1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Rencana Turki gabung BRICS: Siasat Mempercepat Aksesi UE?

20 September 2024

Benarkah Turki berniat menjauhi Uni Eropa dengan mendaftar jadi anggota BRICS? Para ahli mengatakan bisa jadi, atau bisa juga tidak.

https://p.dw.com/p/4kuF9
Presiden Turki dan istrinya melambaikan tangan dari pesawat
Para pengamat di Brussels tidak yakin apakah dengan melamar BRICS, Turki tidak lagi tertarik ke Uni EropaFoto: Gokhan Balci/AA/picture alliance

Turki secara resmi mengajukan permohonan untuk bergabung dengan BRICS, organisasi negara-negara ekonomi berkembang di dunia. BRICS awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, tapi kini sebagian besar didominasi oleh Moskow dan Beijing.

Omer Celik, juru bicara dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) partai Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, mengonfirmasi hal ini dan mengatakan permintaan tersebut "tertunda."

"Presiden kami telah menyatakan beberapa kali bahwa kami ingin menjadi anggota BRICS," ujar Omar Celik pada awal September. Presiden Rusia Vladimir Putin menyambut aspirasi Turki, menurut laporan media Turki, dan mengatakan ia akan "sepenuhnya mendukung" keanggotaan Turki.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Jika benar-benar jadi anggota BRICS, yang sering digambarkan sebagai penyeimbang tatanan global yang dipimpin Barat, Turki dapat semakin menjauh dari keanggotaan Uni Eropa (UE) dan sejumlah keuntungan yang ditawarkannya.

Turki ingin gabung UE sejak 2005

"Kami mengharapkan semua negara kandidat UE untuk mendukung nilai-nilai UE dengan tegas, guna menghormati kewajiban yang berasal dari perjanjian perdagangan yang relevan, dan agar selaras dengan Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama UE," kata Peter Stano, juru bicara layanan diplomatik UE. kepada DW.

Beberapa pihak melihat tujuan Turki untuk bergabung dengan kelompok BRICS sebagai reaksi terhadap lambatnya kemajuan dalam perundingan aksesi UE.

Dalam laporan tahunan 2023, anggota parlemen Eropa menyimpulkan, "tingkat keselarasan Turki dengan kebijakan luar negeri dan keamanan bersama UE telah merosot ke titik terendah sepanjang masa yaitu 7%, menjadikannya yang terendah dari semua negara yang ikut serta dalam agenda perluasan."

Nacho Sanchez Amor, anggota parlemen dari kelompok Sosialis dan Demokrat di Parlemen Eropa menegaskan, jalan Turki menuju UE adalah melalui reformasi. "Belakangan ini kami melihat minat baru dari pemerintah Turki dalam menghidupkan kembali proses aksesi UE," katanya dalam pernyataan 2023. 

Erdogan bertemu Ismail Haniyya dari Hamas
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu dengan Ketua Biro Politik Hamas saat itu, Ismail Haniyeh, pada April 2024 sebelum Haniyeh terbunuh pada bulan Juli.Foto: Mustafa Kamaci/Anadolu/picture alliance

"Proses ini tidak akan terjadi karena tawar-menawar geopolitik, tetapi hanya terjadi jika otoritas Turki menunjukkan minat nyata dalam menghentikan kemunduran yang terus-menerus dalam kebebasan fundamental dan supremasi hukum di negara itu."

Proses aksesi Turki dimulai pada tahun 2005, tetapi terhenti pada tahun 2018 karena beberapa masalah, termasuk kekhawatiran UE tentang pembatasan kebebasan media, kontrol eksekutif atas peradilan, dan lemahnya pengawasan sipil terhadap pasukan keamanan Turki.

Frustrasi kepada EU, Turki main mata dengan BRICS?

Ozgur Unluhisarcikli, pakar Turki di German Marshall Fund (GMF), menambahkan bahwa minat Turki terhadap BRICS adalah sinyal rasa frustrasi negara itu terhadap UE.

Turki tidak hanya marah terhadap UE karena menunda proses aksesi. Negara ini juga dinilai stagnan dalam modernisasi bea cukai atau perjanjian perdagangan, atau dalam peta jalan untuk liberalisasi visa, yang dapat membuka jalan bagi warga negara Turki untuk bepergian tanpa visa ke negara-negara Eropa. 

Sementara jumlah negara anggota BRICS telah berlipat ganda sejak dibentuk 15 tahun lalu. Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab (UEA) telah menjadi anggota dan kelompok tersebut. Saat ini, masuk pula pendaftaran untuk bergabung dari hampir 20 negara, termasuk Turki.

Para anggotanya bekerja sama dalam perdagangan dan perluasan ekonomi, serta memberikan apa yang mereka lihat sebagai penyeimbang politik lembaga-lembaga internasional yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa.

Gabung BRICS bisa jadi bumerang buat Turki

Para pakar Turki mengatakan, pendekatan Erdogan untuk bergabung dengan BRICS bisa jadi untuk mendapatkan pengaruh dalam upaya aksesi Turki ke UE.

Asli Aydintasbas, peneliti di Brookings Institute yang mengkhususkan diri pada Turki mengatakan, proses aksesi Turki ke UE "telah lama mengalami koma." Karena itu, politisi Turki mencoba untuk menghidupkannya kembali, atau merasa tidak ada salahnya bergabung dengan BRICS.

"Eropa secara efektif telah membekukan proses aksesi Turki dan berencana menendang Turki sepenuhnya keluar dari agenda perluasan, sementara negara Balkan telah bergerak maju,'' kata Aydintasbas kepada DW. Menurutnya, ini adalah cara Turki membuat Barat cemburu dan upaya meraih perhatian mereka. 

EU butuh Turki, tapi tidak percaya

Serangkaian kebijakan luar negeri dan keamanan Turki tidak disambut baik oleh negara Barat.

Turki menolak untuk mendukung sanksi terhadap Rusia, dan malah menjadi pembeli utama minyak mentah Rusia. Turki juga mendukung Hamas, kelompok militan Palestina yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh UE, Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa negara lain. 

Amerika Serikat dan sekutu NATO lainnya marah kepada Ankara, atas pembelian sistem pertahanan rudal S400 dari Rusia pada tahun 2017 dan pada 2022 ketika Turki menahan keanggotaan Swedia dan Finlandia di NATO selama dua tahun.

Namun, lokasi strategis Turki antara barat dan timur membuatnya penting bagi misi NATO dan AS di kawasan tersebut. Selain itu, Turki juga menandatangani perjanjian dengan UE pada tahun 2016 yang memungkinkan pemulangan migran ilegal yang mencapai UE.

Sebuah survei German Marshall Fund tentang hubungan Turki dengan sekutu Barat menyebutkan, "Turki adalah negara mitra yang paling tidak dapat diandalkan, menurut responden di setiap negara tempat survei dilakukan. Pada saat yang sama, responden Turki juga menganggap sulit mengandalkan sekutu.''

Alexandra von Nahmen turut berkintribusi dalam artike lini.

Diadaptasi dari artikel DW Inggris