Populisme Pandemi Corona dan Penyebaran Teori Konspirasi
27 April 2020Pada 22 Maret lalu, juru bicara Angela Merkel mengumumkan bahwa kanselir Jerman harus menjalani karantina selama 14 hari setelah salah satu dokternya dikonfirmasi terinfeksi Covid-19. Hal itu langsung menjadi berita utama di media Jerman. Ketika itu, di media sosial ramai tersebar teori konspirasi dan berbagai spekulasi.
Andreas Albrecht Harlass, anggota parlemen dari partai ultra kanan AfD di negara bagian Sachsen-Anhalt misalnya berspekulasi, Merkel tidak akan kembali memimpin pemerintahan. Karantina, katanya, hanyalah dalih saja. Beberapa pendukung AfD mengatakan, Merkel mungkin sedang bersembunyi di bunker bawah tanah di Paraguay. Properti itu kata mereka dibeli Merkel beberapa-tahun lalu.
Setelah Merkel selesai menjalani karantina, cerita ini ternyata terus tersebar, dan makin banyak spekulasi yang beredar. Tim peneliti di Universitas Münster mencoba menelusuri bagaimana teori konspirasi di masa pandemi corona berkembang dan terus bertahan di media sosial.
Munculnya 'populisme pandemi'
Dari Januari hingga Maret 2020, para peneliti memeriksa sekitar 120.000 posting Facebook dari berbagai outlet media Jerman. Hasilnya: Bersamaan dengan derasnya laporan seputar wabah corona oleh surat kabar dan stasiun televisi, meningkat pula jumlah postingan kaum populis kanan yang menyebut dirinya "media alternatif". Mereka menyangsikan apa yang diberitakan oleh media-media arus utama dan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan politisi dari kubu politik lain yang mereka sebut ”politisi mapan“.
Bagaimana strategi para buzzer sosial media populis kanan menyebar teori konspirasinya? Pada dasarnya, kata para peneliti, "media alternatif" juga melaporkan beberapa fakta yang sama seperti media arus utama, namun menambahkan hal-hal yang tidak dikonfirmasi atau tidak jelas sumbernya.
"Media alternatif menyebarkan pesan mereka secara halus dalam strategi komunikasi yang tampaknya tidak berbahaya. Jadi bukan dengan menyebar laporan palsu yang sudah jelas-jelas salah," kata Thorsten Quandt, yang memimpin penelitian Universitas Münster.
Para penyebar teori konspirasi misalnya menghubungkan isu pandemi Covid-19 dengan topik-topik yang sudah ada, seperti perubahan iklim, masalah pengungsi, dicampurkan dengan "fantasi akhir dunia“. Maka cerita Angela Merkel yang harus menjalani karantina dihubung-hubungkan dengan kegiatan aktivis iklim Greta Thunberg, masalah pengungsi, dan asal-usul pandemi corona.
Memanfaatkan jangkauan dan interaksi media sosial
Sekalipun "populisme pandemi" ini hanya merupakan sebagian kecil dari cerita dan berita tentang virus corona, "media alternatif" telah berhasil membangun kerangka referensi mereka sendiri.
"Kami menemukan beberapa kasus di mana pernyataan mereka (populis kanan) dibagikan oleh orang lain di kanal-kanal media sosial, misalnya di YouTube, yang berfungsi sebagai sistem distribusi sekunder para penyebar teori konspirasi. Kanal-kanal ini seperti memberi label 'kredibel' pada pesan-pesan itu," Thorsten Quandt memaparkan.
Ini memungkinkan teori-teori konspirasi yang dibuat populis kanan menjadi besar dan lebih banyak tersebar daripada berita-berita media arus utama. Posting-posting media alternatif itu bisa bersaing atau bahkan lebih tinggi dalam hal laju jangkauan dan tingkat interaksi dibandingkan platform media arus utama.
Penyebar teori konspirasi tidak percaya sesuatu terjadi secara kebetulan. Mereka selalu mengklaim bahwa ada sekelompok kecil elit yang mengendalikan semuanya “di belakang layar“, dan bahwa para elit ini telah “bersekongkol melawan publik“ dan warga awam. Fakta bahwa memang ada penyalahgunaan kekuasaan dan perilaku salah dari para politisi mapan dan pejabat pemerintah makin memperkuat „kredibilitas“ teori-teori konspirasi di mata publik, kata para peneliti di Universitas Münster.
Ancaman serius
Seberapa berbahayakah teori konspirasi? Para peneliti di Universitas Münster menyimpulkan bahwa penyebaran teori konspirasi kini merupakan ancaman nyata.
"Media alternatif dapat berkontribusi pada kebingungan publik dengan membangun pandangan dunia yang kontradiktif, yang mencurigai dan mempertanyakan setiap pernyataan 'resmi'," kata Thorsten Quandt.
Para peneliti mengatakan, penyebaran teori konspirasi telah menjadi bagian penting pemicu aksi-aksi kekerasan ekstrem kanan di Jerman.
"Terutama di antara para pendukung teori konspirasi, berkembang pandangan dunia yang tertutup, dengan keinginan besar untuk bertindak. Mereka melihat diri mereka sebagai satu-satunya orang yang dapat menghentikan kehancuran," kata Simone Rafael dari Yayasan Amadeu Antonio.
"Menurut pernyataan mereka sendiri, 'media alternatif' ini percaya bahwa mereka berada dalam situasi 'perang informasi' melawan partai-partai politik yang demokratis dan melawan demokrasi parlementer. Mereka menyebarkan ketidakpastian untuk menggulingkan sistem," ujarnya.
Pembunuhan politisi konservatif Walter Lübcke bulan Juni 2019 menunjukkan bagaimana teori konspirasi bisa memicu tindakan ekstrem. Pelakunya, seorang ekstremis kanan Walter Ernst, mengatakan dia menembak mati Walter Lübcke karena benci dengan dengan kebijakan pro-pengungsi yang dijalankan politisi itu. (hp/rzn)