Tentang Munir dan Trauma Yang Tak Tuntas
7 September 2015
Sedikitnya dua kali DW berbincang dengan Suciwati sejak pembunuhan Munir 2004 silam, dan tidak banyak yang berubah pada pesimisme yang tersimpan pada ucapan isteri sang pegiat HAM itu.
Suciwati tidak keliru. Berbagai upaya hukum dan tekanan buat menyeret dalang pembunuhan ke meja hijau, terbentur realita politik yang tidak pernah bersahabat. Selain Pollycarpus Priyanto, bekas pilot Garuda Indonesia yang membubuhkan racun Arsenik ke minuman Munir, kejaksaan gagal mengurung tersangka lain.
Muchdi Purwoprandjono, bekas punggawa Kopassus yang menjadi tangan kanan A.M. Hendropriyono di Badan Intelijen Negara saat pembunuhan terjadi, dibebaskan 2008 silam oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sementara Hendropriyono kini jumawa di Istana Negara sebagai penasehat presiden bidang intelijen. Putranya, Andika Pratama, bertugas sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden.
Muchdi pun menikmati pengaruh besar di pemerintahan baru yang ironisnya berambisi menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Presiden Joko Widodo pernah sesumbar akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Tapi ihwal Munir, pembantu utamanya, Jaksa Agung HM Prasetyo justru merasa kasusnya telah selesai dan tidak perlu diungkit lagi.
Hal serupa diutarakan Menteri Pertahanan Ryamizad Ryacudu ihwal kasus pembantaian pendukung Partai Komunis Indonesia tahun 1965.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sempat membentuk tim pencari fakta buat mengusut kasus Munir. Hingga detik ini, satu-satunya temuan yang lolos ke publik adalah bahwa pembunuhan Munir melibatkan banyak aktor berpengaruh.
Suciwati, dalam wawancaranya dengan KBR68H mendesak Presiden Joko Widodo agar mempublikasikan dan menindaklanjuti temuan tim pencari fakta, agar ia "tidak menjilat ludah sendiri."