Pilkada Serentak dan Nubuat Kegaduhan Kita
2 Maret 2018Tahun 2018 ini bakal jadi tahun yang gaduh bagi Indonesia, karena ada 171 pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia. Saya bayangkan, situasinya akan seperti yang sudah-sudah: para politisi dan partai politik akan mengobral janji, menarik dan menggunakan uang dari para investor politik, "menggoreng” berbagai isu untuk mendapatkan perhatian publik dan sekaligus juga untuk menjatuhkan citra lawan, dan tentu saja ruang-ruang publik akan dipenuhi dengan berbagai poster, spanduk, dan slogan setiap kandidat kepala daerah.
Pihak-pihak yang berada dekat di pusaran politik juga tidak akan kalah sibuknya untuk mencantolkan diri ke dalam pusaran itu: lembaga-lembaga survey dan pencitraan berjuang untuk mendapatkan kontrak dari parpol dan para kandidat kepala daerah, pun demikian media massa secara institusional akan berjuang mendapatkan jatah iklan dari pihak-pihak itu. Tak ketinggalan individu-individu—apakah itu orang-orang yang mengklaim diri sebagai ahli politik, ahli komunikasi, para aktivis, seniman, budayawan, dan juga para jurnalis—akan sibuk merapat ke berbagai kubu untuk bergabung sebagai bagian dari tim sukses.
Lalu masyarakat akan terpolarisasi ke berbagai kubu, membela kandidat pilihannya atau menghujat kandidat lawan. Pembelaan akan kandidat masing-masing bisa kita tebak: bahwa kandidat tersebut yang terbaik, yang paling bersih, yang paling berwibawa, yang paling merakyat, yang paling bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat, bahkan mungkin yang paling saleh di antara kandidat yang ada.
Pun demikian celaan dan hujatan kepada kandidat lawan bisa kita perkirakan isunya: orientasi dan praktik keagamaannya salah, jenis kelaminnya salah, rekam jejaknya tidak bersih, asal-usulnya tidak jelas, ras dan sukunya tidak tepat untuk jadi seorang pemimpin di daerah yang bersangkutan, serta berbagai isu lain yang bisa "digoreng” sebombastis mungkin.
Linimasa media sosial kita akan dipenuhi para pembela dan para penghujat, berbagai meme akan beredar cepat dan meluas, pun demikian grup-grup pertemanan dan keluarga di Whatsapp, Blackberry Messenger, Line, dan lain-lain akan dipenuhi perdebatan tentang siapa yang seharusnya terpilih jadi pemimpin dan siapa yang tidak boleh jadi pemimpin. Perdebatan akan makin seru dan panas dengan sisipan ayat-ayat suci yang dimaknai sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Stasiun-stasiun TV akan ramai dengan berbagai program debat kandidat. Koran-koran akan memasang berita utama melulu tentang politik. Kegaduhan di berbagai media mungkin hanya akan terjeda sebentar jika terjadi bencana alam atau bencana kemanusiaan, lalu kita akan kembali ribut tentang politik.
Baca juga:
Melongok Purnawirawan dan Obsesi Kekuasaan Dalam Diri mereka
Joko Widodo: Pencitraan, Tabir Asap Atau Strategi Politik Menjelang 2019?
Terpecah-pecah. Lagi?
Kehidupan kita akan begitu gaduh dan penuh perdebatan sengit. Bahkan orang-orang yang tidak memiliki intensi politis pun terpaksa harus mendengarkan kegaduhan itu di mana-mana: di ruang keluarga, di tempat kerja, di sekolah-sekolah, di pinggir jalan, di warung-warung nasi, juga di rumah-rumah Tuhan.
Untuk sementara, mungkin, kita akan terpecah-pecah: orang tua tak setuju dengan pilihan politik anak-anaknya, kakak dan adik bersitegang tentang siapa yang seharusnya jadi kepala daerah, antarkawan saling hujat secara terbuka atau diam-diam, khutbah-khutbah di rumah-rumah ibadah mungkin juga akan terlalu politis di tahun ini.
Mungkin memang begitu potret demokrasi di Indonesia: di masa pemilu kita akan berpesta pendapat dan unjuk kekuatan. Tapi pesta itu seringkali membuat sebagian dari kita ngeri, karena alih-alih kita membahas dan menganalisa tentang program pembangunan yang dijanjikan para kandidat, kita lebih suka membahas hal-hal personal dari para kandidat itu: keagamaannya, kesalehannya, jenis kelaminnya, ras dan sukunya.
Sebagian dari kita ngeri karena kita tahu kita punya rekam jejak yang tidak elok terkait pertentangan agama dan suku. Tapi kita sering lupa akan tragedi dan memilih larut dalam perkubuan agama dan ras yang sebenarnya berlatar politik itu.
Kitapun ikut gaduh
Kita ikut gaduh, karena mungkin dengan melibatkan diri di dalamnya kita dapat menyalurkan keinginan kita untuk berkuasa dan mendominasi, tanpa terlalu peduli pada konsekuensi dari nafsu akan kuasa itu. Kita senang untuk merasa menang dan kuat, dan itu artinya kita senang melihat ada orang-orang yang berhasil kita kalahkan, berhasil kita marjinalkan, entah karena alasan apa pun.
Mungkin kita tak benar-benar peduli dengan program pembangunan, tentang bagaimana pembangunan dilaksanakan, dan bagaimana agar semua orang sejahtera dan bahagia. Asal kandidat kita menang, kita sudah merasa cukup, kita senang karena nafsu kekuasaan kita sudah terwakili oleh kemenangan kandidat-kandidat itu.
Setelah pesta demokrasi di tingkat daerah itu selesai, kita akan bersiap kembali untuk bertarung dalam pemilihan presiden. Potretnya pun akan sama: panas, sengit, gaduh—mungkin sampai ke taraf yang lebih dramatis.
Setelah semua itu selesai, kita akan kembali lunglai dengan masalah ekonomi sehari-hari, menatap lesu pada setiap penggusuran dan perampasan hak rakyat, mencibir orang-orang yang mempertahankan hajat hidup mereka, menonton kasus-kasus korupsi sebagai hiburan biasa sehari-hari. Seakan-akan kita sendiri bukan korban dari semua ketidakadilan itu, seakan-akan semua itu tak ada kaitannya dengan politik yang sudah kita ramaikan bersama-sama, seolah-olah kita tak perlu bertanggungjawab atas tindakan orang-orang yang kita tempatkan di kursi kekuasaan—orang-orang yang mewakili nafsu kekuasaan kita, yang telah membuat kita gaduh dan bertengkar dengan sesama saudara.***
Penulis: Zaky Yamani (ap/hp), jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.