1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikInggris

Siapa Liz Truss, Perdana Menteri Baru Inggris?

6 September 2022

Di masa kecil, Liz Truss rajin memprotes pemerintahan konservatif Inggris. Kini, dia dipilih menjadi ketua umum Partai Konservatif dan perdana menteri Inggris. Siapa tokoh yang dianggap sebagai pewaris Thatcher itu?

https://p.dw.com/p/4GRBY
Lizz Truss, Perdana Menteri Inggris
Lizz Truss, Perdana Menteri InggrisFoto: Hannah McKay/REUTERS

Liz Truss, Menteri Luar Negeri Inggris, dipilih sebagai ketua umum Partai Konservatif dan sekaligus perdana menteri, untuk menggantikan Boris Johnson yang lengser diterpa skandal. Dia mengungguli pesaingnya, Rishi Sunak, dengan perolehan suara 57 melawan 43 persen.

Hasil kontestasi internal itu menempatkan Truss sebagai perempuan ketiga yang pernah memimpin Inggris, setelah Thatcher antara 1979-1990 dan Theresa May, yang menjabat antara 2016 dan 2019.

Dia mampu meyakinkan anggota Partai Konservatif lewat pengurangan pajak dan dukungan total terhadap Ukraina dalam perang melawan Rusia. Truss berjanji mendorong kerja sama antara negara-negara demokratis di bawah "jejaring kebebasan"

Bagi oposisi, kebijakan konservatif yang akan diajukan Truss tidak akan membantu Inggris menanggulangi krisis ekonomi akibat pandemi dan Brexit.

Meski begitu, Mark Littlewood, seorang tokoh liberal yang berteman dengan Truss sejak lama, meyakini sang pemimpin baru berpandangan lebih moderat ketimbang "kaum konservatif radikal," yang serupa Thatcher, "ingin mengakhiri campur tangan negara," yakni pemberian subsidi atau bantuan sosial lainnya.

"Saya memprediksi akan banyak petasan dan kontroversi, tapi juga banyak tindakan," kata dia.

Tokoh kanan berwatak kiri?

Lahir di Oxford, tahun 1975, Mary Elizabeth Truss, besar di keluarga kiri yang dikenal degan sikap anti-nuklir dan anti-Thatcher. Di masa kecil, dia berulangkali mengikuti demonstrasi menentang perdana menteri perempuan yang tegas memangkas bantuan sosial itu. Ketika berpidato 2018 silam, Truss mengaku ideologi politiknya baru terbentuk kemudian, ketika dia mulai berdebat dengan orang tuanya yang sosialis di dalam keluarga yang beraliran kiri.

Ironisnya, latar belakang tersebut yang antara lain membuka jalannya menuju Downing Street 10. Karena berbeda dengan tokoh politik lain yang kebanyakan berasal dari sekolah elit berbiaya selangit, Truss mengenyam pendidikan di sekolah umum.

Truss kemudian melanjutkan studinya di Universitas Oxford, di mana dia belajar Ilmu Filsafat, Politik dan Ekonomi. Selama itu dia terlibat aktif berkampanye untuk Partai Liberal Demokrat yang berhaluan tengah. Truss antara lain pernah berdemonstrasi menuntut "legalisasi ganja" dan dekriminalisasi pengguna marijuana. Dia bahkan pernah mewacanakan pembubaran kerajaan Inggris.

Littlewood, yang berteman dengan Truss selama di Oxford, mengingat betapa dia "keras kepala, berdeterminasi tinggi dan vokal. Anda tidak akan bingung menebak posisinya dalam banyak isu," kata dia. Baru setelah lulus dari Oxford, dia bergabung dengan Partai Konservatif, sebuah keputusan yang menurutnya "tidak populer" di masa itu.

Politik bermata dua

Truss sempat bekerja untuk raksasa minyak Belanda, Shell, dan sejumlah perusahaan lain sebelum berkecimpung di politik. Di masa awal, dia banyak membangun koneksi dengan kader lain yang juga berpandangan serupa Thatcher. David Laws, bekas anggota kabinet konservatif Inggris, bahkan  menyebutnya sebagai "Thatcher muda berkecepatan tinggi."

Pada 2014, Truss dipercaya menjabat Menteri Pangan dan Lingkungan. Ketika Inggris menggelar referendum Brexit dua tahun kemudian, awalnya dia mendukung keanggotaan Uni Eropa. Namun sikapnya berubah pasca referendum. Truss malah mencuat sebagai tokoh konservatif yang tidak mengenal kompromi terhadap UE.

Truss, yang diangkat oleh PM Theresa May, juga balik mendukung pesaingnya, Boris Johnson, ketika negosiasi Brexit dengan Uni Eropa menemui jalan buntu pada 2017 silam. Setelah Johnson berkuasa, Truss mendapat posisi sebagai menteri luar negeri, yang diembannya dengan berkeliling dunia meratifikasi perjanjian dagang.

Meski demikian, Uni Eropa yang berharap bahwa Truss akan mendahulukan sikap pragmatis, terpaksa kecewa ketika dia membuat legislasi yang melanggar prinsip dasar perjanjian Brexit antara UE dan Inggris. Akibatnya, Brussels kini menggugat pemerintah di London.

rzn/pkp (ap,rtr)