Pemahaman Superspreader Corona Bisa Redam Wabah
4 Juni 2020Semakin intensif penelitian virus SARS-CoV-2, semakin banyak pengetahuan menyangkut cara penularan virus corona jenis baru itu. Pada dasarnya hal ini sangat melegakan, pasalnya pandemi bisa diperangi secara lebih terarah. Namun juga menunjukkan, berbagai tindakan yang dilakukan saat awal pandemi, sebetulnya tidak perlu atau tidak tepat sasaran.
Tapi semua upaya itu walau tidak tepat sasaran, juga memberikan kontribusi pada pengumpulan pengetahuan terkait penyebaran virus. Juga pemahaman tentang apa yang disebut "Superspreader" atau penular super dan juga "Superspreader-Events" alias peristiwa penularan super.
Bagaimana orang jadi Superspreader?
Yang disebut "Superspreader" dalam epidemiologi adalah satu orang yang menginfeksi sangat banyak orang lain. Jadi setiap orang yang terinfeksi bisa menjadi Superspreader, jika ia melakukan kontak dengan banyak orang.
Yang juga ikut menentukan adalah momen waktunya. Seorang yang terinfeksi diperkirakan bisa sangat berbahaya menulari orang lain, sebelum yang bersangkutan menunjukkan gejala pertamanya. Pada fase ini, beban virus pada tenggorokan sangat tinggi.
Sementara itu, banyak orang yang terinfeksi corona tidak atau nyaris tidak menunjukkan gejala. Sehingga mereka juga tidak menyadari bahwa dirinya sudah terinfeksi dan juga bisa menulari orang lain.
Selain itu ada orang-orang tertentu yang kelihatanya bisa menyebarkan virus lebih panjang dan lama ketimbang yang lainnya. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan sistem kekebalan tubuhnya atau juga dengan penyebaran reseptor virus dalam tubuhnya.
Bagaimana terjadinya peristiwa Superspreading?
Jika orang yang tergolong superspreader, yang sangat mudah menulari orang lain bertemu banyak orang dalam ruang sempit, dalam waktu singkat akan banyak orang yang tertular.
Pada dasarnya, klaster penularan semacam itu dapat dilacak para pakar medis di seluruh dunia. Misalnya saja kasus "Superspreading-Events" di Jerman, dimana jumlah orang yang terinfeksi ibaratnya “meledak“ dalam waktu singkat antara lain, kasus pesta karnaval di Heinsberg, misa gereja di Frankfurt dan yang terbaru pesta sebuah keluarga besar di kota Göttingen.
Contoh lainnya "Superspreading-Events" adalah kasus penularan di beberapa kapal pesiar mewah, di bar kawasan ski Ischgl, Austria, di tempat kursus Zumba di Seoul, Korea Selatan serta dalam acara tabligh akbar di India dan Indonesia.
Penularan lewat Aerosol?
Pada dasarnya risiko infeksi dalam ruangan tertutup jauh lebih tinggi dibanding di ruangan terbuka. Dan semakin banyak orang berkumpul di ruangan bersangkutan, risiko penularan akan jauh semakin tinggi.
Sementara ini juga makin kuat dugaan, virus corona SARS-CoV-2 yang agresif juga menular lewat aerosol dari mulut penderita. Aerosol yag lebih ringan dari cairan tubuh, bisa bertahan lebih lama di dalam ruangan yang penuh orang dan jelek sirkulasi udaranya.
Penyelidikan pada acara yang disebut Superspreader-Events juga menunjukkan, lewat bicara kencang atau berteriak misalnya di bar, disko atau aula olahraga, aerosol makin banyak tersebar. Bahkan fenomena ini juga diamati pada saat bernyanyi misa gereja atau menyanyi koor (paduan suara). Sebagian orang bahkan menyemprotkan aerosol lebih banyang dibanding yang lainnya.
Kegunaan riset bagi pencegahan Corona
Informasi apapun yang dikumpulkan dalam riset setelah pecahnya pandemi Covid-19 tetap ada gunanya buat langkah pencegahan penularan SARS-CoV-2. Misalnya saja, pemakaian masker pelindung hidung dan mulut mula-mula diejek di Jerman. Tapi seiring bertambahnya pengetahuan yang dihimpun, keputusan harus diubah dan beradaptasi dengan realita.
Sementara ini pelacakan orang yang menularkan virus yang disebut Superspreader diakui tidak mudah, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Karena itu para petugas kesehatan lebih banyak memusatkan perhatian pada "Superspreading-Event" yang lebih mudah dikontrol.
Jika regulasi larangan berkumpul dalam jumlah besar, terutama dalam ruangan tertutup terus diberlakukan dan aturan jarak sosial serta higiene ditaati, bisa diharapkan penyebaran virus dapat diredam. Dengan begitu, kegiatan kemasyarakatan juga tidak sepenuhnya harus dilockdown, yang terbukti punya dampak ekonomi dan sosial merugikan. Hingga obat atau vaksin SARS-CoV-2 ditemukan, pembatasan kontak sosial juga bisa secara bertahap dilonggarkan.
Agar virus tidak terus menyebar, acara-acara besar yang bisa jadi potensi Superspreading Events dan jadi klaster infeksi harus tetap dilarang. Jika terjadi pelanggaran, semua orang yang melakukan kontak harus dilacak dan dites untuk meredam dan membatasi risiko penularan.
Jepang misalnya, terbukti sukses meredam dan membatasi klaster dengan metode ini, dan juga mencegah pemberlakuan lockdown yang berdampak luas pada banyak sektor kehidupan.
(as/pkp)