Public Housing, Perumahan Murah di Singapura
22 Desember 2023Suhu udara sudah 30 derajat Celsius pada jam 10 pagi. Kelembapannya mencapai 90 persen. Kami berjalan di distrik Tanjong Pagar, sebuah distrik multikultural di selatan Singapura dengan banyak restoran dan kehidupan malam yang warna-warni. Di sekitar ada rumah susun dengan 30 sampai 40 lantai.
"Pintu depan saya sebenarnya selalu terbuka,” kata Keith Ng, yang kami temui di apartemen tiga kamarnya di lantai 19, sambil menikmati secangkir teh. "Tetangga penting bagi saya – dua orang lanjut usia.” Seperti banyak penduduk Singapura, Keith Eng mengontrak apartemennya untuk jangka waktu 99 tahun. Bukan hal aneh di Singapura. Inilah sistem "public housing”.
Lebih dari 80 persen penduduk Singapura menyewa apartemen semacam itu dengan bantuan pemerintah. Sistem perumahan rakyat ini berjalan dengan baik. Di sini, orang kaya dan orang miskin hidup berdampingan.
Arsitek kompleks bertingkat tinggi ini, Pei Shyuan Yeo, juga tinggal di sini. "Pemerintah tidak ingin perumahan menjadi obyek spekulasi.” Gagasan perumahan publik yang bersubsidi adalah: Anda tinggal di apartemen dan bukan mendapatkan uang dari sana, kata Pei. Dan itulah mengapa penyewaan tempat tinggal pribadi jangka pendek melalui portal online Airbnb dilarang di Singapura. Apartemen public housing tidak diperbolehkan untuk disewakan.
Penataan sangat baik
Di mana-mana di distrik ini ada ruang hijau dan taman bunga yang indah dan terawat baik. Dan tidak ada sampah! Fasadnya baru dicat, dan kita tidak akan menemukan grafiti apa pun. Itu dilarang keras di Singapura, seperti juga membuang permen karet atau punting rokok sembarangan.
Penghuni menjemur cucian mereka di lorong panjang. Kita dapat melihat orang tua dan muda mengobrol satu sama lain. Selain apartemen, di lantai adasar ada aula pertemuan umum, supermarket, penata rambut, dan toko roti. Kita bisa membeli barang sehari-hari tanpa harus ke tempat lain.
Stasiun bus atau kereta bawah tanah terdekat berjarak tiga menit berjalan kaki. Hal ini adalah ketentuan pemerintah. Semua yang dibutuhkan harus bisa dicapai dengan berjalan kaki: sekolah, taman kanak-kanak, dan rumah sakit. "Ini juga mencakup kebijakan integrasi etnis,” kata Wong Hong Kuan dari Kementerian Pembangunan Nasional Singapura. "Kami ingin mendorong interaksi sosial dengan mencampurkan lingkungan secara etnis untuk menciptakan komunitas yang lebih beragam.”
Tionghoa, Melayu, India, dan kelompok etnis lainnya tinggal Bersama-sama. Mereka terbagi di daerah pemukiman sesuai dengan pembagian yang ditentukan negara. Jadi tidak ada pembentukan ghetto di kota metropolitan multi-etnis ini, kata Keith Ng. "Ini memperkuat kohesi sosial dan mencegah permukiman kumuh.”
Persyaratan ketat
Meskipun demikian, sistem public housing tentu belum sempurna. Pemerintah Singapura membagikan perumahan terjangkau ini berdasarkan gagasan-gagasan sosial yang sudah ketinggalan zaman.
Misalnya, hanya pasangan muda yang sudah menikah yang bisa mengajukan permohonan untuk perumahan bersubsidi. Jadi para lajang di bawah usia 35 tahun praktis tidak punya peluang mendapatkan perumahan bersubsidi. Demikian juga orang tua tunggal yang masih muda.
Meskipun public housing cukup sukses, sekarang ada tantangan baru, kata Keith Ng. Meningkatnya populasi yang menua adalah ujian bagi sistem itu. Karena orang lanjut usia punya kebutuhan lain yang perlu diperhatikan, dengan infrastruktur yang sesuai dengan usia mereka. Jadi pemerintah perlu "menciptakan apartemen bebas hambatan dan infrastruktur yang sesuai dengan usia,” jelas Keith Ng.
(hp/yf)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW? Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!