Protes Hong Kong Berakhir, Tuntutan Tetap Hidup
9 Desember 2014Perintah pembersihan kawasan pusat kota dari pendudukan kelompok occupy central atau gerakan payung di Hong Kong menjadi sorotan sejumlah harian internasional. Tirani di Beijing kini memainkan tangan besinya. Tapi para remaja pro-demokrasi di Hong Kong juga sukses dengan gerakannya dan menemukan permainan kata-kata sebagai senjata politik baru.
Harian terbesar di Hong Kong South China Morning Post berkomentar: aksi protes occupy central mungkin berakhir, tapi keluhan rakyat tidak akan sirna. Harus diakui, sekarang dukungan warga bagi gerakan occupy central mulai memudar. Setelah dua bulan yang hingar bingar, blokade pusat kota kini memasuki titik di mana harga yang harus dibayar pedagang eceran dan sektor transportasi memasuki batas rasa sakit. Gelombang sudah berbalik. Secara taktik, pendekatan pemerintah dengan mengulur waktu dan menunggu terbukti berhasil. Pemerintah pantang mundur, mahasiswa tidak akan menang. Tapi pemerintah tidak bisa menepuk dada. Pasalnya, faktor busuk yang membakar gerakan itu tetap eksis. Kini tuntutan bukan demokrasi semata, melainkan bagaimana mewujudkan pemerintahan yang baik dan masyarakat yang adil.
Harian konservatif Inggris Times dalam tajuknya menulis: Tirani Beijing menang di Hong Kong. Pemerintah di Beijing sejauh ini memang tidak pernah memerintahkan polisi bertindak brutal terhadap pemrotes, Akan tetapi, pemerintah di Hong Kong juga pantang mundur dan bertahan tidak mengabulkan tuntutan demontran bagi sebuah pemilu bebas. Kita tidak perlu heran. Karena kepala negara dan ketua partai komunis Cina, Xi Jinping menggelar doktrin baru, diplomasi adidaya dengan pengaruh Cina. Artinya, dunia Barat harus menyaksikan, sebuah politik agresif Cina di luar negeri, dan pertahanan maksimal di dalam wilayah kekuasaannya.
Harian Thailand The Nation menulis: permainan kata kini menjadi senjata baru dalam perang demokrasi di Hong Kong. Gerakan payung, yang jadi simbol gerakan protes, memberi nyawa baru bagi Bahasa Canton yang digunakan mayoritas warga Hong Kong. Perang antara Beijing lawan Hong Kong bisa diibaratkan sebagai perang Bahasa Mandarin lawan Bahasa Canton yang oleh pemerintah Cina disebut dialek, bukan bahasa. Pelesetan kata-kata Mandarin yang berarti berbeda dalam Bahasa Canton, jadi bahasa para pemrotes. Momentum ini menjadi infus bagi kehidupan sehari-hari di masa mendatang. Dengan permainan kata-kata itu di masa depan, rakyat bisa membangkang dan dengan mudah memobilisasi massa melawan politik pemerintah.
Harian India The Indian Express menulis: Situasi di Hong Kong tidak mudah. Setelah dua bulan aksi occupy, warga mulai sentimen terhadap gangguan dalam keseharian. Pemerintah Cina juga tetap menolak tuntutan, yang memicu frustrasi dan perpecahan di kalangan pemrotes. Kini polisi ditugaskan membersihkan lokasi di pusat kota yang diduduku pemrotes. Walau tidak ada aksi, tapi konfrontasi diam-diam justru maikin intensif. Separah apa dampaknya nanti, sangat tergantung dari secepat apa Beijing bisa menemukan solusi politik.
as/yf(dpa,online)