Safron sebagai Pengganti Opium
16 Oktober 2012Dulu Haji Akbar masih menanam papaver (candu). Itu dulu menghasilkan, tapi ia sering mendapat masalah dengan pemerintah Afghanistan. Berkali-kali dijelaskan Haji Akbar, ia harus meninggalkan tempat tinggalnya dan pindah dari satu provinsi ke provinsi lainnya. Tapi sejak 15 tahun lalu ia beralih menanam safron, Haji Akbar ibaratnya seorang pahlawan Afghanistan. Kini nama tambahan Haji Akbar adalah „Bapak Safron“ dan untuk aktivitasnya itu ia bahkan memperoleh medali penghargaan yang diberikan langsung oleh Presiden Hamid Karzai.
Mantan petani candu itu mengenal safron tahun 1998, ketika ia menjadi pengungsi di provinsi Herat di Afghanistan Barat. Menanam safron dipelajarinya ketika bekerja sebagi buruh musiman di negara tetangga Iran. Sejak itu kehidupannya berubah secara mendasar. Kini Akbar adalah seorang pemilik tanah dan memiliki perusahaan pemasaran sendiri. Dalam pembicaraan dengan DW dengan bangga ia menjelaskan, bahwa tanpa beralih menanam safron, hal itu tidak akan mungkin terjadi. Rempah-rempah langka tersebut membuatnya menjadi sedemikian kaya, sehingga ia mampu naik haji ke Mekkah, membiayai berbagai pesta pernikahan anak-anaknya dan membeli sejumlah tanah yang luasnya hektaran.
Lebih Mahal dari Opium
Pemerintah Afghanistan melihat safron sebagai alternatif yang jauh lebih menjanjikan dibanding menanam candu. Karena harga safron jauh lebih tinggi daripada opium. Selain itu iklim Afghanistan memenuhi syarat untuk membudidayakan safron. Saat ini pemerintah mendukung proyek percontohan guna membantu petani di kawasan selatan dan barat negara itu dalam beralih dari petani candu menjadi petani safron.
Zabihullah Dayem, penasihat hubungan masyarakat kementerian Afghanistan untuk memerangi narkoba menjelaskan, bahwa melalui proyek ini produksi opium di sejumlah provinsi sudah dapat ditekan. Tapi meski demikian, Afghanistan masih menghasilkan 90 persen produksi opium dunia. Masalahnya tidak hanya di bidang bisnis obat bius, melainkan juga bahwa uang hasil opium dipakai untuk membiayai militan Islam.
Diperlukan Kesabaran
Tampaknya penjelasan itu menjanjikan, tapi apakah safron benar-benar dapat menjadi alternatif bagi penanaman opium? Jalil Ahmad adalah pembeli safron di Provinsi Herat. Ia menjelaskan bahwa petani yang ingin beralih menanam safron terutama perlu kesabaran. „Jika seorang petani menanami lahan seluas 2.000 meter persegi dengan safron, maka pada tahun pertama ia baru dapat memanen sebanyak 300 gram“, dijelaskan pedagang tersebut. „Pada tahun kedua, panen sudah mencapai 500 gram, dan setelah empat tahun bisa mencapai 4 kilogram.“
Tapi tidak semua provinsi di Afghanistan cocok untuk menanam safron. Sardar Khan, seorang petani di provinsi Lagham di timur Afghanistan, setelah satu tahun kembali menanam candu. Safron yang ditanamnya memiliki kualitas sedemikian buruk, sehingga ia hanya dapat menjualnya dengan harga amat rendah. Dan itu membuat kesal para petani. “Pemerintah menjanjikan untuk membantu kami secara finansial dalam beralih menanam safron,”
Demikian ia mengungkap kekesalannya. „Tapi kemudian mereka menarik kembali omongan mereka. Mereka benar-benar hanya menipu kami!“ Kini di ladang Khan kembali tumbuh tanaman candu. Dikatakan Khan, pembeli opium lebih dapat dipercaya. „Mereka mengatakan kami sejak awal, bahwa mereka akan membeli semua. Jika kami mengalami kesulitan uang, maka mereka memberi panjar kepada kami dan mengatakan: Bayarlah kembali setelah kalian mendapat panen!“
Petani-petani yang menanam opium pada lahan seluas 2.000 meter persegi, bisa mendapat hasil panen senilai antara 2.500 sampai 4.000 dollar AS. Sementara untuk safron di lahan yang sama dapat memberi hasil sampai 6.000 dollar AS. Itu kedengarannya harga yang bagus. Tapi bagi petani seperti Sardar Khan, pemerintah Afghanistan butuh kesabaran panjang untuk kembali meyakinkan agar memilih alternatif tanaman safron. Khan sendiri sudah mengalami kerugian besar, justru karena ia amat mempercayai pejabat pemerintah setempat.
Masud Saifullah/Dyan Kosterman
Redaksi: Andy Budiman