Suramnya Nasib Pengidap HIV di Tengah Pandemi
9 Juli 2020Meskipun virus corona saat ini tengah menjadi sorotan utama, kita sejatinya masih terus berjuang melawan virus mematikan lainnya: HIV.
Baru-baru ini sebuah studi yang dilakukan oleh Program bersama PBB untuk penanganan AIDS (UNAIDS) menyebutkan bahwa tindakan penguncian atau lockdown akibat virus corona telah menghambat upaya penanganan infeksi HIV khususnya bagi wanita dan anak perempuan secara global. Studi itu juga menyebutkan bahwa imbas pandemi, perhatian dan sumber daya pemerintah turut bergeser dalam melindungi populasi yang rentan terkena HIV.
UNAIDS secara khusus menyoroti risiko kekerasan rumah tangga dan infeksi HIV pada wanita dan anak perempuan di Afrika sub-Sahara, yang kini telah menyumbang 59% kasus infeksi baru di tahun 2019. Upaya penanganan infeksi HIV akibat lockdown di wilayah itu terhambat karena sulitnya akses ke persediaan medis, sehingga setengah juta kematian terkait AIDS diperkirakan dapat terjadi pada akhir tahun 2021 mendatang.
“Masalah yang sangat serius”
Kepada DW, Prof. Hendrik Streeck, Direktur Institut Virologi dan Penelitian HIV di Universitas Bonn, Jerman mengatakan bahwa “jika pasien HIV tidak mendapatkan pengobatan, penyakit itu menjadi sebuah penyakit mematikan dan hampir seratus persen dapat meninggal dunia akibat HIV ketika mereka terinfeksi.”
Ini artinya kurangnya obat-obatan HIV di beberapa negara karena rantai pasokan yang rusak akibat pandemi menjadi “masalah yang sangat serius”, ujar Streeck saat diwawancara DW, Rabu (08/07).
UNAIDS dan WHO telah memperkirakan setengah juta kematian tambahan karena kekurangan pasokan. Namun “yang menjadi masalah adalah, dengan HIV, Anda harus minum obat setiap hari”, kata Streeck. “Dan jika Anda tidak memiliki obat, misalnya, selama berbulan-bulan atau bahkan seminggu, Anda bisa saja mengembangkan resistensi terhadap obat tersebut. Dan kemudian obat itu tidak akan berfungsi lagi.”
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, keterbatasan stok obat antiretroviral (ARV) yang digunakan untuk menekan virus HIV/AIDS dalam tubuh Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) telah menjadi permasalahan yang tak kunjung usai, demikian kata Aditia Taslim, Direktur Eksekutif Rumah Cemara, sebuah organisasi komunitas yang berjuang menghapus stigma terhadap konsumsi narkoba dan orang-orang dengan HIV.
Kondisi itu semakin diperburuk dengan adanya pandemi corona yang berdampak negatif terhadap rantai pasokan, ketersediaan, dan aksesibilitas ARV di tanah air.
Sesuai dengan pedoman WHO terbaru, ODHA seharusnya mendapatkan stok obat langsung selama 3-6 bulan lewat pemberian obat multi-bulan atau multi-month dispensing (MMD). Hal ini dilakukan salah satunya untuk mengurangi frekuensi ODHA harus mengakses fasilitas kesehatan yang menjadi rumah sakit rujukan COVID-19. Namun, pemberian obat multi-bulan ini belum diterapkan secara luas, termasuk di Indonesia.
“Saya saja bulan lalu (Juni), obat saya dicicil,” kata Aditia saat diwawancara DW, Rabu (08/07). “Biasanya saya dapat satu bulan tetapi saya dapatnya kemarin per dua minggu karena stoknya tidak cukup. Jadi tidak usah bicara stok 3-6 bulan, untuk bisa mendapatkan satu bulan saja kita sudah bersyukur,” tambahnya.
Survey cepat kebutuhan ODHA dalam konteks COVID-19 yang dilakukan oleh Jaringan Indonesia Positif dengan dukungan UNAIDS Indonesia pada Maret lalu juga tunjukkan hal serupa. Sekitar 47,6% dari 1.000 ODHA yang terlibat dalam surveI hanya memiliki stok obat ARV untuk periode kurang dari 1 bulan saja.
Saat membuka webinar dengan tema “Penanggulangan HIV-AIDS: Kebijakan dan Strategi di Tengah Pandemi COVID-19”, yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) pada Jumat, Stuart Watson, Country Director UNAIDS Indonesia mengatakan memang belum ada bukti yang menunjukkan bahwa ODHA mempunyai risiko lebih tinggi terinfeksi COVID-19.
Namun, ia tak menampik bahwa pasien HIV yang tidak melakukan pengobatan ARV dan virusnya yang belum tersupresi, dimungkinkan memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah sehingga menjadi rentan terinfeksi virus corona. Itulah sebabnya, “sangat penting bagi ODHA untuk memiliki stok obat-obatan esensial yang memadai, seperti ARV, agar mereka tetap sehat selama masa pandemi.”
Secara global, ada 15 juta orang yang hidup dengan HIV yang tidak mengakses ARV, kata Watson. “Di Indonesia, 23% dari estimasi jumlah ODHA tidak melakukan pengobatan.”
Buruknya penanganan HIV/AIDS di Indonesia
Terlepas dari permasalahan stok obat, Aditia mengatakan bahwa jauh sebelum pandemi COVID-19 muncul, Indonesia sejatinya telah kewalahan menanggulangi HIV/AIDS. Buruknya pencapaian Indonesia dalam memenuhi target dari The 2016 Political Declaration on Ending AIDS, komitmen global untuk mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030, menurut Aditia menjadi buktinya.
Dalam komitmen tersebut tertuang sebuah target bernama 90-90-90 yang seharusnya tercapai di tahun ini. 90-90-90 memiliki arti bahwa 90% ODHA tahu tentang statusnya, 90% ODHA sudah mendapatkan pengobatan, dan jumlah virus dari 90% ODHA sudah tidak terdeteksi atau virally suppressed. Sejauh ini, Indonesia gagal memenuhi target tersebut.
“Jadi kalau di akhir tahun lalu, posisi Indonesia waktu itu di 90 pertama yang tahu status hanya 50%, yang dalam pengobatan itu hanya 17%, yang jumlah virusnya tidak terdeteksi hanya 1%,” kata Aditia, Rabu (08/07).
Lebih jauh, Aditia mengatakan ada banyak hambatan yang dialami ODHA di tengah pandemi COVID-19, yang membuat pengobatan mereka menjadi terganggu. Dari sisi ekonomi, ODHA yang kebanyakan berasal dari populasi tertentu seperti waria, pengguna narkoba, dan pekerja seks selama ini mengandalkan pendapatan dari sektor non-formal, sehingga sangat terpukul secara ekonomi. Sementara, bantuan sosial dari pemerintah seringkali tidak mereka dapatkan karena terbentur banyaknya urusan administrasi. Kondisi inilah yang memaksa para ODHA mengesampingkan kebutuhan pengobatan HIV untuk memenuhi kebutuhan esensial lainnya.
“Ketika pengobatan terganggu yang tadinya jumlah virusnya sudah tidak terdeteksi bisa jadi ada lagi. Ketika ada lagi (virusnya) dan dia melakukan perilaku berisiko, risiko penularannya akan semakin tinggi artinya akan ada potensi kenaikan infeksi baru. Itu snowball efeknya ke arah sana,” jelas Aditia.
Di sisi lain, para ODHA juga dirundung banyak kecemasan. Survei UNAIDS Indonesia menunjukkan sekitar 41,1% ODHA mengalami kecemasan sangat berat akan kemungkinan ikut terpapar COVID-19. Kebanyakan mereka khawatir terhadap kesehatan diri sendiri, khawatir tentang kesehatan anggota keluarga, khawatir akan stigma terkait status HIV, dan khawatir akan kemampuan mendapatkan obat.
Gandeng komunitas ODHA
Di masa pandemi seperti sekarang, Aditia menekankan pentingnya pelibatan komunitas untuk turut aktif dalam program-program pemerintah dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di tanah air. Bukan hanya sebagai komunitas yang bekerja meningkatkan kesadaran saja, tapi diberi peran yang lebih besar untuk menjangkau para ODHA yang kesulitan mendapatkan akses pengobatan.
“Selama lebih dari 30 tahun kita menghadapi permasalahan HIV yang sampai saat ini belum berakhir, kita belajar banyak sekali bahwa dari awal sampai sekarang yang selalu berada di garda terdepan adalah komunitas,” ujarnya.
“Bahwa peran dari komunitas orang dengan HIV sangat penting sekali dalam memastikan ODHA-ODHA mendapatkan layanan yang esensial seperti pengobatan ARV ataupun akses ke alat-alat pencegahan.”
Mengacu pada data UNAIDS Indonesia tahun lalu, ada sekitar 46.000 infeksi baru HIV yang terjadi di Indonesia, dengan jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 38.000 kasus (meningkat 60% sejak tahun 2010 lalu). Sementara, total Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 640.000 orang.
(gtp/pkp)