Tanah Subur Menjadi Langka
28 Desember 2012Seiring perkembangan industri sekitar 200 tahun lalu, semakin banyak warga Eropa yang berpindah dari desa ke kota. Mereka berpikir, tinggal di kota akan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mengakhiri kemiskinan. Harapan yang sama terus berlanjut hingga kini, terutama di negara-negara berkembang, dimana arus urbanisasi mulainya terlambat dibanding Eropa, namun semakin intensif.
Kini, hampir separuh warga dunia tinggal di perkotaan. Dampaknya, bencana bagi tanah dan manusia.
1000 km2 Hilang perTahun di Eropa
“Ketika urbanisasi terjadi, sekitar 50 persen lahan tertutupi lapisan yang tak bisa ditembus, seperti beton atau aspal,“ ujar Klaus Lorenz dari Institut Kajian Berkelanjutan. Setiap tahunnya, Eropa kehilangan 1000 km2 tanah.
Kehilangan tanah itu tak tertahan lagi. Sekali infrastruktur yang menggunakan beton atau aspal dibangun, maka dibutuhkan kerja berat untuk dapat menyingkirkan beton dan aspal itu lagi, papar Lorenz. Itupun, tak menjamin bukan hanya kuantitas namun kualitas tanah akan pulih seperti sedia kala.
"Masalahnya adalah kota-kota dibangun di atas tanah subur. Di sana terdapat kawasan-kawasan pemukiman, oleh sebab itu, di sanalah pula mereka seharusnya bisa memproduksi makanan bagi penduduknya,“ kata Lorenz.
Membangun ketimbang meratakan kembali dengan tanah, bukanlah konsep ideal bagi banyak perkotaan. Di kota-kota metropolitan seperti Mexico City, Lorenz mengingatkan resiko gempa bumi. Ia yakin satu-satunya jalan keluar dari masalah ini adalah menggunakan permukaan lahan di perkotaan dengan lebih efisien. Termasuk di antaranya strategi berkebun di atap rumah atau pertanian di perkotaan (urban farming), dimana dengan begitu, bahan pokok makanan dapat dihasilkan di tengah kota.
“Namun, Anda harus tetap sangat hati-hati akan kualitas tanahnya, dan memperhatikan apakah mengandung kontaminasi,” demikian ujar Lorenz, yang juga merupakan pakar biologi.
Limbah Berbahaya
Pengasaman tanah telah menjadi topik yang banyak dibahas di Jerman. Namun problem serupa juga dihadapi di negara-negara lain di dunia, termasuk di Cina.
Guangzhou, merupakan kota terbesar ketiga di Cina. Kota metropolitan ini telah diperluas hingga sekitar 7000 km. Industrialisasi terus melaju dengan agresif. Kini, diupayakan untuk membersihkan limbah berbahaya yang dihasilkan di kawasan industri yang tak lagi digunakan. Tapi, ternyata ini tugas yang sangat sulit, kata Lorenz, apalagi karena tak ada panduan untuk memurnikan tanah.
Brazil juga menghadapi masalah serupa. Bagi pakar agrikultur Universitas Pernambuco, Clistenes Nascimento, polusi tanah menggambarkan problem utama yang diakibatkan oleh urbanisasi di Brazil. Masalah lainnya adalah erosi. Tanah kering hanyut oleh hujan dan terbawa banjir. Tahun 2011, ratusan orang di sekitar Rio de Janeiro tewas akibat tanah longsor.
Masalah yang Terlupakan
Nascimento meyakini banyak kota di Brazil yang kurang perencanaan dalam menghadapi urbanisas. Konsep baru dibutuhkan untuk memperhatikan bagaimana orang menguasai dan memanfaatkan lahan mereka.
Kota kelahiran Nascimenco di Recife, populasinya bertambah dua kali lipat sejak tahun 1970-an. Kota ini menghadapi sejumlah amsalah terkait dengan urbanisasi. Kota ini terletak di sepanjang pantai, di mana banyak penduduk bermukim. Nascimenco menyarankan diberikannya insentif di seluruh negeri, untuk mengurangi tekanan populasi di perkotaan.
Ilmuwan ini mengeluhkan rendahnya kesadaran orang-orang di Brazil bahwa “lahan itu sendiri merupakan sumber daya yang terbatas.”
Klaus Lorenz sepakat segera diadakannya aksi, agar orang-orang menyadari betul bagaimana sebaiknya memanfaatkan lahan, “Kita terlampau jauh dari produk di atas piring kita sendiri, atau duduk di depan meja, menghubungkan diri dengan kenyataan bahwa tanah amat diperlukan untuk memproduksi apa yang kita makan,” jelasnya. “Kita kerap lupa bahwa tanah tak dapat diproduksi. Tanah alami, yang subur: Sekali hilang, selamanya hilang.”