Semburan Dusta, Lapar Kuasa
9 Februari 2019Itu artinya tujuan sang penyebar telah tercapai, karena penyebaran hoaks itu tujuannya bukan untuk dipercaya, tapi untuk membingungkan masyarakat percaya mana yang benar, mana yang hoaks. Bahkan kini mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris pun sudah tahu apa arti "hoax", istilah yang hampir sepopuler "Google", "email" dan ... "which is", yaitu "berita bohong", yang lebih singkatnya bisa juga disebut fitnah.
Penyebaran fitnah dalam kampanye Donald Trump dan Jair Bolsonaro di Brazil terbukti ampuh memenangkan mereka. Strateginya adalah dengan "Firehose of Falsehood" (FoF) atau terjemahan Budiman Sudjatmiko yaitu "Semburan Dusta", dengan mengambil prinsip dasar strategi propaganda Goebbels: "Jika anda mengulang kebohongan terus menerus, orang-orang akan percaya, dan bahkan anda juga akan mempercayainya". Strategi ini digabung dengan 2 metode lain, yaitu "playing victim" (meminta kasihan karena menempatkan diri menjadi korban) dan "menyebar ketakutan".
Hoaks paling populer
FoF telah mengembangkan prinsip Goebbels jauh lebih canggih. Kini hoaks harus dilancarkan secara agresif dan dengan frekuensi yang tinggi, dengan tema yang berbeda-beda untuk bisa efektif. Saat ini di Indonesia sudah banyak tema fitnah, tapi yang paling populer antara lain adalah bahwa Jokowi adalah anggota PKI, keturunan Cina, bukan Islam, menjual aset negara dsb. Kenyataannya PKI bubar tahun 1965 sewaktu Jokowi berusia 4 tahun, keluarga Jokowi Islam, Jokowi selalu sholat dan bisa mengaji bahkan menerima tantangan Ikatan Dai Aceh (sudah tradisi bahwa pemimpin di Aceh harus bisa mengaji dengan fasih), Jokowi mengembalikan 51% saham Freeport ke Indonesia.
Tapi, di antara fitnah dan kenyataan ini manakah yang benar, manakah yang mau dipercaya oleh kebanyakan orang yang tidak dapat (atau malas) mengecek kebenarannya?
Mungkin mereka yang percaya fitnah kita anggap bodoh, tapi justru itu letak kekuatan penyebaran fitnah. Kebodohan adalah kekuatan yang lebih tangguh, apalagi dalam jumlah yang besar. Anda mungkin sering menang dalam berdebat dengan orang pintar, tapi coba saja berdebat dengan orang bodoh. Anda pasti kalah.
Ow, ow …kamu ketahuan
Strategi ini kelihatannya sangat "kuno", karena saat ini sudah ada internet dimana setiap orang bisa mengecek kebenaran suatu berita. Tapi, apakah semua orang memang mau mengeceknya?
Belum tentu. Apalagi akan sangat sulit mengecek kebenaran berita yang simpang siur, dengan berbagai versi.
Tapi apa yang harus dilakukan sang pembohong saat kebohongannya ketahuan? Kita mengambil contoh metode Trump. Ia akan mengakuinya, tapi di saat itu juga itu Trump menuduh lawan bahwa lawan juga pembohong. Ini terjadi misalnya saat kampanye awal di konvensi partai Republikan.
Trump justru memanggil lawan tangguhnya, Ted Cruz, sebagai "Lyin' Ted". Ia juga berkali-kali menjuluki "Crooked Hillary" (Hillary yang bengkok/tidak jujur). Tujuannya adalah menunjukkan ke publik bahwa semua orang juga berbohong. Trump juga akhirnya mengakui bahwa Obama lahir di Amerika Serikat, setelah sebelumnya ia terus melakukan fitnah bahwa Obama lahir di Kenya. Ini menunjukkan bahwa Trump dan kubunya meminta maaf jika memang ketahuan, tapi kubu lawan tidak pernah meminta maaf.
Masalahnya, kubu lawan itu tidak menyebarkan fitnah, jadi mau maaf untuk apa? Tapi dengan strategi ini Trump kelihatan "manusiawi" dibandingkan kubu lawannya yang selalu memegang teguh pendapatnya (yang memang adalah fakta), dan itu akan menyentuh hati banyak orang.
Data dan fakta terbukti tidak sepenting opini, dan kalau rakyat sudah bisa diambil hatinya, mereka akan secara buta mengikuti opini orang yang mereka jadikan panutan, lepas dari benar atau salahnya opini tersebut.
Apakah pemimpin pengguna FoF ini yang akan kita pilih? Atau pemimpin yang kerja nyata sekuat tenaga, meskipun difitnah sedemikian rupa? Bagaimanapun, jika sang pembohong nantinya menang dengan strategi FoF, ia akan memerintah sebuah negara yang rakyatnya terpecah-belah dan bingung.
Barack Obama mengatakan "Kalau anda mendapatkan kekuasaan dengan cara memecah-belah, anda akan kesulitan nantinya untuk menyatukan mereka". Tapi tentu saja kalau seseorang mendapatkan kekuasaan dengan cara begini, mereka tidak akan peduli lagidengan rakyat dan bangsa. Justru semakin bingung rakyat tersebut, semakin mudah untuk dieksploitasi, diperdaya dan diarahkan untuk melakukan tindakan apapun, termasuk anarki dan pemberontakan.
Eksperimen lewat musik
Sebetulnya sulit buat saya menerangkan soal hoaks dan dampaknya lewat kata-kata. Itu sebabnya saya mencobanya lewat musik. Karya saya ini saya tulis tahun 2018, bagian ke-2 dari Concerto Marzukiana no. 2 untuk biola solo & orkes, menggunakan melodi "Halo-halo Bandung" untuk motifnya, tapi, terinspirasi oleh FoF, saya pelintir puluhan kali, sehingga sewaktu melodi asalnya akhirnya saya tampilkan secara telanjang, pendengar sudah tidak mengenalinya lagi.
Sedangkan bagi pendengar yang belum pernah mendengar lagu aslinya, ia akan sulit mendeteksi lagu tersebut sebetulnya bagaimana bunyinya. Semoga dengan mendengarkannya, Anda bisa merasakan dampak hoaks ke otak kita.
Simak Ananda Sukarlan :
@anandasukarlan
Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log , dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis pendapat anda di kolom komentar di bawah ini.