Arab Saudi Berselisih dengan Uni Emirat Arab Karena Minyak
5 Juli 2021Perselisihan antara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) sejauh ini sudah mengandaskan dua perundingan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Pembahasan lanjutan soal kuota produksi minyak akan dilanjutkan Senin (5/7).
Kisruh bermula dari tuntutan Riyadh untuk memperpanjang pembatasan kuota produksi sebesar 10 juta barrel per hari (bph) sejak Mei 2020 lalu, dan sedianya berakhir pada April 2022. Saudi ingin agar pembatasan dipertahankan hingga akhir 2022.
UEA menolak tuntutan tersebut lantaran dianggap "tidak adil” oleh Kementerian Luar Negeri di Abu Dhabi. Emirat menuduh OPEC menggunakan kapasitas acuan atau angka produksi rata-rata yang terlampau rendah untuk menghitung pembatasan produksi.
Menurut laporan Bloomberg, UEA ingin menambah kuota produksinya dengan menggunakan kapasitas acuan yang lebih tinggi. Sejak beberapa tahun terakhir, Abu Dhabi National Oil Co. Giat berinvestasi untuk menambah kapasitas produksi menjadi 5 juta barrel per hari pada 2030.
"Semua negara (OPEC) berkorban, tapi UEA berkorban paling banyak. Kami sudah mengurangi sepertiga kapasitas produksi selama dua tahun,” tukas Menteri Energi UEA, Suhail al-Mazrouei terkait pembatasan produksi yang digagas Saudi.
Namun Saudi bersikeras bahwa "perpanjangan pembatasan produksi adalah agenda utama, bukan sampingan,” kata Menteri Energi Arab Saudi, Abdul Aziz bin Salman.
"Kami harus menyeimbangkan situasi pasar saat ini dengan kesiapan kapasitas untuk menjawab perkembangan di masa depan. Kalau semua orang ingin meningkatkan kuota produksi, maka pembatasan harus diperpanjang,” kata dia merujuk pada produksi Iran dan Venezuela yang terbebas dari batasan OPEC.
UEA sejatinya mendukung perpanjangan pembatasan kuota, namun meminta agar kapasitas acuan dikaji ulang. Hal ini ditolak Riyadh. "Kita berusaha menyeimbangkan kepentingan negara produsen dan konsumen, terutama mengingat kelangkaan energi yang dipicu pengosongan cadangan,” imbuh Abdul Aziz.
Jika perundingan penutup kembali gagal, OPEC dikhawatirkan bakal kesulitan menjamin stabilitas harga minyak dunia pascapandemi nanti.
Konflik antara Riyadh dan Abu Dhabi
Kisruh minyak antara UEA dan Saudi kian membebani hubungan kedua negara yang belakangan merenggang. Saat ini Riyadh dan Abu Dhabi sudah bersitegang ihwal sejumlah isu lain, seperti perang di Yaman, normalisasi Israel, hingga kebijakan pandemi.
Pada 2019 lalu UEA menarik diri dari koalisi bentukan Saudi untuk menggempur gerilayawan Houthi di Yaman. Pada saat yang sama, sebuah kelompok bersenjata dukungan UEA di Yaman Selatan dikabarkan bertempur dengan serdadu pemerintah yang didukung Saudi.
Kedua negara juga kian bersaing dalam hal ekonomi. Baru-baru ini, Riyadh mengancam akan mengucilkan perusahaan asing dari tender pemerintah jika tidak merelokasi kantor pusatnya ke Arab Saudi. Ancaman itu dinilai diarahkan kepada Dubai sebagai pusat keuangan di Teluk.
Pandemi turut sulut perselisihan
Riyadh juga dikabarkan tidak merestui pendekatan Abu Dhabi kepada Cina untuk menanggulangi pandemi. Saat ini UEA bergantung sepenuhnya pada vaksin asal Tiongkok untuk meredam wabah di negeri sendiri. Namun Saudi menolak mengakui vaksin Cina, dan mendeklarasikan jirannya itu sebagai wilyah berisiko tinggi.
Akibatnya, sejak Minggu (04/07) Saudi memberlakukan larangan berpergian dari dan ke UEA. Larangan serupa juga dikenakan terhadap Vietnam dan Etiopia. Adapun warga Saudi yang pulang dari negara-negara ini diwajibkan menjalani karantina selama 14 hari.
Bagi pengamat, ketegangan teranyar antara kedua negara menandakan pergeseran pada konstelasi politik di kawasan Teluk. "Selama 40 tahun terakhir, UEA setia mengikuti arahan Saudi di OPEC,” kata Abdul Khaleq Abdullah, Guru Besar Politik di Dubai, kepada Financial Times.
"Tapi belakangan UEA lebih berani dan sedang mengasah tajinya dalam medan konflik ini,” imbuhnya.
rzn/hp (rtr,ap,ft, bloomberg)