Singapura Diminta Ekstradisi Gotabaya Rajapaksa
25 Juli 2022Pelarian bekas Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, di Singapura terancam berakhir singkat. Pada Minggu (24/07), lembaga penyidik pelanggaran HAM asal Afrika Selatan, Truth and Justice Project, mengumumkan sudah mengadukannya kepada Kejaksaan Agung Singapura atas dugaan kejahatan kemanusiaan.
Organisasi nirlaba itu membeberkan bukti keterlibatan Gotabaya dalam sejumlah pelanggaran HAM berat selama perang saudara antara minoritas Tamil dan pemerintah yang didominasi etnis Sinhala di Sri Lanka, 1983-2009.
Atas dasar itu, Gotabaya diminta untuk diekstradisi guna menjalani persidangan di Sri Lanka.
Dia dikabarkan melarikan diri ke Singapura pertengahan Juli silam setelah dijatuhkan oleh demonstrasi massal. Aksi protes selama dua bulan akibat kebangkrutan ekonomi memuncak pada serangan demonstran terhadap kediaman presiden. Akibatnya Gotabaya mengungsi ke Maladewa, sebelum meminta suaka di Singapura.
Kepergiannya sekaligus menandakan surutnya pengaruh dinasti Rajapaksa yang mendominasi politik Sri Lanka sejak tiga dekade terakhir.
"Kebangkrutan ekonomi mengakibatkan kolapsnya pemerintah. Tapi krisis di Sri Lanka berakar pada impunitas struktural terhadap kejahatan kemanusiaan serius yang dilakukan tiga dekade lalu,” kata Direktur Eksekutif ITJP, Yasmin Sooka.
Dugaan kejahatan perang
Truth and Justice Project mengaku mengirimkan dokumen "setebal 63 halaman berisikan bukti bagaimana Gotabaya telah melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa selama perang saudara pada 2009, ketika dia menjabat menteri pertahanan.”
Menurut organisasi itu, dugaan kejahatan perang oleh bekas perwira militer itu "mewajibkan presekusi domestik di Singapura di bawah yurisdiksi universal.”
Gotabaya memasuki arena politik ketika Mahinda menjadi presiden pada 2005. Dia diberikan jabatan menteri pertahanan untuk menuntaskan pemberontakan Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE), di timur dan utara Sri Lanka.
Setelah 26 tahun bertempur, Tamil Eelam akhirnya bubar pada 2009 menyusul operasi militer besar-besaran oleh pemerintah. Sebuah panel PBB melaporkan setidaknya 40.000 warga sipil Tamil tewas selama bulan-bulan terakhir perang saudara.
Bagi mayoritas Sinhala, Gotabaya dianggap sebagai pahlawan perang. Namun pegiat HAM menuduhnya menggunakan taktik brutal, yakni pembunuhan berencana, penyiksaan dan penghilangan paksa terhadap warga sipil.
"Aduan terhadap Gotabaya mengakui kejahatan Gotabaya bukan cuma korupsi dan malpraktik ekonomi, tetapi juga pertanggungjawaban terhadap tindak kriminal massal terhadap kemanusiaan,” tulis Truth and Justice Project.
Secara keseluruhan, perang saudara di Sri Lanka menelan setidaknya 100.000 korban jiwa, menurut sebuah estimasi konservatif. PBB meyakini angka kematian sebenarnya jauh lebih tinggi.
Ketika mencalonkan diri sebagai presiden 2019 lalu, Gotabaya mengritik pemerintah lama Sri Lanka karena dianggap "mempreteli" jejaring intelijen yang dia bangun selama perang saudara.
"Mereka hanya bicara soal rekonsiliasi etnis, lalu mereka bicara soal isu HAM," katanya kepada Reuters usai mengumumkan pencalonan, tidak lama setelah bom paskah 2019 yang menewaskan 250 orang. "Mereka tidak memprioritaskan keamanan nasional."
rzn/hp (rtr,afp)