Seakan Teror Terhadap Kaum Muslim Tak Berurusan dengan Kita
20 Maret 2019Pada minggu malam saya berdiri di depan gedung Kedutaan Besar Selandia Baru di Berlin. Selain saya, hanya dua orang lain yang menunggu di sana. Sejujurnya saya terkejut oleh serangan Christchurch dan sejak itu sering merenung. Sesuatu di dalam diri saya mencari jawaban atas sebuah pertanyaan: Kenapa simpati penduduk Jerman terhadap korban Christchurch sangat minim? Kenapa tidak ada yang menggelar aksi solidaritas secara besar-besaran?
Mungkin Menteri Dalam Negeri Horst Seehofer berkata benar, ketika mengatakan Islam bukan bagian dari Jerman. Alasan lain belum bisa saya temukan untuk menjelaskan fenomena ini.
Kaum muslim di Arab dan juga Jerman bertanya-tanya: seandainya para korban non-muslim dan tersangka pelaku beragama Islam, mungkinkah media-media akan membahas serangan teror itu secara berbeda? Kenapa sebagian menolak menyebut pelaku sebagai seorang teroris? Fenomena ini seakan mengesankan, para teroris hanya memeluk agama tertentu. Dan dalam serangan teror di Christchurch situasinya berbeda. Kaum muslim adalah korban dan bukan tersangka pelaku.
Kenapa politisi internasional tidak turun ke jalan untuk memrotes kejahatan tersebut serupa setelah serangan di Paris? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu lah yang dikirimkan pemirsa dan warganet muslim, ketika saya sedang menyiapkan siaran Shabab-Talk yang mengangkat tragedi Christchurch. Dan saya bertanya-tanya: mungkinkah kita sedang jatuh ke arah pola perilaku yang sama dengan warga Arab? Jika korban adalah non-muslim, maka aksi protes dan solidaritas tidak terlalu terlihat.
Jika pelaku teror di Christchurch adalah seorang muslim, maka Islam akan kembali diseret ke pusat perhatian dunia internasional. Tapi tersangka adalah seorang pria kulit putih, dan tidak ada kelompok agama atau etnis tertentu yang diminta bertanggungjawab. Sebaliknya sang teroris bertindak seorang diri. Jadi kapan aksi teror seorang diri merepresentasikan sebuah kelompok, kapan hal ini tidak lagi berperan?
Dalam kasus Christchurch tidak seorangpun meminta kelompok agama atau etnis tertentu mengecam tindakan tersebut. Dan pria berkulit putih tidak lantas perlu khawatir akan diperiksa dengan lebih seksama di bandar udara.
Kaum Muslim di Jerman Khawatir
Sebuah studi di Amerika Serikat menyimpulkan, media-media AS lebih banyak memberitakan sebuah serangan teror jika pelakunya muslim, meski kelompok ekstrem kanan di Amerika lebih banyak melakukan serangan. Mengenai pelaku yang beragama Islam, pemberitaan media 449 lebih banyak dibandingkan pelaku berkulit putih.
Apakah hal serupa berlaku di Jerman? Sayangnya belum ada penelitian mengenai hal ini.
Hanya dua hari berselang berita serangan Christchurch misalnya sudah menghilang dari halaman depan media-media Jerman. Baru di bagian bawah pembaca bisa menemukan informasi tambahan seputar tragedi tersebut. Di mana talkshow yang biasanya memenuhi acara televisi?
D Jerman hidup sekitar lima juta warga muslim. Jumat lalu saya mengunjungi sebuah masjid untuk menanyakan jemaah yang hadir tentang serangan teror di Selandia Baru. Kepada saya mereka mengungkapkan rasa takut. Mereka merasa tidak aman. Polisi mencatat ratusan delik kebencian terhadap kaum muslim setiap tahun. Di Dreseden sebuah bom bahkan diledakkan di sebuah masjid. Pada sembilan bulan pertama 2018 polisi mencatat 578 delik kriminal bermotif islamofobia. Pelakunya kebanyakan berasal dari kelompok ekstrem kanan.
Teror Tidak Mengenal Agama
Seorang perempuan berjilbab berkata kepada saya, "saya takut hal serupa terjadi di Jerman." Dia tidak sendirian. Kita tidak boleh melupakan apa yang terjadi di gedung pengadilan kota Dresden 2009 siilam, ketika seorang perempuan muslim asal Mesir, Marwa Sherbini, dibunuh oleh seorang ekstrim kanan dengan senjata tajam.
Masjid yang saya kunjungi masih dipantau oleh dinas rahasia. Dan di sinilah lingkaran setan menemukan wujudnya. Saya selalu mendengar betapa kaum muslim sendiri yang salah, bahwa Islam menyimpan ancaman, mendukung penindasan dan tidak sesuai dengan Demokrasi. Saya adalah orang pertama yang menyuarakan agar semua orang bisa mengritik Islam, tapi korban-korban muslim di Christchurch membutuhkan simpati kita. Seharusnya kita bisa membeda-bedakan.
Jemaah masjid Al-Nur di Christchurch dibunuh ketika sedang beribadah. Mereka tidak berdosa. Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Hal ini tercantum di setiap konstitusi negara barat. Kita harus bisa membedakan antara kritik terhadap Islam dan Islamofobia. Karena kaum muslim di sini tidak mepresentasikan Islam yang ekstrim dan radikal, serupa seperti warga Eropa tidak mewakili pandangan ekstrim kanan pelaku serangan teror di Christchurch.
Saya masih mencari penjelasan: Mungkin juga bahwa Selandia Baru terlalu jauh dan sebab itu kita tidak bisa meletakkan diri pada sudut pandang korban. Mungkinkah situasinya berbeda jika serangan itu terjadi di Jerman atau Eropa, karena kita mendefinisikan diri sebagai warga Jerman atau Eropa? Tapi manusia tetap manusia di manapun dia berada, terlepas dari agama, warna kulit atau etnis.
Memang patut dikhawatirkan bahwa suatu saat seorang muslim ekstremis akan kembali melancarkan serangan teror. Pun pada saat itu kita harus menunjukkan solidaritas. Teror tidak mengenal agama.
Jaafar Abdul Karim, 37, adalah moderator program talkshow untuk pemuda Arab, ShababTalk, yang diproduksi Deutsche Welle. Dia berasal dari Liberia dan dibesarkan di Swiss. Jaafar mengenyam pendidikan di Dresden, Lyon, London dan Berlin.