Terapi Antibiotika Dampak Radiasi Nuklir
10 Februari 2012Kecelakaan atom seperti yang terjadi baru-baru ini di Fukushima, Jepang, membuat warga semakin mencemaskan kemungkinan terpapar radiasi dosis tinggi. Sebab sejauh ini tidak ada obat untuk dampak radiasi nuklir. Artinya peluang untuk terus hidup juga nyaris nol.
Sejumlah tim peneliti dari Amerika Serikat, kini sedang berusaha mengembangkan obat bagi dampak radiasi nuklir. Kementrian pertahanan AS mendukung proyeknya dengan dana jutaan Dollar. Metode pengobatan dengan dua jenis antibiotika yang berbeda, dilaporkan menunjukkan prospek cukup cerah.
Para peneliti dari AS meradiasi tikus percobaan dengan unsur radioaktif Kobalt. Tikus-tikus ini ibaratnya sudah dihukum mati, karena dipastikan tidak ada yang bisa bertahan hidup. Tapi 24 jam kemudian, para peneliti mulai memberikan pengobatan. Dua kali sehari, tikus-tikus yang terpapar radiasi nuklir itu diberi beberapa tetes obat antibiotika langsung ke dalam lambungnya. Selain itu, tikus percobaan ini juga diberi suntikan antibiotika jenis lain. Ujicoba dilakukan selama 30 hari.
Hasilnya diungkapkan oleh peneliti Ofer Levy dari rumah sakit anak-anak di sekolah tinggi kedokteran di Boston. “Kelompok tikus yang mendapat antibiotika, kondisinya secara signifikan membaik dan tetap hidup.“
Radiasi hancurkan sistem kekebalan tubuh
Bersama dengan peneliti Eva Guinan dari institut riset kanker Dana-Farber di Boston, Levy ingin menemukan obat untuk menanggulangi penyakit akibat radiasi nuklir dosis tinggi.
Jika manusia atau binatang terpapar radiasi dosis tinggi, sel-sel tubuhnya ibaratnya melakukan bunuh diri massal. Sistem pencernaan mengalami kegagalan, dan sum-sum tulang belakang tidak lagi memproduksi cukup banyak sel-sel darah merah. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh runtuh.
Tapi tikus-tikus percobaan di Boston itu dapat tetap hidup, karena diberi pengobatan dua jenis antibiotika yang berbeda. Gagasan mendasarnya, antibiotika membunuh bakteri. Dan bakteri memainkan peranan besar dalam penyakit akibat radiasi dosis tinggi.
Ofer Levy menjelaskan lebih lanjut : Radiasi antara lain berdampak merusak selaput lendir. Juga lambung bocor, dan bakteri yang normalnya berada dalam lambung masuk ke sirkulasi darah, yang bukan tempatnya.“
Picu keracunan darah
Di dalam sirkulasi aliran darah, bakteri dapat menyebabkan kerusakan besar. Eva Guinan dari insititut riset kanker Dana-Farber di Boston menjelaskan : “Dalam jangka pendek, bakteri memicu infeksi dengan semua dampaknya. Seiring waktu, bakterinya terus berkembang biak dan dapat memicu sepsis atau keracunan darah. Itulah masalah yang sebenarnya.
Untuk manusia sehat, sejumlah bakteri yang masuk ke sirkulasi darah, lazimnya tidak menimbulkan masalah. Setiap hari kita mengalaminya, misalnya ketika menggosok gigi, bakteri dari sikat gigi dapat masuk ke sirkulasi darah lewat gusi yang terluka.
Sel darah putih dapat membunuh bakterinya dengan cepat, dengan bantuan antibiotika dari tubuh sendiri-BPI. Antibiotika tubuh tidak hanya membunuh bakterinya, melainkan juga mencegah jangan sampai terjadi reaksi peradangan. Artinya, pada manusia yang sehat, bakteri dapat dimusnahkan nyaris tanpa masalah.
Akan tetapi pada manusia yang terpapar radiasi dosis tinggi kondisnya amat berbeda, kata peneliti dari rumah sakit anak-anak Boston, Ofer Levy : “Sistem kekebalan tubuh menjadi amat lemah akibat radiasi. Radiasi merusak sum-sum tulang belakang, dan dampaknya produksi neutrophile, yakni butir darah merah yang mengandung BPI berkurang drastis. Justru disaat kita memerlukannya untuk menyerang bakteri, kita tidak memilikinya.“
Antibiotika spektrum lebar
Para peneliti dari Boston melakukan ujicoba dengan menyuntikkan protein BPI ke dalam tubuh tikus yang terpapar radiasi dosis tinggi. Namun antibiotika alami tubuh itu saja tidak akan menolong tikus-tikus percobaan dari ancaman kematian. Karena itu harus ditambahkan pemberian antibiotika spektrum lebar konvensional. Hasil eksperimen, sekitar 75 persen tikus yang terpapar radiasi dosis tinggi dapat terus hidup.
Riset yang dilakukan Ofer Levy dan Eva Guinan, amat berbeda dengan riset yang dilakukan tim peneliti lainnya, yang mencari obat baru. Kedua peneliti justru memanfaatkan obat-obatan yang sudah digunakan secara luas. Antibiotika spektrum lebar telah digunakan sejak bertahun-tahun, untuk mengobati pasien yang mengalami keracunan darah atau sepsis. Atau juga pada pasien yang mengalami gangguan sum-sum tulang belakang. Diketahui, antibiotika bersangkutan ampuh dan relatif aman.
Juga BPI sudah digunakan pada 1.200 pasien yang sakit berat, dan metodenya juga diyakini aman. Karena itu, kedua peneliti merasa yakin dan optimis, metode terapi yang dikembangkannya, akan dapat menolong korban yang terpapar radiasi dosis tinggi.
Marieke Degen/Agus Setiawan
Editor :Dyan Kostermans