Dialog Antaragama Semakin Relevan
19 Oktober 2020Ironisnya justru Arab Saudi, negeri yang mengabaikan hak sipil, membatasi kebebasan beragama dan bersikap cuci tangan terhadap pembunuhan barbarik Jamal Kashoggi dua tahun silam, yang kini menjadi tuan rumah pertemuan perwakilan umat beragama di dunia.
Riyadh saat ini menjabat presiden G20 dan akan menggelar konferensi tingkat tinggi November mendatang. Dan sejak beberapa tahun terakhir, pertemuan politis itu selalu diiringi "KTT agama," atau disebut juga "Forum Antaragama G20".
Secara umum, masukan dari perwakilan agama yang nanti akan dibawa ke dalam agenda KTT G20, menyusul masalah seperti perubahan iklim, keadilan sosial, pencegahan konflik atau wabah corona, bisa dianggap relevan. Jadi: Bicara lah satu sama lain!
Agama memainkan peran kunci
Dialog antaragama punya peran yang penting dan menjadi lebih relevan sejak beberapa tahun terakhir. Karena hanya yang mampu membuka pintu dialog, mendengar pihak lain dan mencari celah masuk buat memahami agama, atau menjauhkan diri dari agama, yang sudah berpisah dari klaim atas kebenaran hakiki milik agamanya dan belajar hal baru.
Hal itu tidak merendahkan keyakinan sendiri, melainkan mengangkat derajatnya untuk bertahan di dalam dunia multireliji dan era pos-agama. Sikap ini menjadi lebih penting terutama pada masa, di mana semakin banyak perwakilan politik yang menjual diri seperti pemimpin sebuah gerakan kebangkitan agama, yang karismatis namun otoriter. Itu adalah penyalahgunaan agama.
Politik agama semakin penting
Agama dan politik agama juga relevan secara politis. Pada 2017, beberapa bulan sebelum lengser, bekas Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengundang perwakilan agama ke Berlin dan menegaskan "tanggungjawab agama terhadap perdamaian." Dia saat itu tidak bermanis kata. Agama mempolarisasi, tidak semua berharap ia mendapat peran yang lebih penting.
Agama sering dijadikan alat mobilisasi untuk melawan musuh, terutama ketika motif bisnis atau politik bercampur dengan aspek-aspek keagamaan ke dalam racikan yang eksplosif. Tapi justru sebab itu pula agama harus membuka dialog atau mencari penjelasan atau pencerahan.
Aktor-aktor agama, kata Menlu Gabriel, "juga merupakan aktor politis di lingkup masyarakatnya masing-masing. Mereka yang di negerinya aktif dalam agama, secara bersamaan juga bagian dari masyarakat dan kehidupan politik," kata dia merujuk pada tanggungjawab agama.
Ucapan itu mengingatkan perwakilan agama tentang tanggungjawab yang mereka miliki dan sebabnya harus dicamkan. Contoh yang paling segar adalah upaya seorang kardinal dan seorang imam di Republik Afrika Tengah yang menolak agama dijadikan dagangan politik. Hal ini mudah ditulis, tapi bagi keduanya, sikap tersebut menyimpan bahaya yang mengancam nyawa.
Tapi siapapun yang mencari ruang dialog (virtual atau nyata) di Arab Saudi, dia harus mengingat hak-hak sipil dan kebebasan dasar. Memang jelas, tatap muka secara langsung akan membuka lebih banyak kesempatan untuk perbincangan informal di sela-sela acara. Tapi elemen paling penting dari "bicara lah satu sama lain!" harus lah "dengarkan satu sama lain," juga.
Berbagi gagasan, dan tindakan
Kebebasan beragama bukan berarti penolakan terhadap agama. Istilah itu memisahkan agama dari politik, dan politik dari agama. Karena saat ini ada terlalu banyak penguasa dunia yang mencari legitimasi politik dari agama, mulai dari Trump, Bolsanoro atau Erdogan, maka perwakilan agama harus menghargai nilai kebebasan beragama.
Sebab itu pula dialog antaragama yang digelar sepanjang tahun di berbagai benua tanpa mendapat banyak perhatian media itu, kini justru semakin penting di masa yang penuh ketidakpastian. Jadi: Bicara lah satu sama lain dan berlaku lah sepadan!
rzn/as