Restoran Para Tuna Rungu di Gaza
4 Desember 2012Sebuah pandangan, gerakan isyarat tangan dan selalu tersenyum. Hampir tanpa istirahat manajer restoran Ayat Moteer berkomunikasi dengan pekerjanya. Di restoran Atfaluna yang baru dibuka beberapa pekan lalu di Gaza City, semua saling berkomunikasi dengan bahasa isyarat bagi tuna rungu.
Perempuan muda warga Palestina Ayat Moteer dan timnya yang terdiri dari 12 orang adalah tuna rungu. Restoran yang baru dibuka itu adalah tantangan bagi para tuna rungu yang baru untuk pertama kalinya bekerja di dunia orang yang bisa mendengar.
"Saya benar-benar bahagia. Sebuah impian menjadi kenyataan. Ini adalah restoran semacam ini yang pertama di Gaza, yang dijalankan sendiri oleh para penyandang tuna rungu muda seperti kami," demikian dituturkan perempuan Palestina berusia 29 tahun itu dengan bersemangat dalam bahasa tuna rungu.
"Saya harap restoran ini membantu orang-orang yang tidak bisa mendengar berintegrasi lebih baik dalam masyarakat," ujar Moteer. "Masih banyak kendalanya." Perempuan muda Palestina itu tahu benar apa yang dikatakannya. Sejak kecelakaan menunggang kuda waktu masih kecil, ia menjadi tuna rungu.
Prasangka Terhadap Tuna Rungu
Sekitar 1 persen dari 1,6 juta penduduk di Jalur Gaza dinilai sebagai tuna rungu. "20 tahun lalu pandangan terhadap tuna rungu di Jalur Gaza masih amat negatif," dijelaskan Sharhabeel Al Za'eem, ketua Perhimpunan-Atfaluna yang memiliki restoran tersebut.
"Banyak yang menyangka, bahwa tuna rungu juga mengalami cacat mental. Tapi melalui kehadiran kami dan upaya penjelaskan yang terus menerus, kami dapat mengubah gambaran itu secara perlahan." Organisasi yang ditunjang yayasan swasta Atfaluna yang artinya "Anak-anak Kita" menawarkan para tuna rungu antara lain pendidikan sekolah yang mereka perlukan dan pendidikan kerja praktis. Selain itu diberikan jasa bantuan sosial dan kursus bahasa bagi tuna rungu dalam Bahasa Palestina bagi anggota keluarga.
Restoran itu kini merupakan proyek terbaru. Untuk itu para tuna rungu muda selama enam bulan belajar secara intensif teori dan praktek. Di dapur milik sang pelatih suasananya penuh konsentrasi, hanya terdengar suara tutup panci yang diseling diskusi bisnis dalam bahasa isyarat tuna rungu dan suara tawa.
Pelajaran yang sedang diberikan menyangkut desserts. Brownies, Crepes Suzette atau Sahlab, penganan khas Palestina. Maissa Omar, seorang perempuan muda memakai topi koki bewarna putih di atas kerudungnya dan mengaduk dengan sabar adonan coklat untuk Brownies. Baginya restoran itu benar-benar sebuah peluang untuk mempelajari sebuah profesi, kata perempuan berusia 19 tahun itu. "Pada awalnya saya agak ragu, apakah saya bisa melakukannya. Tapi saya pikir, saya akan mampu untuk itu," kata Maissa Omar.
Membaca Bibir dan Bahasa Isyarat Tuna Rungu
Bagi para koki muda yang dididik di sini, itu juga merupakan peluang untuk menemukan pekerjaan di tengah krisis di pasar tenaga kerja. Hampir 50 persen warga muda di Jalur Gaza pengangguran. Dan sebagai tuna rungu ditambah lagi prasangka, apakah mereka mampu bekerja di dunia orang non tuna rungu.
"Ya, memang ada hambatan ketakutan bekerja dengan orang-orang yang bisa berbicara dan mendengar," dijelaskan peserta latihan memasak Omar Al Rantisi. Tapi pendidikan itu cukup memberinya rasa percaya diri untuk mencobanya.
Di restoran baru hampir tidak terasa adanya ketidakyakinan. Pada waktu makan siang Atfaluna dipenuhi pengunjung. Di sebuah meja sekelompok perempuan muda berbicara dengan semangat dalam bahasa isyarat. Di meja lain berlangsung makan siang terkait urusan bisnis.
Siapa yang tidak menguasai bahasa isyarat bagi tuna rungu, menunjuk pada menu yang ingin dipesannya. Belal Al Man'ama mencatat pesanan, termasuk pesanan ekstra. "Keuntungan kami adalah dimana kami belajar berkonsentrasi, terutama jika menghadapi orang yang dapat mendengar. Itu merupakan keuntungan, jika menyangkut melayani pengunjung," kata pria berusia 22 tahun dan bergegas kembali ke dapur untuk menyerahkan pesanan tersebut.
Kehidupan Sehari-hari Yang Sulit di Gaza
Baru saja ujian pertama terlewati, tidak lama setelah pembukaan restoran, militer Israel melancarkan serangan militer 8 hari terhadap kelompok Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza. Restoran itu harus ditutup. Bagi tuna rungu, serangan udara terutama kondisi yang amat sulit bagi mereka.
"Mereka sering kali kurang cepat menyadari jika sebuah jet tempur mendekat, dan tiba-tiba mereka merasakan getaran akibat serangan itu." Kata ketua Atfaluna Sharhabell al Za'eem. "Pada anak-anak kecil itu menjadi trauma, mereka tidak bisa mengerti apa yang terjadi."
Kekerasan dan bentrokan militer di Jalur Gaza hampir menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Untuk selanjutnya kembali ke kehidupan normal bukan hal yang mudah. Tapi justru karena itu menjadi demikian penting menciptakan perspektif, demikian pendapat pelayan Belal El Man'ama. Ia sudah lulus sejumlah bidang pelatihan. Kini ia memiliki peluang memperolah penghasilan pertamanya. "Kami hidup dari restoran ini dan oleh karena itu kami memberikan yang terbaik. Kami amat berharap, kami dapat mencapai sukses."