Polisi RI Bantah Dukung Kejahatan HAM di Filipina
15 Februari 2018Penghargaan yang disematkan Kapolri Tito Karnavian, Rabu (14/2), kepada Kepala Polisi Filipina Ronald Dela Rosa menyisakan rasa pahit di bibir para pegiat HAM. Pasalnya Dela Rosa bertanggungjawab atas pembunuhan ekstra yudisial terhadap ribuan pengguna dan bandar narkoba di Filipina. Penghormatan tersebut dianggap sebuah penghinaan bagi keluarga korban.
"Indonesia seharusnya menyerukan investigasi PBB terhadap perang narkoba di Filipina, bukannya malah memberikan penghormatan kepada salah satu arsitek utamanya," kata Wakil Direktur Asia Human Rights Watch, Phelim Kine, dalam sebuah siaran pers.
Ironisnya justru prestasi kelam Dela Rosa yang dijadikan alasan Kepolisian RI memberikan penghargaan tertinggi tersebut. Sang jendral berkepala plontos itu dianggap menjadi "inspirasi layaknya bintang rock" bagi aparat penegak hukum di Indonesia dan mendemonstrasikan "bagaimana melancarkan perang terhadap narkoba."
Sejauh ini pemerintah Filipina resminya mencatat sebanyak 4.021 tersangka bandar dan pengguna narkoba dibunuh dalam operasi keamanan antara 2016 hingga 2018. Namun jumlah korban yang tewas di tangan pembunuh bayaran ditengarai sekurangnya 12.000 orang.
Baca: Perintah "Tembak di Tempat" Jokowi Telan Puluhan Korban Jiwa
Duterte Terjunkan Militer Dalam Perang Narkoba
Polri juga terapkan langkah tembak ditempat
Human Rights Watch menilai dengan langkah tersebut Indonesia mendukung kejahatan atas kemanusiaan di Filipina. Tudingan itu dibantah Jurubicara Polri, Setyo Wasisto. "Kami tidak melihat rekam jejaknya," kata dia. "Apakah dia melanggar Hak Azasi Manusia atau tidak, itu adalah urusan pribadinya."
Bantahan Mabes Polri berbeda dengan rekam jejak Kepolisian di bawah Tito Karnavian. Amnesty International mencatat tahun lalu penembakan dan pembunuhan ekstra yudisial terhadap tersangka pelaku narkoba oleh Kepolisian RI meningkat empat kali lipat. Tito pun tercatat berulangkali memerintahkan jajarannya untuk menembak tersangka bandar narkoba jika dianggap melawan.
Padahal menurut Peraturan Kapolri 1/2009, senjata api merupakan opsi terakhir dari enam tahap penggunaan kekuatan kepolisian. Senjata api hanya boleh digunakan jika tersangka pelaku tindak kriminal mengancam nyawa anggota polisi atau masyarakat. Sebaliknya alasan umum yang sering digunakan aparat untuk membenarkan penembakan adalah adanya upaya melarikan diri.
Kepada BBC Indonesia bekas Kapolda Papua, Irjend Yotje Mende, mengakui pengawasan internal terhadap pelanggaran penggunaan senjata api di Polri tidak berlangsung dengan baik. "Banyak perkara yang mengambang. Sekiranya propam di polda-polda tidak menunda-nunda dan kalau setiap hari menyidangkan perkara dan memprosesnya, maka tidak akan seperti saat ini Sekarang ini perkara tahun 2006-2007 belum selesai," katanya.
rzn/as (HRW, Rappler, BBC Indonesia, kompas)