Sejarah Gunung Anak Krakatau
Pada 22 Desember 2018 Anak Krakatau mencatat erupsi pertama yang menelan ratusan korban jiwa. Padahal ilmuwan sempat meyakini gunung setinggi 305 meter ini belum akan mengancam dalam waktu dekat.
Krakatau Menjemput Matahari
Sekitar 47 tahun setelah gunung Krakatau meletus dan menghilang ditelan ledakan dahsyat pada 1883, bongkahan lava menyeruak ke atas permukaan laut Selat Sunda. Ia mengering dan membentuk kubah kecil. Pada tahun 1930 itu Krakatau kembali menyapa matahari. Penduduk menamainya Anak Krakatau.
Gerbang Menuju Perut Bumi
Sejak dekade 1950an, gunung api berusia muda ini tumbuh pesat, mencapai 13cm per pekan atau mencapai tujuh meter per tahun. Penyebabnya adalah geliat magma yang tak henti-henti di perut Bumi. Karena Krakatau terletak di atas zona subduksi yang ketika aktif melumerkan batuan menjadi lava. Fenomena inilah yang memompa pertumbuhan Anak Krakatau.
Erupsi Tak Henti-henti
Sejak 1950an, Anak Krakatau meletus dalam rentang satu hingga maksimal dua tahun. Hanya antara 1988-1992 dan 2001-2007 gunung api yang kini mencapai ketinggian 300an meter di atas permukaan laut tersebut membisu untuk waktu yang relatif panjang. Sejak 2015 Anak Krakatau kembali memasuki periode aktif.
Kejutan Muram di Akhir Tahun
Ilmuwan sempat meyakini Anak Krakatau hanya akan kembali mengancam jika mencapai ketinggian serupa sang ibu, yakni 800an meter di atas permukaan laut. Namun erupsi pada 22 Desember 2018 tercatat sebagai yang paling mematikan dalam sejarah Anak Krakatau.
Maut Mengintai di Pinggir Laut
Serupa seperti letusan Krakatau pada 1883, geliat vulkanik Anak Krakatau menciptakan gelombang tsunami yang menewaskan hampir 500 orang di Banten dan Lampung. Gelombang air itu tercipta ketika punggung gunung seluas 44 hektar amblas ke dalam laut. Erupsi yang terjadi secara terus menerus memicu kekhawatiran terhadap tsunami lanjutan di Selat Sunda. (rzn/ap: dari berbagai sumber)