Teror di Eropa Berakar Pada Isu Sosial
22 Maret 2016Apa yang mendorong seorang pemuda Muslim mengkhianati negeri tempat ia dilahirkan dan membunuh saudaranya sendiri? Pertanyaan itu selalu muncul sejak gelombang serangan teror melanda Eropa, dulu oleh Al-Qaida dan kini dilanjutkan oleh mereka yang menyebut diri sebagai Islamic State - ISIS.
Setelah serangan teror teranyar di Brussels dan insiden serupa di Paris November silam jawaban atas pertanyaan tersebut terasa semakin mendesak. Masyarakat Eropa harus mengambil langkah cepat untuk mencegah pertumpahan darah selanjutnya, meski tidak ada solusi yang menjamin kengerian dan banjir darah semacam itu akan cepat berakhir.
Salah satu faktor yang paling mencolok adalah kegagalan masyarakat Eropa selama beberapa dekade mengintegrasikan kaum muda Muslim ke dalam struktur sosial. Hingga kini masih banyak imigran yang menolak integrasi dan memilih menutup diri dari lingkungan.
Mereka hidup di ghetto pinggiran kota layaknya Molenbeek di Brussels. Abdeslam, salah satu arsitek serangan teror di Paris, juga hidup dan dibesarkan di wilayah terpinggirkan itu. Kawasan bermasalah yang banyak menampung penduduk berlatarbelakang migran juga tumbuh bak jamur di Perancis, Jerman dan Inggris.
Konsekuensi terbesar dari segregasi semacam itu adalah kegagalan menguasai bahasa di negara setempat. Hal ini menyulitkan kaum migran untuk berpartisipasi di dalam masyarakat dan memahami norma-norma sosial yang berlaku. Ujung-ujungnya anak-anak migran tidak mampu memanfaatkan peluang pendidikan secara penuh, karena mereka tidak menguasai bahasa setempat untuk bisa mencapai level pengetahuan yang diperlukan untuk sukses.
Pasar ketanagakerjaan di Eropa memilah pegawai berdasarkan kinerja. Mereka yang gagal di sekolah akan tersisih, sesuai karakter dasar masyarakat kapitalis. Akhirnya kaum muda imigran terpaksa bekerja dengan upah kecil atau menganggur untuk waktu lama. Sebagian besar hidup sebagai kelompok terpinggirkan dengan mengandalkan bantuan sosial. Ini adalah nasib imigran yang gagal mengintegrasikan diri, terlepas dari keyakinannya masing-masing.
Jika dalam kondisi semacam itu mereka terpapar ideologi ekstremis, maka jelas apa yang akan terjadi. Ideologi radikal Islam pada dasarnya bersifat totaliter. Faham tersebut menawarkan jalan keluar sederhana buat mereka yang tidak puas. Bahwa ideologi yang merupakan interpretasi menyimpang dari Islam itu berbenturan dengan nilai-nilai liberal masyarakat Eropa, sulit dibantah bahwa Islamic State lalu menjadi katalisator utama serangan teror terhadap kaum kafir di barat.
Negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis, Inggris dan Belgia menyaksikan bagaimana ribuan pemuda Muslim yang marah dan kecewa itu lalu pergi ke Suriah untuk bergabung dengan Islamic State. Mereka yakin bisa berkontribusi membangun kekhalifahan utopis dengan membantai mereka yang berbeda keyakinan. Dan mereka juga berkontribusi dengan kembali ke negara asalnya dan melakukan balas dendam atas kejahatan "imperialis barat" di Timur Tengah dan kawasan lain di dunia. Inilah yang kita saksikan saat ini.
Bisa dipastikan, masyarakat barat akan menjawab tantangan tersebut dengan meningkatkan keamanan. Kita akan menyaksikan penambahan anggaran keamanan di semua negara Eropa. Langkah tersebut benar dan diperlukan. Tapi Eropa juga harus mendorong upaya integrasi kaum migran dan menyambut mereka ke dalam masyarakat.
Karena bagaimanapun juga negara-negara barat membutuhkan mereka untuk menjalankan roda perekonomian. Eropa juga harus memastikan mereka menikmati kesempatan yang sama di sistem pendidikan dan pasar tenaga kerja.
Jika integrasi gagal, Eropa akan menyaksikan ekspansi kaum muda Muslim yang diliput ketidakpuasan dan - dengan panduan ideologi radikal- akan meluapkan dendam dengan meletakkan bom di jantung masyarakat dalam upaya membunuh kebebasan. Ini adalah situasi yang membuat semua pihak yang terlibat menjadi pecundang.
Grahame Lucas adalah pemimpin redaksi Asia Tenggara dan Asia Selatan di Deutsche Welle.