Vaksin untuk Lansia, Ibarat Jas Hujan di Kala Hujan Lebat
9 Februari 2021Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin COVID-19 Coronavac dari Sinovac, Cina bagi kelompok lansia di atas 60 tahun. Vaksinasi perdana terhadap tenaga kesehatan (nakes) dalam kelompok ini juga telah dilangsungkan pada Senin (8/2) pada pukul 09.00 WIB, demikian disampaikan juru bicara pemerintah dalam penanganan COVID-19, dr. Reisa Broto Asmoro melalui konferensi pers virtual, Senin (8/2) di Istana Negara.
Sebelumnya, pemerintah mengaku belum memiliki cukup data terkait penggunaan vaksin Sinovac untuk lansia di atas 60 tahun mengingat dalam uji klinis fase 3 yang dilakukan di Bandung, Jawa Barat tidak melibatkan subjek uji dari kelompok lansia di atas 60 tahun. Namun, setelah mendapat data dukung dari uji klinis fase 1 dan 2 di Cina dan fase 3 di Brasil – yang keduanya melibatkan subjek lansia di atas 60 tahun – izin penggunaan darurat bagi kelompok tersebut akhirnya diterbitkan oleh BPOM pada Jumat (5/2).
Juru Bicara BPOM, Dr. Dra. L. Rizka Andalusia dalam konferensi pers virtual, Senin (8/2) di Istana Kepresidenan Jakarta memaparkan hasil uji klinis di kedua negara tersebut.
“Uji klinik fase 1 dan 2 di Cina yang melibatkan subjek lansia sebanyak 400 orang, menunjukkan bahwa vaksin Coronavac yang diberikan dengan 2 dosis vaksin dengan jarak 28 hari menunjukkan hasil imunogenisitas yang baik yaitu dengan sereconversion rate setelah 28 hari pemberian dosis kedua adalah 97,96%,” jelas Rizka.
Rizka juga menambahkan bahwa hasil uji klinis fase 3 di Brasil, yang melibatkan subjek lansia sebanyak 600 orang, menunjukkan bahwa penggunaan vaksin pada kelompok usia 60 tahun ke atas aman.
Disambut rasa syukur dan gembira
Keputusan BPOM mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin Sinovac bagi kelompok berusia di atas 60 tahun jadi angin segar bagi para nakes aktif yang kini sudah berusia lanjut.
“Tadi pagi saya sudah divaksin, saya bersyukur. Dan saya diobservasi setengah jam setelah vaksin ya tidak ada keluhan, tidak ada efek samping. Sampai saat ini saya sedang duduk di tempat praktek juga saya tidak merasakan ada efek samping,” kata dr. Dwijo Saputro, Sp.KJ saat diwawancara DW, Selasa (9/2).
Dwijo adalah seorang dokter spesialis psikiatri yang tahun ini akan menginjak usia yang ke-71 tahun. Sampai saat ini ia masih aktif bekerja di Siloam Hospital Kebon Jeruk Jakarta, dan aktif pula menjalankan praktek di Smart Kid Clinic yang ia dirikan.
Bagi Dokter Dwijo, vaksinasi akan menambah rasa aman dan tenang bagi nakes lansia yang masih aktif bekerja, meski sebelumnya sudah menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Ibarat orang kehujanan, ia menganologikan pemberian vaksin ini seperti ‘jas hujan bagi orang yang sudah memiliki payung’.
“Iya tidak basah kan? Betul tidak? Sudah ada payung, pakai jas hujan. Jadi tidak perlu berteduh, kalau pakai berteduh kan tidak bisa jalan, tidak sampai di tempat (tujuan). Tapi kalau sudah ada payung, hujan lebat masih perlu berteduh, perjalanan jadi terhambat dong, kalau ini kan tidak. Pakai payung, pakai jas hujan kita tetap bisa berjalan. Syukurlah Puji Tuhan,” ungkapnya dengan nada gembira.
Senada dengan Dokter Dwijo, dokter spesialis alergi dan imunologi Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI yang saat ini sudah menginjak usia yang ke-63 tahun juga mengakui bahwa keputusan pemerintah memberikan vaksin terhadap lansia mendapat sambutan yang luar biasa dari para nakes.
“Ini bagus sekali kemarin itu saya melihat dari semua WA grup ya rata-rata mereka bikin foto suasana gembira gitu. Memang vaksin ini bukan satu-satunya menghentikan pandemi, tapi vaksin ini adalah salah satu senjata kita dalam mempercepat terjadinya herd immunity,” katanya saat diwawancara DW, Selasa (9/2),
Prof Iris yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia mengaku belum disuntik vaksin karena masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium menyusul penyakit penyerta yang ia miliki.
Untuk diketahui, terkait izin penggunaan darurat vaksin bagi lansia, BPOM juga telah mengeluarkan informasi (fact sheet) yang dapat digunakan sebagai acuan bagi para nakes dan vaksinator dalam melakukan skrining sebelum pelaksanaan vaksinasi. Hal ini penting mengingat kelompok lansia adalah kelompok berisiko tinggi sehingga pemberian vaksin harus dilakukan secara hati-hati.
Di sisi lain, Dokter Dwijo dan Prof Iris sama-sama sepakat bahwa tidak perlu ada kekhawatiran akan vaksin Sinovac yang akan disuntikkan kepada lansia. Para nakes lansia yang masih aktif didorong untuk turut ambil bagian dalam program vaksinasi ini.
“Tidak perlu takut mungkin dengan perbedaan atau silang pendapat yang ada. Tetapi kita ikuti standar atau prosedur… yang dilakukan oleh Kemenkes, pihak penyelenggara vaksinasi, kan sudah ada SOP nya. Screeningnya juga sudah ada. Ya kita ikuti saja. Semuanya akan berjalan dengan baik tentunya,” ujar Dokter Dwijo.
Sementara Prof Iris mengatakan bahwa vaksin sudah melalui uji klinis tiga fase sehingga keamanannya sudah teruji. “Kalau efek simpang itu wajar efek simpang pada vaksin,” pungkasnya.
Jangan terlena dengan vaksin, perkuat testing dan tracing
Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Windu Purnomo menilai keputusan BPOM memberikan izin penggunaan darurat vaksin COVID-19 bagi lansia sudah tepat. Menurutnya, program vaksinasi yang bertujuan untuk mengendalikan pandemi memang seharusnya memiliki prioritas, apalagi vaksin yang digunakan tidak bisa diperoleh secara serempak.
Dalam konteks pandemi COVID-19, ada dua prioritas pertama yang harus divaksinasi menurut Windu. Yang pertama adalah kelompok yang berisiko tinggi untuk tertular virus, dalam hal ini para tenaga kesehatan, dan yang kedua adalah semua golongan yang berisiko tinggi mengalami kematian, dalam hal ini lansia 60 tahun ke atas dan punya penyakit penyerta.
“Jadi BPOM tepat sekali mengeluarkan izin penggunaan darurat untuk lansia ya. Itu yang seharusnya. Dan itu mestinya dulu-dulu kalau bisa, tapi ya cuman kan bukti ilmiahnya mungkin belum ada [dulu],” kata Windu kepada DW, Selasa (9/2).
Windu mengatakan tidak masalah izin penggunaan darurat yang dikeluarkan oleh BPOM didasarkan pada data uji klinis di negara lain, asalkan vaksin yang diuji sama dan bukti ilmiahnya meyakinkan. Meski begitu, perlu ada pengawasan ketat terkait Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) pada lansia yang telah diberikan vaksin.
Meski menyambut baik keputusan pemerintah terkait program vaksinasi, Windu menilai saat ini penanganan pandemi COVID-19 di tanah air seakan-akan hanya bergantung pada vaksin saja. Padahal ada banyak negara lain yang menurutnya sukses kendalikan pandemi jauh sebelum vaksin COVID-19 tersedia.
“Dengan apa? Kepatuhan protokol kesehatan dari masyarakat dan testing dan tracing yang kuat, yang kedua itu kita sangat lemah. Coba ini kuat tidak usah nunggu vaksin sampai bertahun-tahun kita sudah bisa lebih cepat selesai,” jelas Windu.
Ia turut menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa vaksinasi di Indonesia bisa rampung kurang dari setahun. Menurutnya pernyataan tersebut terlalu berani dan terlalu optimistis. Padahal saat ini Indonesia masih bergantung dari produsen dari luar negeri terkait ketersediaan vaksin. Windu memprediksi vaksinasi di Indonesia bisa rampung paling cepat dalam waktu 1,5 – 3 tahun.
“Yang penting jaminan ketersediaan. Kita tahu bahwa demand-nya kan tinggi banget 220 negara itu butuh vaksin, produsennya tidak sampe 10 sekarang. Saya kuatir itu,” ujarnya.
Diperkirakan akan ada lebih dari 11 ribu orang nakes yang berusia di atas 60 tahun yang akan divaksinasi di seluruh Indonesia dengan tetap menerima vaksinasi dalam dua dosis dengan selang waktu 28 hari. Meski begitu, pemerintah juga akan melakukan vaksinasi kepada lansia kategori non-nakes yang jumlahnya diperkirakan sekitar 10% populasi Indonesia.
Pemberian vaksinasi kepada lansia diharapkan dapat menekan angka kematian dan juga mengurangi tekanan terhadap beban rumah sakit.
gtp/hp