Turki Panen Kecaman Usai Keluar Dari Konvensi Perempuan
23 Maret 2021Pekan lalu, keputusan Turki untuk segera menarik diri dari Konvensi Istanbul 2011 memicu kecaman domestik dan internasional.
Konvensi Pencegahan dan Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dianggap sebagai batu loncatan dalam upaya internasional untuk melindungi perempuan dan anak perempuan dari tindak kekerasan. Perjanjian itu lebih dikenal dengan nama Konvensi Istanbul 2011, sesuai nama kota tempat perjanjian tersebut ditandatangani oleh 45 negara dan Uni Eropa.
Keputusan Turki keluar dari konvensi dinilai menjadi kemenangan terbaru bagi kaum konservatif bagi partai nasionalis Erdogan.
Mereka meyakini konvensi tersebut mengancam keutuhan keluarga, mendorong kekerasan dan perceraian. "Melestarikan tatanan sosial tradisional kami" akan melindungi martabat perempuan Turki, cuit Wakil Presiden Fuat Oktay di Twitter. "Untuk tujuan luhur ini, tidak perlu mencari ‘obat‘ di luar atau meniru orang lain."
Dalam wawancara dengan DW, kaum perempuan di Turki menyuarakan protesnya atas keputusan pemerintah. "Ini keputusan politik - dan mereka mengabaikan hak perempuan dan anak demi keuntungan politik mereka sendiri," kata seorang perempuan. "Sekarang pemerintah telah membuka jalan untuk lebih banyak kekerasan," kata perempuan lainnya dalam sebuah aksi unjuk rasa akhir pekan lalu.
"Kami semua berada di sini karena ada ketimpangan yang sangat besar di negara kami,” kata seorang pria yang juga beroprtisipasi dalam demonstrasi. "Kami mendukung teman-teman perempuan kami!"
Gokce Gokcen, wakil ketua partai oposisi CHP, mengatakan mengabaikan perjanjian itu berarti "mempertahankan status perempuan menjadi warga negara kelas dua dan membiarkan mereka dibunuh."
Bahkan Asosiasi perempuan dan Demokrasi (KADEM) pro-pemerintah, yang wakil ketuanya adalah putri bungsu Erdogan, turut menyatakan ketidaksenangan. Dia menegaskan betapa Konvensi Istanbul "memainkan peran penting dalam perang melawan budaya kekerasan."
Bagaimana perlindungan perempuan di Turki?
Di Turki, sebenarnya ada undang-undang untuk melindungi perempuan, tapi seringkali tidak dipraktikkan, keluh pegiat HAM.
Tahun lalu, seorang suami yang dijatuhi hukuman tiga bulan penjara usai terbukti melakukan kekerasan, hanya menjalani masa kurung selama tiga hari. Sementara istrinya yang menjadi korban, takut melaporkan ke polisi dan membawa anak-anaknya di sebuah rumah perlindungan untuk perempuan yang dianiaya.
Di sana, dia bertemu perempuan lain yang mengalami pelecehan serupa, sementara pelaku dibiarkan bebas berkeliaran.
Diperkirakan setidaknya satu perempuan meninggal dunia setiap harinya di Turki akibat kekerasan dalam rumah tangga, namun, karena pemerintah Turki menolak untuk mempublikasikan statistik tersebut, tidak ada yang tahu pasti seberapa tinggi angkanya sebenarnya.
Menurut Federasi Bantuan Perempuan Turki, setidaknya 312 perempuan dibunuh di negara itu antara Januari dan Oktober tahun lalu. Di lain sisi, Kementerian Dalam Negeri Turki, mengumumkan pada awal November tahun lalu, jumlah perempuan yang terbunuh dalam 10 bulan pertama tahun 2020, 27% lebih sedikit dibandingkan periode waktu yang sama pada tahun 2019. Namun kementerian itu tidak menyampaikan statistik untuk mendukung klaim tersebut.
Organisasi perempuan di Turki tak henti menyuarakan bahwa kekerasan terhadap perempuan sedang meningkat — terutama selama pandemi virus corona. Mereka menandaskan, bahwa meskipun pemerintah mengklaim sebaliknya, tidak ada langkah efektif yang diambil untuk memperbaiki situasi.
Melihat kondisi perempuan di Turki, Dewan Eropa menyebut keputusan Turki dalam menarik diri dari Konvensi Istanbul adalah "berita yang menghancurkan," kata Sekretaris Jenderal Dewan Eropa, Marija Pejcinovic Buric dalam sebuah pernyataan. "Semakin menyedihkan karena membahayakan perlindungan perempuan di Turki, di seluruh Eropa dan sekitarnya," tambah Buric.
Kementerian Luar Negeri Jerman juga mengutuk keputusan itu, dengan mengatakan kebijakan itu "mengirimkan sinyal yang salah ke Eropa dan kaum perempuan Turki."
"Baik budaya, agama, atau tradisi nasional lainnya tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan kekerasan terhadap perempuan," kata seorang juru bicara Kementerian.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan mereka sangat menyesali keputusan Turki. Langkah tersebut dianggap menandai kemunduran baru dalam hal penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Sepanjang tahun ini, setidaknya 78 perempuan di Turki telah dibunuh atau meninggal dunia dalam keadaan yang mencurigakan, demikian menurut kelompok hak asasi We Will Stop Femicide Platform.
Data Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa 38% wanita di Turki menjadi sasaran kekerasan dari pasangannya seumur hidup, lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata 25% di Eropa.
Politisasi Konvensi Istanbul
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Konvensi Istabul semakin dipolitisasi. Setelah Turki mengumumkan akan membatalkan perjanjian itu, negara-negara lain diyakini akan mengikuti.
Kelompok konservatif di Eropa menuduh perjanjian itu mempromosikan LGBT + dan bertentangan dengan nilai-nilai tradisional kekeluargaan. Beberapa mengamini anggapan bahwa definisi gender "dibangun secara sosial," tidak mencerminkan fitrah.
Di lain pihak, para pakar mengatakan penolakan terhadap perjanjian itu disebabkan oleh meningkatnya sentimen anti-Barat dan anti-LGBT + di beberapa negara yang diperintah partai-partai kanan.
Hillary Margolis, peneliti senior hak perempuan, Human Rights Watch menyebutkan: "Dalam banyak hal, konvensi ini telah menjadi korban dari upaya yang lebih luas untuk digunakan demi keuntungan politik; untuk menjelekkan hak-hak perempuan dan hak LGBT." tambahnya.
"Ini mendistorsi konvensi untuk menciptakan kepanikan di sekitar gagasan bahwa keluarga sedang diserang dan nilai-nilai serta sistem nasional sedang diserang - padahal, tentu saja, itu sama sekali tidak benar."
Pejabat pemerintah konservatif di Polandia tahun lalu mendorong penarikan diri dari Konvensi Istanbul, yang diratifikasi negara itu pada 2015. Menurut dokumen pemerintah yang bocor yang dilihat oleh Balkan Investigative Reporting Network (BIRN) bulan ini, pemerintah berusaha untuk mengganti perjanjian itu dengan perjanjian yang akan melarang pernikahan sesama jenis dan aborsi.
Hongaria dan Bulgaria juga menjauhkan diri dari Konvensi Istanbul. Kedua negara yang juga penandatangan perjanjian itu, mengindikasikan rencana untuk lebih menjauhkan diri dari ratifikasi konvensi.
Pada tahun 2020, parlemen Hongaria menyetujui deklarasi yang menolak meratifikasi Konvensi Istanbul, dan pada tahun 2018, pengadilan konstitusi Bulgaria memutuskan bahwa perjanjian itu tidak konstitusional. Slowakia juga masih belum meratifikasi konvensi tersebut.
rzn/vlz (rtr,dpa)
Kontribusi penulis: Burcu Karakas, Stephanie Burnett