PM Inggris Theresa May Minta Bantuan Angela Merkel
11 Desember 2018Setelah secara mengejutkan membatalkan pemungutan suara di parlemen, Perdana Menteri Inggris Theresa May berangkat ke Berlin hari Selasa (11/12) untuk berkonsultasi dengan Kanselir Jerman Angela Merkel. Sebelumnya May bertemu dengan PM Belanda Mark Rutte. Dia juga akan bertemu dengan para pemimpin Eropa lainnya pada pertemuan puncak Uni Eropa 13-14 Desember di Brussels, Belgia.
Jurubicara pemerintah Jerman Steffen Seibert membenarkan, Kanselir Angela Merkel akan "menerima PM Inggris Theresa May atas permintaan mereka". Sebagian pengamat berpendapat, Theresa May berharap akan ada beberapa "perbaikan kosmetik" di naskah kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa, sehingga dia masih bisa "menjualnya" di parlemen Inggris sebagai keberhasilan.
Namun para pemimpin Uni Eropa sudah berulangkali menegaskan, tidak akan ada negosiasi ulang mengenai naskah setebal hampir 600 halaman itu. Masih belum jelas, apa langkah yang akan diambil Theresa May selanjutnya di parlemen Inggris.
Setelah mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa lewat perundingan alot bulan lalu, Theresa May di Inggris justru mendapat cemoohan. Partai-partai oposisi menolak kesepakatan itu karena berpendapat Inggris terlalu mengambil jarak dengan Uni Eropa dan ini tidak baik bagi perekonomian. Sementara partai-partai dalam koalisi pemerintahan juga menolak karena menganggp kesepakatan itu tidak benar-benar menjauhkan Inggris dari uni Eropa seperti yang mereka inginkan.
Terutama partai Irlandia DUP, yang ada dalam koalisi Theresa May, mengancam menolak kesepakatan itu. Sementara puluhan anggota dewan dari partainya sendiri, partai Konservatif, juga menyatakan menolak. Itu sebabnya Theresa May hari Senin (10/11) mendadak mengumumkan pembatalan pengambilan suara di parlemen, yang tadinya dijadwalkan untuk hari Selasa (11/12) ini.
Kekhawatiran opsi "No-Deal"
Tidak sampai empat bulan lagi, Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, tepatnya tanggal 29 Maret 2019. Yang sekarang jadi sorotan adalah, bagaimana Inggris keluar dari persemakmuran ini. Apakah dengan kesepakatan, atau tanpa kesepakatan, opsi yang sering disebut "No-Deal".
Yang paling dikhawatirkan dunia usaha adalah modus "No-Deal", karena hal itu bisa mengakibatkan kekacauan besar. Karena tidak jelas, apa yang akan terjadi. Apakah warga Inggris yang tinggal dan bekerja di Uni Eropa harus segera meninggalkan kawasan ini, dan sebaliknya? Apakah pesawat-pesawat Inggris masih bisa mendarat di bandara yang ada di Uni Eropa?
Lalu bagaimana lalu lintas barang antara Inggris dan Uni Eropa? Apakah barang-barang itu otomatis naik harganya? Selama ini, semua itu diatur oleh UU Uni Eropa, yang bagi Inggris tidak akan berlaku lagi mulai 29 Maret tahun depan. Itu sebabnya, sejak dua tahun pemerintah Inggris berunding dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan tentang prosedur Brexit, agar semuanya berjalan teratur.
Tapi penolakan di parlemen Inggris terhadap Theresa May dan kesepakatan dengan Uni Eropa itu sekarang makin lantang. Bahkan anggota partainya sendiri ada yang menuntut dia agar mundur saja.
"Jika kita tidak bisa meloloskan kesepakatannya ... maka saya khawatir satu-satunya cara untuk mengubah kebijakan adalah mengganti perdana menteri, dan saya benar-benar berpikir 'saatnya bagi dia untuk pergi," kata Steve Baker, anggota dewan dari Partai Konservatif yang mendukung Brexit.
Sementara partai-partai oposisi kecil mendesak Partai Buruh, fraksi oposisi terbesar, agar mengupayakan mosi tidak percaya di parlemen untuk menjatuhkan Theresa May. Setelah berita pembatalan pemungutan suara di parlemen tersebar hari Senin (10/12) kemarin, nilai tukar mata uang Poundsterling sempat anjlok ke titik terendah sejak April 2017.
hp/vlz (rtr, dpa, ap)