Sufisme Menangkal Ekstrimisme
16 Agustus 2013Setiap tahun, ribuan sufi dari seluruh dunia berkumpul di Indonesia. Mereka tidak bicara soal kesesatan, mereka lebih memilih bercakap-cakap soal cinta kasih sembari mencari titik-titik temu antar beragam keyakinan
Indonesia menjadi surga bagi para sufi. Jutaan orang menjadi pengikut aliran yang sering disebut sarjana barat sebagai mistikus Islam: mereka yang lebih mengedepankan batin dalam mendekati Tuhan.
Sufisme vs. Ekstrimisme
Mistikus Islam, kelompok tarekat atau tasawuf adalah nama-nama lain bagi mereka yang mempraktekkan sufisme.
“Sufisme fokusnya pada yang batin, sementara kelompok fundamentalis fokusnya adalah kewajiban melaksanakan hukum agama. Itulah yang membuat sufisme dalam sejarah Islam selalu berkonflik dengan kelompok fundamentalis,” kata Media Zainul Bahri, pakar sufisme yang sedang mengikuti program riset Post Doktoral Yayasan Humbolt di Universitas Köln Jerman kepada Deutsche Welle
“Ketika seseorang mendalami dimensi batin agama, maka dia akan ‘bertemu' dengan agama-agama lain. Karena itulah sufisme sangat toleran terhadap perbedaan keyakinan, karena dia lebih melihat pada dimensi batin agama.“
Meski dikenal dunia sebagai negara berpenduduk muslim moderat, namun belakangan Indonesia mengalami gelombang pasang intoleransi: pemboman oleh kelompok teroris maupun penyerangan atas kelompok minoritas oleh kelompok Islam radikal..
Kelompok sufisme sangat tidak suka dengan kelompok radikal, kata Zainul Bahri. Tapi pandangan mereka sayangnya jarang diekspos oleh media massa. Dia meyakini bahwa sufisme sangat efektif untuk melawan doktrin-doktrin di dalam Islam yang bersifat ekstrim.
“Pengikut sufisme itu bagian dari silent majority di dalam Islam”
Surga Sufisme
Islam masuk ke Indonesia abad ke-15 melalui sufisme. Menurut Zainul Bahri, para Wali Songo ketika pertama kali memperkenalkan Islam lebih banyak bicara soal nilai-nilai budi pekerti atau akhlak, dan itu dekat dengan ajaran Hindu dan Buddha yang saat itu menjadi agama mayoritas.
Sifat sufisme yang lebih banyak bicara soal nilai-nilai kebaikan itu membuat Islam menjadi lebih gampang diterima di Indonesia.
Zainul Bahri memperkirakan, kini ada lebih dari tujuh juta orang di Indonesia yang mengikuti ajaran sufisme. Organisasi Islam terbesar Nahdatul Ulama, bahkan mempunyai sayap organisasi tasawuf. Sebagian besar pengikut sufi, ada di pedesaan.
Namun beberapa tahun terakhir muncul gejala sufisme perkotaan. Di sejumlah perumahan paling elit Jakarta: kawasan Pondok Indah, Kuningan atau bahkan di hotel-hotel mewah digelar pengajian Tasawuf.
Zainul Bahri yang sempat mengajar di salah satu pengajian tasawuf elit Jakarta bercerita bahwa sebagian besar yang bergabung adalah kalangan pengusaha atau bekas pejabat.
Cendekiawan Islam paling terkemuka seperti almarhum Nurcholish Madjid, Haidar Bagir dan Jalaluddin Rakhmat termasuk diantara mereka yang “menularkan” sufisme di kalangan elit perkotaan.
Orang kaya lebih senang belajar tasawuf karena mereka ingin mencari ketenangan batin. Mereka menemukan kedamaian hati dan pencerahan: wajah Islam yang damai, toleran dan bersahabat.
Sufi Twitter
Jangan bayangkan jubah putih, sufi yang satu ini berbeda. Berambut gondrong, suka bercelana jeans, dan menenteng Ipad ke manapun dia pergi.
Namanya @candramalik, usianya 34 tahun. Dia mendeklarasikan diri sebagai sufi Twitter. Follower-nya di jejaring sosial lebih dari 30 ribu. Serial Tweet-nya, terutama di malam hari lewat #FatwaRindu dan #Seucap disukai para pengikut.
Indonesia adalah negara yang menggilai Twitter. Akhir 2012, lembaga riset Semiocast asal Prancis mengungkapkan bahwa Jakarta adalah kota dengan lalu lintas percakapan Twitter paling tinggi di dunia, mengalahkan di urutan berikutnya New York, Tokyo, London, Sao Paolo. Nomor enam tertinggi di dunia adalah: Bandung, yang mengalahkan Paris dan Los Angeles.
“Lewat Twitter, saya bisa menyampaikan pesan sufisme secara lebih terbuka, egaliter, dan bisa diperdebatkan siapa saja tanpa penghalang, itu sangat cocok dengan jiwa sufisme yang selalu membuka ruang bagi dialog“ kata Candra Malik kepada Deutsche Welle.
“Ketika mendeklarasikan diri sebagai sufi Twitter, sebetulnya saya sedang mendekonstruksi sufisme untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya sufisme sangat dekat dan berada di tengah masyarakat.“
Sufi masa kini, menurut Candra Malik tidak perlu selalu berjubah, pakai surban, dan menyembunyikan diri dari publik.
Candra Malik mempunyai pesantren tasawuf di Solo. Dia juga mengajar kelas sufi di kota-kota besar: Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya hingga Bali. Dia mengaku punya 3.500 murid dan sepuluh persen diantaranya mempunyai latar keyakinan Hindu, Buddha, Katolik, Kristen hingga Kejawen.
“Sufisme mengajarkan tentang cinta damai, kasih sayang, tentang bagaimana menghargai kemanusiaan. Seorang sufi selalu berusaha mengerti keberadaan manusia berasal dari keyakinan masing-masing tanpa memaksakan kehendak mana yang lebih benar.“
Saat bulan puasa 2012, Candra Malik merilis album kidung sufi “Samudera Cinta“, dia juga mengisi acara Ramadhan di salah satu stasiun televisi. Dalam beberapa konser, Candra Malik melibatkan paduan suara gereja.
“Twitter atau musik lebih efektif untuk menyebarkan sufisme di dalam masyarakat modern. Kalau hanya berhenti di pengajian atau mesjid, maka gagasan yang cinta damai itu tidak akan bisa merangkul kalangan yang lebih luas,“ pungkas Candra Malik.