Sejarah Piala Dunia dan Nasib Nona-nona Gila Bola
3 Juli 2018Sore itu sebelum langit gelap saya bergegas memacu kendaraan menuju pusat kota Jakarta. Teman futsal saya, seorang wartawan olahraga telah menunggu saya di sebuah restoran Amerika. Kami berniat untuk menonton pertandingan Piala Dunia, tim sepakbola Jepang melawan Kolombia dalam babak penyisihan grup H pada pukul 7 malam waktu Indonesia Bagian Barat.
Lima belas menit sebelum pertandingan di mulai, layar proyektor sudah terkembang, bapak-bapak dengan istri dan keluarganya, sepasang muda-mudi dan sekumpulan kawan termasuk saya dan teman saya sudah duduk manis menanti pertandingan mulai. Tidak hanya restoran Amerika ini yang memberikan pelayanan nonton bareng laga pertandingan sepakbola internasional empat tahunan ini, hampir seluruh wilayah Indonesia juga mengadakan nonton bersama.
Beberapa hal menjadi alasan banyak orang menggemari sepak bola, berbagai alasan dikemukakan mulai dari permainan olahraga yang paling tidak bisa diprediksi, olahraga yang penuh keberuntungan, olahraga yang mudah dimainkan dan tidak perlu lapangan khusus dan sebagainya. Penyelenggaraan Piala Dunia, berjalan bersamaan dengan sekelumit peristiwa sejarah dan cerita dari pada manusia-manusia di dalamnya.
Sepakbola dalam Sejarah Dunia
Permainan sepak bola erat kaitannya dengan perkembangan sejarah dunia. Dalam hal adaptasi teknologi saja, seperti dilansir dari laman fifa.com bahwa turnamen Piala Dunia yang berlangsung di Rusia hari ini sudah beradaptasi dengan teknologi mutakhir seperti garis gawang sehingga bergulirnya si bundar ini bisa dilacak apabila dia telah atau belum melewati garis-garis batas gawang. Teknologi pendukung lainnya seperti rekaman dapat memutar ulang berbagai kejadian.
Sepanjang kami menyaksikan pertandingan, Wulan Kusuma Wardhani, kawan saya -wartawan olahraga itu - menjelaskan kepada saya tentang permainan ini. Dia mengatakan bahwa penggunaan teknologi mutakhir yang diadaptasi dalam permainan sepak bola juga menimbulkan pro-kontra dari para penggemar. Pertama kontra yang tidak menyetujui kemajuan teknologi dalam permainan sepakbola karena dianggap telah mengurangi sifat ‘manusiawi' dalam permainan. Dan kelompok pro yang menyatakan setuju karena membantu kerja wasit dan permainan yang lebih adil.
Federasi sepak bola internasional pun lekat dengan peristiwa-peristiwa politik dunia. Permainan ini masuk ke Indonesia diperkenalkan oleh kolonial Belanda dan sebelum berdirinya Indonesia, asosiasi dan klub sepak bola di Hindia Belanda/Indonesia tersegregasi berdasarkan ras: klub pemain kulit putih, Tionghoa dan pribumi sebagai implikasi dari aturan segregasi kolonial.
Sebelum federasi internasional FIFA (The Fédération Internationale de Football Association) mendominasi turnamen sepak bola internasional, masing-masing negara biasanya memilik tata aturan main yang khas, misalnya istilah-istilah permainan sepak bola di Hindia Belanda-Indonesia dpengaruhi oleh bahasa Belanda. Kini, aturan permainan mengacu pada FIFA yang menggunakan aturan main sepak bola khas British/Inggris.
Apabila peserta turnamen Piala Dunia pada awal penyelengaraan turnamen internasional FIFA pada tahun 1930 sangat sedikit dan terlunta-lunta akibat depresi ekonomi Eropa dan banyaknya negara-negara Eropa yang masih bersitegang pasca perang dunia pertama, setelah perang dunia kedua berakhir dan banyaknya negara-negara yang lepas dari penjajahan membuat FIFA menyesuaikan diri menambah jumlah negara yang hendak berpartisipasi. Negara-negara baru tersebut sadar bahwa bergabung dalam turnamen sepak bola internasional juga berguna untuk pengakuan de Yure seperti yang dilakukan Kroasia, Argentina hingga negara-negara Afrika.
Peristiwa politik dunia juga menyemarakkan panasnya Piala Dunia. Pada turnamen tahun 1998 misalnya, piala dunia sempat mengalihkan luka bangsa Indonesia dari tragedi kerusuhan dan perkosaan massal perempuan tionghoa pada mei 1998 gara-gara pertandingan fenomenal antara Amerika Serikat melawan Iran.
Iran yang di bawah pemerintahan Ayatullah Khomeini melakukan revolusi pada tahun 1979 menentang Amerika Serikat dibalas melalui embargo ekonomi oleh negara pemenang perang dunia kedua ini. Perseteruan dua negara dalam panggung politik dunia tidak berlaku di lapangan hijau, para pemain Amerika Serikat dan Iran bersalaman dan tim Iran bahkan memberi mawar putih sebagai lambang perdamaian. Setelah pertandingan, kedua negara tetap berseteru dan bangsa kita kembali harus saling mengingatkan tentang penyebab luka-lukanya.
Nasib Penggemar Perempuan di Negara Islam
Tidak semua perempuan penggemar sepak bola seberuntung Wulan yang bisa berkali-kali menonton sepak bola di stadion. Beberapa negara melakukan diskriminasi gender terkait menonton sepakbola dan pertandingan olahraga lainnya.
Arab Saudi baru-baru ini saja mencabut larangan perempuan masuk stadion untuk menonton pertandingan olahraga setelah peraturan tersebut bercokol lebih dari 30 tahun lamanya terhitung sejak 1980. Setali tiga uang dengan saudaranya yang beraliran Sunni, negara Iran pada pertandingan Piala Dunia melawan Maroko pada Jumat , 15 Juni lalu kampanye #OpenStadiums gencar dilakukan oleh perempuan Iran agar pemerintah mencabut larangan perempuan masuk stadium.
Selain dilarang masuk menonton sepak bola di stadium, aturan melarang perempuan menonton langsung pertandingan laki-laki berlaku juga pada pertandingan voli yang telah menjadi tontonan favorit para penduduk.
Akibat peraturan tersebut, banyak perempuan Iran masuk dengan berpenampilan seperti laki-laki dengan menggunakan wig dan kumis palsu. Pada tahun 2014, Ghoncheh Ghavami, seorang perempuan berdarah Iran-Inggris melakukan protes terhadap larangan ini namun ditangkap oleh pemerintah dan mendapat ganjaran penjara setahun sampai organisasi hak asasi manusia internasional menekan untuk Ghavami dibebaskan dan kembali ke Inggris.
Apabila perjuangan perempuan Iran kini adalah hak untuk menonton pertandingan pria seperti turnamen Piala Dunia. Nasib perempuan di Arab Saudi jauh lebih menyedihkan daripada sekedar pelarangan sepanjang 30 tahun. Sebelum Olimpiade London 2012, Arab Saudi tidak punya atlet perempuan di ajang olahraga internasional.
Melarang perempuan untuk masuk stadium terjadi pada negara Islam yang menerapkan aturan Islam. Turki sebagai negara mayoritas muslim memahami permasalahan lebih menyeluruh dengan melihat bahwa kerusuhan antar fans dilakukan oleh penggemar laki-laki, maka pada tahun 2011 dalam sebuah pertandingan sepak bola memberikan tiket menonton hanya kepada perempuan dan anak-anak di bawah usia 12 tahun untuk menonton pertandingan Fenerbahce.
Stadion Sukru Saracoglu menjadi saksi 41.000 perempuan dan anak-anak menggunakan atribut penggemar yang sama dan menyanyikan mars klub yang didukungnya. Begitu pula dengan pertandingan di Indonesia, Wulan menyatakan dia pernah datang dalam sebuah pertandingan persahabatan sendirian di tahun 2004 dan menurutnya bagi Indonesia yang juga mayoritas muslim, tidak mempermasalahkan perempuan datang menonton langsung di stadion. Menurutnya lagi bahkan ada keluarga yang membawa seluruh anggotanya untuk menonton turnamen sepak bola.
Menikmati sepakbola, adalah hak segala bangsa terbebas dari warna kulit, kelas sosial dan gendernya. Piala Dunia bergulir bersama cerita para pemain dan penggemarnya. Bersama dengan sejarah manusia, sepakbola mempunyai jalan ceritanya sendiri. Sebagai pemersatu bangsa-bangsa dalam turnamen olahraga, politik melawan kolonialisme, ajang rekreasi keluarga atau sarana gerakan sosial perempuan. Si bola bundar terus bergulir bersama kaki-kaki manusia yang terus menendangnya dan sorakan yang menyertainya.
Penulis: Nadya Karima (ap/vlz)
Essais dan pengamat masalah sosial.
@Nadyazura
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis