UE Minta Platform Teknologi Kekang Berita Bohong COVID-19
12 Juni 2020Komisi Eropa meminta perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Twitter dan Facebook untuk mengintensifkan tindakan untuk melawan penyebaran berita palsu tentang virus corona di platform mereka.
"Pandemi virus corona telah disertai dengan informasi yang salah secara besar-besaran," kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell, pada konferensi pers di Brussels, Rabu (10/06).
"Disinformasi pada masa virus corona dapat membunuh," tambahnya.
"Kami memiliki kewajiban untuk melindungi warga negara kami dengan menyadarkan mereka akan informasi yang salah - dan mengekspos para aktor yang bertanggung jawab dan terlibat dalam praktik semacam itu."
Untuk mencegah berita bohong dan meningkatkan kesadaran pengguna akan propaganda, Komisi Eropa akan meminta platform media sosial untuk memberikan laporan bulanan tentang tindakan mereka dalam menangani berita bohong dan data iklan yang berhubungan dengan itu.
Platform media sosial juga akan diminta untuk lebih banyak bekerja sama dengan pemeriksa fakta independen dan melakukannya dalam bahasa masing-masing negara anggota Uni Eropa.
"Kami hanya tahu sebatas apa yang disampaikan pihak platform," kata Vera Jourova, wakil presiden Komisi Eropa untuk nilai-nilai dan transparansi. "Ini belum cukup ," tambahnya. "Platform harus terbuka."
Jourova mengatakan Google telah menghapus 80 juta iklan terkait COVID-19 yang jelas mengandung informasi palsu. Tetapi, katanya, tidak ada angka pasti tentang kerusakan kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh penyebaran berita bohong sejauh ini.
Batasi konten bermuatan negatif dan provokasi
Uni Eropa memperkenalkan sebuah kode etik secara sukarela untuk melawan disinformasi pada Oktober 2018. Jourova, yang kala itu menjabat komisioner untuk keadilan, konsumen dan kesetaraan gender di Komisi Eropa sempat menyatakan keraguannya terkait peraturan yang sifatnya mengikat ini.
Meski begitu, Google, Facebook, Twitter, dan Mozilla akhirnya menyepakati aturan tersebut sebelum akhir tahun 2018. Setelahnya, Microsoft juga turut bergabung pada Mei 2019, dan TikTok sekarang juga ikut serta. Namun, Komisi Eropa masih bernegosiasi dengan pihak WhatsApp. Dari laporan bulanan yang diberikan sejak Januari 2019, tampaknya perusahaan-perusahaan teknologi telah menghapus 70% berita bohong dari konten yang diposting.
Tahun lalu, Uni Eropa juga memberikan peringatan dan ketentuan sebagai berikut: "Pada akhir 2019, Komisi akan melakukan penilaian komprehensif di akhir bulan ke-12 sejak diberlakukannya kode etik melawan disinformasi tersebut. Jika hasilnya terbukti tidak memuaskan, Komisi dapat mengusulkan tindakan lebih lanjut, termasuk tentang pengaturan dasar. "
Thorsten Frei, wakil ketua blok Bundestag dari Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Serikat Sosial Kristen Bayern, mengatakan langkah-langkah di tingkat Uni Eropa tidak cukup efektif.
"Peraturan yang lebih ketat sudah ada di Jerman," katanya dalam sebuah pernyataan publik.
"Dengan mereformasi Undang-Undang Penegakan Jaringan (NetzDG) dan memperkenalkan undang-undang terkait ujaran kebencian, kami telah memperkenalkan instrumen yang jauh lebih kuat untuk mengakhiri tindakan bermuatan negatif dan provokasi.''
Melanggar kebebasan berekspresi?
Komisi Eropa kini tengah membicarakan tindakan lebih lanjut karena aturan kode etik sukarela untuk melawan disinformasi itu tampaknya tidak cukup untuk mencegah penyebaran informasi salah selama pandemi.
Komisi tersebut kini meminta warga negara anggota Uni Eropa, perusahaan dan platform online untuk mengambil bagian dalam survei online dan membuat proposal untuk melakukan perubahan pada bulan September mendatang.
Menurut platform Jerman netzpolitik.org, Komisi Eropa akan lebih memilih untuk meluruskan informasi palsu terkait berita bohong daripada menghapus konten sepenuhnya.
Jourova memuji langkah yang baru-baru ini diambil oleh platform media sosial Twitter, yang melabeli cuitan-cuitan Presiden AS Donald Trump dengan peringatan “cek fakta” karena dianggap membuat klaim menyesatkan. Twitter juga menyembunyikan satu cuitan Trump karena dianggap "mengagungkan kekerasan."
Namun, pendiri Facebook Mark Zuckerberg justru menolak untuk melakukan hal yang sama. Langkah tersebut telah memicu kontroversi besar dan membuat banyak karyawannya memilih hengkang dari Facebook.
Ketika undang-undang NetzDG Jerman diperkenalkan pada tahun 2017, pelapor khusus PBB tentang promosi dan perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, David Kaye menemukan banyak masalah di dalam aturan tersebut.
"Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan bagaimana RUU tersebut berupaya untuk mencapai tujuan yang sah, khususnya tanggung jawab yang diberikan bagi perusahaan swasta untuk mengatur pelaksanaan kebebasan berekspresi, dan juga apakah langkah-langkah yang diusulkan oleh undang-undang tersebut akan sah menurut hukum internasional hukum hak asasi manusia, "tulis David Kaye saat itu.
"Kewajiban bagi perusahaan swasta untuk mengatur dan mencabut konten menimbulkan kekhawatiran terkait kebebasan berekspresi."
Beberapa pihak juga menyebut bahwa potensi denda hingga € 50 juta atau Rp 811 miliar dapat menghalangi kebebasan berbicara. Nadine Strossen, seorang profesor emerita dari New York Law School dan mantan presiden American Civil Liberties Union, mengatakan platform media sosial akan cenderung menghapus lebih banyak konten daripada menghadapi risiko mendapat denda. (pkp/gtp)