Temukan Jejak Pahlawan Indonesia di Jerman
10 April 2021Setiap gambar pasti mempunyai arti. Bahkan, walaupun itu cuma gambar stickman atau warna polos. Tanpa kata-kata, kita bisa mengungkapkan visi dan isi pikiran ke dalam sebuah gambar.
Dresden, kotak permatanya Jerman
Selama sekolah di Indonesia, kesenian melukis menurut saya sesuatu yang membosankan dan cuma membuat stres. Saya ingat, saya pernah membuat lukisan yang membuat begadang semalaman dan nilai yang saya dapat hanya nilai standar lulus. Dari kecil saya suka membaca komik manga atau nonton film kartun di Minggu pagi seperti Doraemon, Dragon Ball, Naruto, dan saya tidak ingin melewati setiap detiknya. Setelah kelulusan SMA, saya termasuk orang yang beruntung bisa kuliah teknik industri di sebuah universitas di Dresden, Jerman.
Dresden terletak di jantungnya Eropa, dan bisa dibilang gerbangnya Eropa Timur dan Barat. Karena dekat perbatasan Ceko dan Polandia, kota ini sangat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan terbuka dengan ideologi baru. Ini kota dengan arsitektur klasik barok seperti bangunan Frauenkirche. Tidak hanya kotanya, melainkan juga pemandangan alam seperti sungai Elbe yang membentang panjang sampai Hamburg. Demikian pula dengan jembatan Bastei yang terletak di kawasan Sächsischer Schweiz.
Dari alasan di atas saja, banyak orang ingin belajar atau tinggal di Dresden. Tapi kenapa aku akhirnya sampai menapakkan kaki di Dresden? Karena aku diterima kuliahnya di sini. Selain itu, di sini ada museum militer Jerman yang terkenal.
Tag der offenen Tür, event gratis untuk masuk museum bergengsi
Ini asal mula saya kembali melihat karya seni lukisan-lukisan. Itu pun karena undangan teman Jerman dan kebetulan hari itu open house dari sebuah museum seni. Jadi kenapa enggak…
Waktu itu, saya mengunjungi museum Albertinum. Museum yang menyediakan karya- karya lukisan dari zaman Romantik hingga sekarang. Nama-nama terkenal mulai dari Caspar David Friedrich sampai Gerhard Richter katanya ada di sana. Kesan saya dari kunjungan biasa saja. Ada lukisan ekspresi manusia, pemandangan, atau lukisan warna abu-abu saja, yang anehnya masuk ke museum bergengsi ini.
Tapi ada lukisan harimau berjalan, dan yang melukisnya adalah Raden Saleh. Dari namanya saja, aku yakin pelukis dari Indonesia. Namun, beberapa bulan kemudian…. seseorang mengirim email ke komunitas Indonesia di Dresden. Di pesannya tertulis, "Adakah yang ingin berdiskusi tentang sejarah pelukis terkenal Indonesia yang pernah tinggal di Dresden yaitu Raden Saleh. Aku menemukan karyanya ada beberapa di sini dan jejak peninggalannya juga ada di sini."
Aku kaget membaca pesannya itu, terlebih kenapa dia sangat menyukai Raden Saleh.
Apa hebatnya dia? Memang sepopuler apa dia di sini? Dan instingku berkata aku harus
bertemu dengan penulis pesan itu.
“Der schwarze Prinz”
Aku akhirnya bertemu dengan Simon Kentgens. Dia pelukis dari Belanda. Dia sudah
pernah ke Indonesia untuk mencari jejaknya Raden Saleh. Menurutnya, Raden Saleh adalah salah pionir yang hebat dalam menentang aturan kolonialisme. Identitasnya yang unik karena benturan budaya Eropa dan Asia bisa juga jadi bahan pelajaran untuk kita, di mana isu rasisme dan diskriminasi mulai kembali jadi topik yang hangat di setiap media kabar saat ini.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah pelukis modern pertama Indonesia kelahiran tahun 1811 di Semarang. Awalnya ia belajar di bawah mentor pelukis Belgia Antonie Joseph Payen, lalu mendapatkan kesempatan untuk belajar di Belanda selama 10 tahun.
Pada tahun 1829 atas saran mentornya, pemerintah Hindia Belanda mengirim Raden Saleh ke negeri Belanda. Di sana dia memiliki dua mentor. Dari pelukis Andries Schelfhout, Raden Saleh memulai belajar lukisan lanskap. Dari pelukis Cornelius Kruseman, Raden Saleh mempelajari keterampilannya sebagai seorang pelukis potret.
Berkat dua mentor ini Raden Saleh bisa melukis dengan detail yang sangat luar biasa akuratnya, hingga akhirnya dia mendapatkan tugas menggambar lukisan potret beberapa raja Eropa dan juga pemandangan-pemandangan di Eropa. Luar biasa bukan? Salah! Menurut Simon, Raden Saleh malah tidak menyukainya tugas yang dia dapatkan. Dia merasa tertekan. Karena dia melukis hanya untuk membuat Raja atau Ratu Eropa senang. Terlebih lagi adanya tekanan rasisme yang diterima Raden Saleh di Belanda. Karena dia dari Indonesia dan dia tidak bisa berekspresi bebas di sana.
Tapi di Dresden lain cerita. Bagi dia masyarakat Dresden sangat berbeda dari kebanyakan masyarakat Eropa ketika itu. Bahkan Raden Saleh adalah orang berkulit Asia yang pertama kali datang ke Dresden. Kedatangan Raden Saleh di Dresden tahun 1839 bisa dibilang masa terbaiknya.
Dia di sini bangga mengenakan pakaian yang dia mau. Pakaian percampuran budaya Eropa dan Jawa Arab yang dia banggakan. Dia juga melukis yang berbeda dari kebanyakan para pelukis Romantik lainnya. Dia melukis banyak hal yang berbau eksotis yang jarang dilihat oleh masyarakat Dresden. Karena itulah dia dikenal Raja Sachsen dan masyarakat Dresden memanggilnya "Der schwarze Prinz“ atau Pangeran Hitam.
Pangeran ini juga bersahabat dengan Mayor Friedrich Anton Serre. Sebagai tanda persahabatan, Mayor Serre membangun sebuah musala di bukit Maxen untuk Raden Saleh. Sepuluh tahun diperlakukan adil layaknya manusia sederajat, Raden Saleh meninggalkan Dresden pada tahun 1849. Setelah meninggalkan Dresden, Raden Saleh kembali traveling di Eropa untuk memperdalam ilmunya seperti di Paris hingga akhirnya kembali ke Indonesia, pada tahun 1852.
Kios "Laden Saleh", komik Raden Saleh, dan musala
Karena pertemuanku dengan Simon, aku diundang dia untuk ikut serta dalam riset untuk eksperimen sosialnya. Tujuannya simpel: membuat tempat nongkrong di mana kita bisa membicarakan isu seperti arti sebuah identitas seseorang, eksotisme, atau orientalisme di kacamata kehidupan sekarang ini. Selain itu, memperkenalkan sejarah Raden Saleh yang pernah memengaruhi Dresden.
Yang menarik dari ekperimen ini adalah: Dresden saat itu sangat hangat dengan isu antiimigrannya di media berita Jerman. Termasuk lahirnya partai Pegida di Dresden yang katanya anti-Islam. Ini sangat bertolak belakang dengan Dresden yang sangat terbuka terhadap orang asing dulunya.
Eksperimen ini berlangsung selama satu bulan, dan memberikan saya petunjuk baru apa yang bisa saya pelajari dari Raden Saleh. Saya bisa bertemu Dr. Werner Kraus, seorang pakar sejarah kesenian dari Universitas Passau, Jerman, dan juga salah satu penyusun komik biografinya Raden Saleh.
Dia juga pernah membuat art exhibition di Indonesia. Dari dia saya belajar banyak hal tentang apa saja arti dari lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro. Kenapa lukisan ini bisa sangat dikagumi banyak orang dan juga banyak yang beranggapan, dimulai dari sinilah tumbuh bibit nasiolisme di Indonesia.
“Kamu coba lihatlah kepalanya orang Belanda ini, lihatlah apa yang dilakukan Pangeran Diponegoro, dia melihat ke mana. Terus lihatlah masyarakat sekitarnya, apa yang mereka lakukan? Coba kamu lihat juga perbedaan pakaian dari setiap rakyat pribumi di lukisan ini," ujar Dr. Kraus, saat menjelaskan luar biasanya lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro.
Tidak hanya itu, aku pun diperlihatkan lukisan dengan judul “Berburu Singa“, kejadian erupsinya gunung merapi, dan banyak lainnya yang patut dipelajari. Sayangnya, banyak juga jejak Raden Saleh yang hilang. Dari otobiografinya, yang tertinggal beberapa lembar. Yang lainnya sudah berpindah ke tangan pribadi. Lalu aku bertemu Frau Jutta Tronicke. Ibu yang menjaga musholla Raden Saleh di Maxen saat ini. Penjaga musala sudah sering berganti-ganti semenjak ahli waris Serres menjual
musala ini pada tahun 1881.
Karena pergantian kepemilikan inilah kondisi musala sangat mengkhawatirkan. Bahkan sempat menjadi tempat istirahat bagi kegiatan berburu di sana. Namun akhirnya berhasil di selamatkan dan kondisinya di kembalikan seperti semula.
Jejak yang hampir hilang
Bagaimana caranya ke musala yang di Maxen itu? Orang bisa menggunakan mobil pribadi dengan jangka waktu 20-30 menit dari pusat kota Dresden. Namun satu setengah jam bila dengan transportasi umum, dan lokasinya sedikit di pedalaman. Untungnya internet masih terkoneksi jadi masih bisa pakai GPS untuk ke lokasi.
Walaupun beberapa jejaknya Raden Saleh hilang, Raden Saleh sukses sudah menginspirasi banyak orang. Contohnya: Simon, Dr. Kraus, ibu Tronicke. Bahkan sewaktu aku membuat artikel ada seniman Indonesia Uji Handoko Eko Saputro atau dikenal dengan Hahan datang ke Dresden, dan membuat lelang unik di sini karena terinpirasi lukisannya Raden Saleh.
Semua ini meninggalkan sebuah petunjuk. Menurut Dr. Kraus, di lukisan Raden Saleh selalu ada statement yang tajam. Ide-ide seperti nasionalisme, kolonialisme, dan kemanusian ada di dalamnya. Itu bisa dijadikan pembelajaran untuk isu yang terjadi saat ini.
Menggambar adalah gaya komunikasi tertua. Karena gambar bisa memberikan kamu petunjuk, apa yang terjadi saat itu dan mungkin saja solusi dari suatu masalah saat ini. (ml)
** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: [email protected]. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.