Terusir dari Kawasan Kumuh
24 Mei 2013Buldoser datang sebelum tengah hari. " Pada waktu itu, biasanya tidak banyak orang yang berada di rumah,“ tutur Jim Tom George kepada Deutsche Welle, "Mereka memblokir jalan-jalan masuk ke kampung kami, melindas segala di hadapannya sehingga hancur, rata dengan bumi.“ Itu terjadi 27 Juni 2012 di Port Harcourt, Nigeria.
Dalam satu hari itu, antara 20.000 dan 40.000 orang kehilangan rumah dan hampir segala yang dimilikinya. "Mereka tidak memberitahu, kami tidak tahu bahwa suruhan pemerintah itu akan datang pada hari ini dan menghancurkan kampung kami."
Sementara itu, pemerintah Nigeria telah memerintahkan pembersihan kampung-kampung lainnya, kebanyakan kampung miskin beratap seng yang berada di tepian sungai. Pemerintah menyebutnya daerah kumuh. Salah satu alasan pembebasan tanah itu adalah kondisinya yang sangat buruk dan kotor. Padahal, orang-orang yang menetap di kawasan pelabuhan Port Harcourt bekerja di sana dan memiliki atap untuk berteduh.
"Sekarang kami tidak punya apa-apa,“ ungkap Jim Tom George, sepuluh bulan setelah penggusuran. "Kami ini orang sungai, kami hidup dari memancing.“ Sekarang semua tetangga sekampungnya pindah ke tempat-tempat lain, yang jauh dari sungai: "Saat ini, saat saya berbicara dengan Anda sekarang, keluarga saya menderita, kami semua menderita. Seluruh masyarakat kampung tercerabut dari akarnya. Kami tidak lagi meraa aman, dan kami mati karena kelaparan."
Menghambat Pembangunan Kota
"Kasus ini bukan satu-satunya. Dalam laporannya tahunan 2013, organisasi pemantau HAM, Amnesty International menulis bahwa di Nigeria tahun lalu, puluhan ribu rumah dibongkar dan dihancurkan di Port Harcourt, Lagos dan Abuja."
Penggusuran ilegal berlangsung di 36 negara, termasuk di ibukota Brasil, yang sedang dipersiapkan untuk penyelenggaraan pertandingan sepakbola Piala Dunia. Tidak seluruhnya dilakukan untuk pembangunan kota, "Banyak orang merasa, kampung seperti itu memalukan dan berusaha meniadakannya, karena dianggap mengganggu citra kota.“
Menurut Amnesty Internasional, dalam kebanyakan kasus, kampung-kampung kumuh itu dilihat sebagai hambatan bagi investasi yang menguntungkan. Biasanya untuk membangun pusat perbelanjaan, perkantoran atau hotel dan tempat parkir di kawasan pusat kota, atau dekat sungai dan kota, tanahnya diambil begitu saja dari kaum miskin.
Ditangkap, tanpa ganti rugi
Di Port Harcourt, Jim Tom George yang terusir dari rumahnya mengeluhkan bahwa polisi bahkan membuat alasan untuk menggusur kampung itu tanpa pemberitahuan lebih awal: "Ketika bertanya ada apa, polisi itu berdalih bahwa terjadi penembakan dan karenanya pemerintah mengirim pasukan keamanan ke situ,“ tutur George, "Kemudian mereka menangkap 120 orang dari kampung kami dan menahannya di penjara."
Menurut Christian Hanussek dari Amnesty International, masalah terbesar pada penggusuran itu terutama karena penguasa tidak berusaha untuk berdialog dan bernegosiasi dengan penduduk, melainkan langsung bertindak keras." Karena sebenarnya di banyak negara termasuk Nigeria, meski tidak memiliki izin tinggal atau dokumen yang menunjukkan hak milik rumah, orang tetap memiliki hak atas perumahan yang seharusnya diganti rugi. Namun, sangat sulit bagi penduduk yang tersisihkan itu untuk menuntut haknya, juga karena mereka biasanya miskin dan proses hukum sangat mahal.“
Tekanan Internasional
Dengan adanya laporan tahunan Amnesty Internasional, Christian Hanussek berharap bahwa pemerintah Nigeria akan lebih berhati-hati. "Penggurusan paksa yang menggunakan kekerasan terjadi terutama di kawasan-kawasan yang tidak tersoroti.“ Hanussek yang berkantor di Berlin juga berharap, bahwa pemerintah Jerman akan membahas masalah itu dalam pembicaraan bilateral dengan Nigeria.
Jim Tom George, yang ingin kembali ke rumahnya di tepi sungai Port Harcourt, tetap tidak terhibur oleh hal itu. Ganti rugi yang kini dijanjikan pemerintah Nigeria, bahkan lebih sedikit dari harga sewa rumah satu bulan.