Tiga Dekade Perjuangan Palestina Menuju Negara Berdaulat
29 Agustus 2020Presiden Palestina Mahmoud Abbas tetap berkomitmen pada strategi yang sama yang telah dijalani selama beberapa dekade. Ia mencari dukungan internasional untuk menekan Israel agar menyetujui berdirinya negara Palestina di Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur. Semua ini adalah tanah yang direbut Israel dalam perang Timur Tengah tahun 1967.
Usaha ini tampaknya semakin gamang setelah adanya keputusan Uni Emirat Arab (UEA) untuk membangun hubungan diplomatik dengan Israel baru-baru ini. Negara-negara Arab lainnya pun kini diharapkan untuk mengikuti jejak UEA. Mereka diharapkan memberi dukungan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang mengatakan bahwa Israel dapat berdamai dengan tetangganya di Timur Tengah tanpa ada konsesi apa pun terhadap Palestina.
Perjanjian dengan UEA ini juga menghidupkan kembali rencana kebijakan Timur Tengah oleh Presiden AS Donald Trump yang sangat menguntungkan Israel dan ditolak oleh Palestina. Jika Trump kembali terpilih pada pemilu mendatang, rencana ini akan tetap menjadi landasan kebijakan AS selama empat tahun ke depan.
Kebijakan geopolitik internasional memang seolah bersekutu melawan berdirinya negara Palestina. Akan tetapi yang tidak bisa disepelekan adalah fakta bahwa jumlah orang Palestina kini telah mencapai hampir setengah dari populasi di antara Laut Mediterania dan Sungai Yordan. Para pemimpin Palestina mengatakan Israel masih membutuhkan persetujuan para penduduk ini jika berharap menyelesaikan konflik.
Keadaan ini tentu membuat penasihat yang sekaligus menantu Donald Trump yakni Jared Kushner pusing kepala. Kushner adalah arsitek rencana perdamaian yang ditolak Palestina.
“Ada asumsi yang salah bahwa Palestina telah kalah, dan mereka harus menerima fakta kekalahan mereka," ujar Hanan Ashrawi, seorang pejabat senior Palestina. "Warga Palestina bertekad, dari generasi ke generasi, untuk melanjutkan perjuangan sampai kami mendapatkan hak-hak kami.”
Jalur panjang diplomasi
Tuntutan Palestina untuk menjadi sebuah negara berdasarkan kesepakatan tahun 1967 masih mendapat dukungan internasional yang luas dan diabadikan dalam resolusi PBB. Palestina diberi status “negara pengamat” di PBB pada tahun 2012. Status ini memungkinkan Palestina untuk bergabung dengan beberapa forum global, termasuk Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Palestina telah meminta penyelidikan atas kejahatan perang oleh Israel kepada ICC yang diharapkan dapat mengajukan tuntutan kepada para pemimpin politik atau militer Israel. Namun Israel bukan anggota ICC dan mengatakan tidak ada dasar hukum untuk penyelidikan apa pun, tetapi warganya dapat ditangkap di negara lain jika surat perintah dikeluarkan.
Langkah-langkah itu memang memberi tekanan pada Israel, tetapi tidak menghasilkan konsesi apa pun. Langkah ini juga tidak dapat mencegah Israel untuk membina hubungan lebih dekat dengan negara-negara Arab dan Afrika yang secara historis mendukung Palestina. Puncaknya adalah perjanjian Israel dengan UEA.
Palestina menanggapi perjanjian UEA dengan menyerukan pertemuan mendesak bagi Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam yang beranggota 57 negara. Akan tetapi UEA kaya akan sumber minyak dan karenanya, ia menjadi anggota yang berpengaruh di kedua organisasi tersebut. Sebagai akibatnya, hingga kini, pertemuan atas permintaan Palestina ini belum juga terwujud. Sementara Uni Eropa yang tengah menghadapi krisis virus corona, juga tampaknya tidak dapat menawarkan dukungan signifikan.
Berbagai boikot dan solidaritas internasional
Dalam beberapa tahun terakhir, beredar gerakan internasional yang dipimpin Palestina guna memobilisasi dukungan akar rumput dalam melakukan aksi kampanye boikot, divestasi, dan sanksi (BDS).
Penyelenggara BDS mengatakan mereka memimpin kampanye tanpa kekerasan untuk mendukung hak-hak Palestina, meniru perjuangan melawan kebijakan apartheid di Afrika Selatan. Sementara Israel menuduh gerakan ini berusaha mendelegitimasi keberadaannya.
Meski berhasil menorehkan beberapa aksi sukses, gerakan-gerakan BDS tidak berdampak pada ekonomi Israel. Populer di kalangan aktivis sayap kiri di negara-negara Barat, gerakan ini juga menghadapi kemunduran, termasuk adanya undang-undang anti-BDS di AS dan Jerman.
Tareq Baconi, analis dari International Crisis Group, mengatakan tumbuhnya solidaritas antara aktivis Palestina dan Black Lives Matter "adalah contoh dari beberapa tekanan yang pada akhirnya dapat ditanggung oleh Israel. Tapi untuk saat ini, gerakan ini terlalu terfragmentasi dan tidak cukup kuat untuk memiliki pengaruh politik apa pun."
Solusi satu negara
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak warga Palestina dan pendukungnya menyarankan solusi satu negara binasional tunggal bagi warga Yahudi dan Palestina, semacam konfederasi Israel-Palestina. Ide tersebut kembali mendapat perhatian bulan lalu ketika Peter Beinart, seorang komentator Yahudi-Amerika terkemuka, mendukung ide tersebut.
Pertimbangan di balik ide ini adalah bahwa pemerintah sayap kanan Israel dan perluasan permukiman di Tepi Barat yang sekarang menjadi rumah bagi lebih dari 500.000 warga Israel, membuat partisi tidak mungkin dilakukan. Lebih dari satu dekade belakangan, tidak ada pembicaraan damai yang substantif antara Israel dan Palestina. Para pendukung ide satu negara mengatakan bahwa Palestina seharusnya memperjuangkan hak-hak yang sama dengan warga Israel, termasuk melalui pemungutan suara.
Meski dapat dukungan di antara para intelektual, gagasan satu negara ini ternyata hanya sedikit didukung oleh warga Israel maupun Palestina. Jajak pendapat bulan Juni yang dilakukan oleh Pusat Survei dan Riset Kebijakan Palestina, sebuah lembaga survei yang diakui kredibilitasnya, mengungkapkan bahwa hanya 37 persen warga Palestina yang mendukung gagasan tersebut, dan hanya 6 persen yang akan memilih opsi ini dibandingkan opsi lainnya.
Kepemimpinan Palestina juga dengan teguh menentang solusi satu negara. Langkah ini akan mengakibatkan peleburan Otoritas Palestina dan membawa masa depan yang lebih tidak pasti lagi.
Percepatan reformasi pemerintahan Palestina
Mayoritas warga Palestina juga berpendapat bahwa pemimpin mereka perlu melakukan percepatan reformasi mendasar. Popularitas Abbas telah merosot dalam beberapa tahun terakhir dan otoritas Palestina dipandang korup dan tidak kompeten. Tidak ada pemilihan umum skala nasional dalam hampir 15 tahun karena perpecahan sengit antara gerakan Fatah dan kelompok militan Islam Hamas, yang merebut Gaza dari Fatah pada 2007.
Fatah dan Hamas sama-sama menolak rencana Trump dan normalisasi Arab. Kedua organisasi ini dalam beberapa pekan terakhir telah mengadakan pertemuan dan demonstrasi bersama untuk memproyeksikan front persatuan.
Namun di masa lalu, semua upaya rekonsiliasi yang lebih luas antara keduanya telah gagal. Hal ini membuat Abbas yang kini telah berusia 85 tahun masih saja bercokol di kepala kepemimpinan Palestina, membuat pemerintahannya tidak fleksibel.
Menunggu hasil pemilu AS
Apabila mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden, terpilih menjadi presiden dalam pemilu November mendatang, rencana-rencana Trump terkait Palestina dan Israel bisa jadi buyar. Tetapi hanya sedikit orang Palestina yang percaya bahwa pendekatan era Obama untuk membujuk kedua belah pihak menuju kesepakatan melalui negosiasi akan berhasil.
“Sangat sulit membayangkan ada orang yang melakukan lebih banyak kerusakan dibandingkan Trump,” kata Ashrawi. “Pada saat yang sama, saya ingin berhati-hati agar tidak berpikir bahwa Biden adalah seorang ksatria berbaju zirah.”
Sementara Ali Jarbawi, seorang profesor ilmu politik di Universitas Birzeit di Tepi Barat mengatakan bahwa Biden “akan kembali mengelola konflik.”
“Di bawah panji solusi dua negara Anda akan memberikan dana kepada Palestina, Anda memberi tahu Israel tolong jangan lakukan ini dan jangan lakukan itu, dan sekali lagi terlibat dalam negosiasi yang akan memakan waktu 20 tahun lagi.” ujarnya.
ae/vlz (AP)