Regulasi AI: Apa yang Bisa Dipelajari Uni Eropa dari ASEAN?
13 Februari 2024Awal Februari ini, kesepuluh negara anggota Asosiasi Negara Asia Tenggara, ASEAN, menyepakati panduan penggunaan AI yang lebih ramah bisnis, terutama jika dibandingkan regulasi di Uni Eropa. Keputusan itu sekaligus mengakhiri lobi diplomatik yang digencarkan Brussels.
Tahun lalu, diplomat-diplomat UE disebar ke belasan negara-negara di Asia, termasuk Singapura dan Filipina. Mereka ditugaskan meyakinkan negara tuan rumah untuk mengadopsi aturan Eropa yang lebih ketat, sebagaimana Brussels mewajibkan transparansi dan denda tinggi bagi perusahaan yang melanggar aturan aplikasi AI.
Kekhawatiran terbesar UE adalah daya rusak AI dalam mengancam proses demokrasi atau Hak Asasi Manusia, seperti dalam kasus kejahatan seksual. Negara-negara Asia sebelumnya sudah pernah mengadopsi aturan perlindungan data pribadi oleh UE yang menitikberatkan pada hak dasar.
Sebabnya, banyak politisi Eropa yang kini berharap panduannya terkait aplikasi AI akan dicontoh oleh negara-negara lain, termasuk ASEAN. Aturan yang lebih longgar di Asia dikhawatirkan akan melukai daya saing Eropa, seperti yang dikeluhkan dalam sebuah surat terbuka oleh 160 direktur perusahaan di UE kepada Brussels baru-baru ini.
Liberalisasi teknologi AI
Dalam panduannya, ASEAN terutama ingin menghindari regulasi yang bisa meruntuhkan kepercayaan diri pelaku bisnis dalam mengembangkan atau menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Selain ketimpangan ekonomi, perbedaan sistem politik di masing-masing negara menyulitkan ASEAN menetapkan aturan yang lebih ketat untuk melindungi HAM, menurut analis.
Adalah Singapura yang pertama kali menerbitkan Strategi Nasional Kecerdasan Buatan pada 2019, yang diperbaharui bulan Desember lalu. Pada saat yang sama, Indonesia mengumumkan sedang menggodok legislasinya sendiri terkait penggunaan AI.
Terutama negara-negara berkembang tidak ingin adanya regulasi yang ketat karena khawatir akan "membatasi inovasi atau mengusir investasi ke negara lain," kata Simon Chsterman, pakar AI di National University, Singapura.
Menurut panduan ASEAN, pemerintahan negara anggota diimbau untuk mendorong pengembangan tenaga kerja dan riset kecerdasan buatan.
"Sistem AI harus diperlakukan secara berlainan dengan sistem lunak lain karena karakteristik dan risikonya yang unik," demikian menurut buku panduan setebal 87 halaman milik ASEAN yang diterbitkan tanggal 2 Februari lalu. "Mengingat dampaknya, adalah penting bahwa keputusan yang dibuat AI juga mencerminkan nilai-nilai nasional dan korporasi, serta menghormati norma dan etika yang lebih luas."
Pendekatan lunak
Kan Min Yen, guru besar teknologi informasi di National University, Singapura, mengatakan bahwa regulasi ASEAN "tidak lebih longgar", melainkan "kurang spesifik," dibandingkan regulasi Uni Eropa.
"Asia Tenggara adalah kawasan yang sangat beragam dalam hal ekosistem digital, dibandingkan industri yang telah dewasa di UE," kata dia. "Regulasi yang ketat mungkin terlalu berat untuk ditegakkan atau diawasi oleh pemerintahan ASEAN, termasuk juga perusahaan startup atau multinasional."
Josh Lee, direktur Asia Pasifik di lembaga riset Future of Privacy Forum, menilai kebanyakan negara ASEAN mengambil "pendekatan yang lunak dan berhati-hati dalam meregulasi AI, yakni fokus pada panduan sukarela, ketimbang hukum formal."
Menurutnya, kemampuan Brussels melobi negara Asia untuk memperketat aturan AI akan banyak bergantung pada nasib legislasi di UE sendiri. Mampukah Eropa menegakkan aturan AI tanpa melukai daya saing perusahaan teknologi?
"Pembuat kebijakan di Asia Tenggara akan memantau dengan seksama, bagaimana UU AI di UE ditegakkan dan apa dampaknya terhadap perekonomian digital Eropa," pungkasnya lagi.
rzn/hp