Au Pair di Jerman: Jika Idaman Berubah Jadi Mimpi Buruk
23 Agustus 2023Bagi kaum muda yang ingin menjelajahi dunia, tawaran menjadi au-pair terdengar menggiurkan: Pergi ke Jerman, mengasuh anak, dan tinggal bersama keluarga itu. Ini bisa menjadi batu loncatan untuk mempelajari bahasa baru, mencari pengalaman di luar negeri, dan belajar menjadi dewasa dan hidup lebih mandiri.
Bagi banyak orang muda, ini pengalaman berharga dan menyenangkan. Tapi tidak selalu begitu, seperti yang terjadi pada Ana da Silva, bukan nama sebenarnya, dari Brasil. Dia mengatakan kepada DW bahwa dia harus bekerja jauh lebih banyak daripada 30 jam seminggu yang disepakati sebelumnya.
Dia mengatakan hanya menghabiskan hari-harinya lebih banyak sebagai pembersih rumah daripada pengasuh anak. Makanannya dijatah, terkadang hanya sepotong roti. Keluhannya ditanggapi dengan ancaman oleh keluarga penampung.
"Saya pernah bersama lima keluarga, yang satu lebih buruk dari yang lain,” kata Ana da Silva, dan menyebut pengalamannya sebagai perbudakan. "Jerman tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan au pair di sini. Ini gila. Sebagai au pair, tidak ada yang membantu Anda."
Foto dan pesan singkat yang diperlihatkan kepada DW mendukung keluhan Ana da Silva. Ini jauh dari konsep "au pair” dalam bahasa Perancis yang lebih menyiratkan situasi yang saling menguntungkan. Tapi program au-pair sering juga disalahgunakan dan lebih mengarah pada eksploitasi pekerja muda.
Bagaimana aturannya?
"Ini jelas tidak dapat diterima dan melanggar ketentuan yang disetujui oleh semua keluarga dan au pair ketika mendaftar untuk menggunakan platform ini,” kata agen online yang menangani Ana da Silva kepada DW dalam sebuah pernyataan. Tapi agensi menambahkan, pengalamannya hanya mewakili "sebagian kecil” dari pengalaman peserta au pair secara keseluruhan.
Kontrak au pair membatasi jam kerja maksimal 30 jam per minggu, dengan jatah satu setengah hari libur setiap minggu. Au pair di Jerman akan menerima bayaran sekitar 280 euro setiap bulan, dan tambahan 70 euro untuk ikut kursus bahasa Jerman.
Tapi aturan-aturan ini sering diabaikan, kata para pendukung au pair, kata Cordula Walter-Bolhöfer, yang bekerja di Gütegemeinschaft Au Pair, sebuah organisasi induk yang mewakili 30 dari 100 lembaga au pair di Jerman. "Lembaga kami selalu menekankan bahwa fokus jam kerja adalah pada penjagaan anak dan pekerjaan rumah, yang harus dilakukan bersama keluarga," katanya seraya menambahkan: "Au pair tidak seharusnya menjadi pembantu rumah tangga yang murahan.”
Kurangnya pengawasan
Salah satu sebab terjadinya eksploitasi adalah kurangnya pengawasan. Sejak tahun 2002, lembaga jasa pengurus au pair hanya memerlukan izin usaha untuk beroperasi, tanpa sertifikasi tambahan. Calon au pair juga bisa bisa berhubungan langsung dengan keluarga angkat melalui media sosial atau platform lain, yang berarti kontrak mereka sama sekali tidak diawasi.
"Ketika mereka melihat foto keluarga baik-baik dengan anak-anak yang manis di Facebook misalnya,” kata Walter-Bolhöfer, banyak yang percaya ini adalah keluarga ideal. Padahal kenyatannya lain.
Susanne Flegel bekerja di agensi untuk menangani situasi ketika terjadi masalah. Dia telah menjalankan ini selama lebih dari 17 tahun dan membantu para au pair dalam berbagai kesulitan.
"Ada suatu masa ketika kami menerima beberapa panggilan telepon dalam sehari. Politisi mengklaim bahwa ini adalah kasus-kasus yang terisolasi. Namun ini bukan kasus-kasus yang terisolasi," katanya kepada DW. "Saat kami bertanya kepada beberapa au pair, mereka bilang eksploitasi adalah hal biasa.”
Statistik sulit didapat karena tidak ada yang tercatat secara resmi. Agensi memiliki insentif finansial untuk mewujudkan koneksi au pair, karena menghasilkan antara 200 euro sampai1,000 euro per penempatan au pair, kata Susanne Flegel. "Sebenarnya ada juga agen ielgal di Jerman karena mereka tidak diperiksa. Keluarga angkat sendiri juga bisa tertipu.”
Masalahnya ini tidak hanya terjadi di Jerman. Di Belanda, pihak berwenang sekarang menerapkan kembali sistem perizinan. Badan yang melanggar peraturan dapat dikenakan denda besar. Susanne Flegel dan pendukung au pair lainnya juga ingin lebih banyak pengawasan, dan meminta parlemen Jerman Bundestag memperhatikan hal ini. Misalnya masih „perlu dilakukan kunjungan secara acak dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu ke keluarga-keluarga,” katanya. (hp/yf)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!