut studi jurnal medis The Lancet baru-baru ini, negara-negara terkaya di dunia telah mengamankan sekitar 70% pasokan dari lima jenis vaksin COVID-19. Padahal jumlah populasi mereka kurang dari 16% populasi dunia.
Menurut WHO, hanya 0.2% populasi di negara-negara miskin yang telah divaksinasi. Dan jika program vaksinasi dengan kecepatan seperti ini terus berlanjut, The Economist memperkirakan bahwa vaksinasi massal tidak akan dimulai di negara miskin sampai paling cepat pada 2024.
"Pandemi masih jauh dari kata selesai,” ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus memperingatkan. Ia dengan keras mengkritik ketidaksetaraan masif dalam hal distribusi vaksin antara negara-negara miskin dan kaya. (gtp/pkp)