Serangan Kedubes Israel Bisa Lemahkan Demokratisasi Mesir
12 September 2011Minggu siang pasukan keamanan Kairo menggerebek kantor televisi Al Jazeera dan menahan sejumlah staf. Ini bukan hal biasa sejak bergulirnya revolusi musim semi Arab awal tahun ini, berbeda dengan pada masa kekuasaan Husni Mubarrak.
Ketika itu, Al Jazeera seperti sejumlah siaran televisi non-pemerintah rawan ditutup. Menghadapi intimidasi baru, media Qatar ini menuding pemerintah Mesir berusaha menutup-nutupi insiden kedutaan Israel yang diliputnya secara langsung.
Kesepakatan damai yang kontroversial
Malam Sabtu, dinding gedung kedubes Israel dipanjat oleh sekitar 30 demonstran di Kairo. Warga yang berunjukrasa jauh lebih banyak, murka membara atas kematian tentara perbatasan Mesir di tangan tentara Israel.
Di Kairo, para demonstran merobek bendera Israel menggantikannya dengan bendera Mesir, menghempaskan dokumen-dokumen kedutaan yang ditemukan keluar jendela. Sementara di dekat deretan mobil yang terbakar, ratusan warga bergerombol dan bersorak menyambut hujan dokumen dan kertas dalam bahasa Ibrani.
Malam itu juga, Dubes Israel dan keluarganya diangkut helikopter Israel meninggalkan Kairo. Pemerintah Mesir kontan ditelepon oleh Israel dan Amerika Serikat yang mengimbau negara itu agar melindungi kedutaan tersebut dan menghormati kesepakatan damai 1979 yang kontroversial.
Pun pemerintah Mesir segera berjanji akan meningkatkan keamanan di kedutaan dan menangkap pelaku serangan. Tampaknya, kesepakatan damai kedua negara masih dipertahankan, meskipun suara yang menentangnya di Mesir semakin lantang. Ada sejumlah kelompok Mesir yang menolak kemitraan dengan Israel.
Menghidupkan kembali taktik lama dihidupkan lagi
Sementara itu di Mesir, banyak warga kuatir menghadapi perkembangan terakhir. Meski Husni Mubarrak berhasil digulingkan 11 Februari tahun ini, banyak yang merasa sistem kekuasaannya masih bercokol. Disamping itu, sweeping terhadap perusuh anti Israel akhir pekan lalu, bisa menggerogoti kebebasan politik yang berhasil dicapai setelah “revolusi musim semi” di Mesir. Apalagi para pejabat mengatakan akan kembali menggalakkan undang-undang darurat yang sejak 1981 menopang kekuasaan Mubarak. Diawali dengan pengolahan kasus terhadap para demonstran anti Israel.
Pakar politik, Emad Gad dari Pusat Studi politik dan Strategis Al Ahram mengatakan, pemindahan tahanan ke pengadilan keamanan negara merupakan kali pertama setelah revolusi terakhir. Ia menduga, para jenderal yang berkuasa menggunakan peluang ini untuk mengukuhkan kekuasaan mereka. Ia bukan satu-satunya yang menilai adanya upaya menggunakan taktik-taktik lama untuk mengintimidasi pihak yang oleh penguasa dianggap sebagai oposisi.
Partai-partai oposisi dan kalangan aktivis Mesir telah menjauhkan diri dari tindak kekerasan di kedutaan Israel, menyebutnya sebagai pencemaran cita-cita revolusi.Di pihak lain, bangkitnya lagi pengadilan berazaskan undang-undang darurat merupakan hal yang mereka kuatirkan. Kini sejumlah demonstran mulai melancarkan protes di lapangan Tahrir, menuntut penghapusan segera undang-undang tersebut.
rtr/ape/Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk